yoldash.net

Gejayan Memanggil dkk Demo Putusan MK soal Pilpres di Depan KPU DIY

Massa aksi yang terdiri dari kelompok Gejayan Memanggil melakukan aksi di depan KPU DIY mengkritisi putusan MK atas hasil Pilpres 2024.
Aksi unjuk rasa mengkritisi putusan MK atas sengketa hasil Pilpres 2024 di depan Kantor KPU DIY, Kota Yogyakarta, Rabu (24/4). (CNN Indonesia/Tunggul)

Yogyakarta, Indonesia --

Puluhan orang dari berbagai aliansi masyarakat melakukan unjuk rasa di depan Kantor KPU DIY, Kota Yogyakarta, Rabu (24/4).

Mereka menyuarakan keprihatinan atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan sengketa Pilpres 2024. Atas putusan yang menolak itu, pada Rabu ini KPU pun menetapkan paslon nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai pemenang Pilpres 2024.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Massa aksi yang melakukan demo di depan KPU DIY pada Rabu ini terdiri dari kelompok Gejayan Memanggil, SEJAGAD, Forum Cik Ditiro, hingga Jangan Diam dan Lawan. Mereka menyerukan gerakan oposisi rakyat dalam aksinya tersebut.

Direktur Eksekutif Amnesty Internasional, Usman Hamid dan Sekretaris Jenderal Transparency Internasional Indonesia (TII) Danang Widoyoko juga terpantau mengikuti aksi ini.

ADVERTISEMENT

Bagi massa, putusan MK yang menolak sejumlah gugatan bukan cuma bermakna kemenangan telak bagi Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming dan politik dinasti Joko Widodo (Jokowi) tapi juga suatu menjadi tanda-tanda kematian masa depan demokrasi RI.

"Saat ini kita ketahui baru Jokowi yang menjadi Bapak Politik Dinasti Indonesia, tapi Gibran, Kaesang, bahkan Jan Ethes berpotensi jadi Bapak Politik Dinasti Indonesia," pekik salah satu orator di depan kantor KPU DIY.

Massa terpantau mendatangi kantor KPU DIY sekitar pukul 14.00 WIB dan memasang sejumlah spanduk di pintu masuk bangunan.

Beberapa bertuliskan 'Demokrasi Rakyat' dan 'Bangun Oposisi Rakyat'.

Ada pula poster lain dengan tulisan 'Pasca Putusan MK saatnya rakyat bersatu. Bersatu dengan Fasisme & Nepotisme? ORA SUDI!'.

Sindir NasDem hingga Bansos Jokowi

Massa aliansi menganggap pemerintahan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) sudah melakukan kejahatan besar dalam Pemilu 2024. Mereka menuding produk hukum diubah seenak jidat untuk memuluskan Gibran, putranya untuk menjadi pejabat.

Mereka juga menyinggung alokasi bansos dipakai untuk kampanye, hingga pengondisian jajaran pejabat untuk membantu kemenangan dinasti kekuasaan.

"Kenapa kita bersikeras membangun oposisi rakyat, karena tak ada parpol yang serius membangun oposisi. NasDem yang mengusung Anies (Baswedan) sekarang terlihat sudah mulai merapat (ke koalisi pemenang Pilpres)," kata orator lain.

Danang Widoyoko, sementara itu menyerukan bahwa putusan MK bukan untuk diterima sebagai sebuah kekalahan, melainkan peringatan untuk lebih bekerja keras mempertahankan demokrasi yang semestinya diperjuangkan partai politik.

"Sebenarnya demokrasi bukan tugas kita, tapi tugasnya parpol. Tapi yang terjadi, sejak setelah pemilu, partai Nasdem bertemu Prabowo, inilah fakta. Para ahli menyebutnya politik kartel, mereka ujung-ujungnya mencari akses mendapatkan rente, bagaimana mendapatkan kekuasaan, anggaran-anggaran, kontrak-kontrak, konsesi-konsesi," ucap Danang.

Danang juga mengingatkan bahwa bansos berasal dari uang pajak rakyat yang diputuskan oleh semua entitas parpol dan diperuntukkan bagi orang miskin atau tidak mampu. Ia menolak label bansos sebagai bantuan dari presiden, lebih-lebih disalahgunakan untuk kepentingan elektoral.

"Ini adalah hari peringatan, kita harus kembali kepada esensi demokrasi, bukan kepada parpol, tapi kepada pemberi mandat, yaitu rakyat," pekiknya.

Sindir hakim MK soal makna nepotisme

Sedangkan Usman Hamid dalam orasinya menyebut MK gagal memahami arti nepotisme ketika mayoritas hakim menyatakan tak ada alasan hukum cukup kuat bahwa praktik itu terjadi dalam proses Pilpres 2024.

Usman mengutip istilah nepotisme dalam Kamus Britannica, di mana dijelaskan bahwa kata itu lahir pada abad ke-14-15. Kata itu diambil dari bahasa latin 'nepos' yang berarti keponakan. Sementara dalam Bahasa Italia, 'nipote' atau berarti cucu.

Politik nepotisme dipersoalkan ketika salah seorang Kepala Gereja Katolik di Roma pada masa itu mengangkat keponakannya dan cucunya sendiri untuk menjadi kardinal.

"Pertanyaan saya, kalau memang tidak ada nepotisme dalam pemilu yang baru digelar, berarti tidak ada keponakan yang mendapatkan keuntungan politik, betul tidak? Pertanyaannya, apakah ada? Dan sayangnya, ini yang tidak dilihat oleh Mahkamah Konstitusi, bahkan untuk membaca Kamus Britannica saja, mereka mayoritas gagal," ujar Usman..

"Kamus Britannica ini memberi contoh apa itu nepotisme bukan hanya dengan contoh di masa lalu, tapi juga memberi contoh pemerintahan yang nepotistik di era modern. Contohnya adalah Presiden Soeharto. Kalau kita baca kamus itu, Presiden Soeharto diberi contoh oleh kamus tersebut telah melakukan praktik nepotisme ketika enam orang anaknya menguasai BUMN atau sumber-sumber daya negara," sambungnya.

Para hakim MK dianggapnya telah menegasikan suara-suara anti-nepotisme yang disampaikan oleh para amicus curiae terdiri dari sejumlah guru besar perguruan tinggi.

Selain itu,  Usman tetap mengapresiasi tiga hakim MK yakni Saldi Isra, Enny Nurbaningsih dan Arief Hidayat yang berani memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion) atas putusan MK itu. Mereka mengakui adanya kecurangan di tengah putusan mayoritas hakim MK yang bermasalah.

(kum/kid)


[Gambas:Video CNN]

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat