Gugat UU Kementerian ke MK, APHA Dorong Kementerian Masyarakat Adat
![Gugat UU Kementerian ke MK, APHA Dorong Kementerian Masyarakat Adat APHA menguji Pasal 5 ayat (2) UU Kementerian Negara yang dianggap bertentangan terhadap sejumlah pasal, salah satunya Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.](https://akcdn.detik.net.id/visual/2024/04/22/gedung-mahkamah-konstitusi_169.jpeg?w=650&q=90)
Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) yang diwakili oleh Ketua Umum Laksanto Utomo dan Sekretaris Jenderal Rina Yulianti mengajukan permohonan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, Senin (20/5).
Mereka menggandeng Viktor Santosa Tandiasa dan Tim VST and Partners yang terdiri dari Fitri Utami, Fauzi Muhammad Azhar, dan Aditya Ramadhan Harahap sebagai kuasa hukum.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam permohonannya, mereka menguji Pasal 5 ayat (2) UU Kementerian Negara yang dianggap bertentangan terhadap Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B ayat (2), dan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945.
Mereka pada pokoknya meminta kepada MK untuk menambahkan frasa 'Masyarakat Hukum Adat' dalam Pasal 5 ayat (2) UU Kementerian Negara sehingga bunyi Pasalnya menjadi:
ADVERTISEMENT
"Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b meliputi urusan agama, hukum, keuangan, keamanan, hak asasi manusia, masyarakat hukum adat, pendidikan, kebudayaan, kesehatan, sosial, ketenagakerjaan, industri, perdagangan, pertambangan, energi, pekerjaan umum, transmigrasi, transportasi, informasi, komunikasi, pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, kelautan, dan perikanan."
"Sudah daftar ke MK," ujar Viktor dengan menunjukkan bukti berkas pendaftaran permohonan, Senin (20/5).
Viktor menjelaskan yang menjadi alasan dalam permohonan pengujian Pasal 5 ayat (2) UU Kementerian Negara adalah untuk menguatkan kedudukan masyarakat hukum adat yang merupakan bagian dari bangsa Indonesia sebagai pemegang kedaulatan tertinggi guna menyalurkan kehendak dan aspirasi dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.
"Penguatan terhadap masyarakat hukum adat ini perlu diupayakan mengingat eksistensi masyarakat hukum adat hingga saat ini malah semakin termarjinalkan, tidak serius diurus, bahkan kerap menjadi korban kekerasan negara yang secara masif mengambil lahan-lahan yang dari awalnya dikuasai dan didiami oleh kelompok-kelompok masyarakat adat," kata Viktor.
Viktor menambahkan, apabila melihat dalam aspek kelembagaan, urusan pemerintahan yang bersinggungan dengan hak-hak masyarakat adat masih melibatkan berbagai lintas sektoral yang meliputi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Dalam Negeri.
Menurut dia, diterapkannya sistem multi-pintu seperti saat ini yang mengatur mengenai urusan masyarakat adat berdampak pada tumpang tindih kebijakan yang dikeluarkan oleh masing-masing kementerian.
Misalnya antara Kementerian Agraria dan Tata Ruang dengan KLHK mengenai status tanah hutan adat. Padahal, Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 telah mengamanatkan negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam Undang-undang.
Dalam Pasal tersebut, terang Viktor, negara berkewajiban untuk memberikan pengakuan dan penghormatan serta menjamin hak-hak masyarakat adat dapat terlindungi dan terpenuhi oleh hukum.
Dengan demikian, kata Viktor menyimpulkan, pembentukan kementerian masyarakat hukum adat merupakan salah satu langkah progresif dalam memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat.
Ia menilai tidak masuknya frasa 'masyarakat hukum adat' sebagai salah satu urusan pemerintahan dalam Pasal 5 ayat (2) UU Kementerian Negara menyebabkan tidak dibentuknya kementerian khusus yang mengurusi urusan pemerintahan masyarakat hukum adat.
"Hal ini kemudian menimbulkan permasalahan dan perlakukan diskriminatif dan jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas, dan menimbulkan ketidakadilan yang intolerable," ucap Viktor.
"Selain itu, juga bertentangan dengan kedaulatan rakyat in casu kedaulatan masyarakat hukum adat dan bertentangan dengan UUD 1945 in casu Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1)," tandasnya.
Masyarakat adat di Indonesia hingga kini masih berjuang untuk mendapat pengakuan dan perlindungan negara. Mereka terus mendorong agar Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat yang telah diusung sejak tahun 2003 itu disahkan. Terakhir, melalui jalur Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bertarung. Namun, PTUN Jakarta menyatakan tidak menerima permohonan mereka.
(ryn/fra)[Gambas:Video CNN]
Terkini Lainnya
PTUN Tolak Gugatan AMAN soal RUU Masyarakat Adat Mandek 20 Tahun
Ramai-ramai Eks Hakim Konstitusi Kritik DPR Diam-diam Revisi UU MK
Jejak Revisi UU MK dari Era SBY hingga Jokowi
Mahfud MD: 3 Hakim Bisa Langsung Diberhentikan Jika RUU MK Disahkan
Alasan Pria Solo Ajukan Uji Materi Syarat 17 Tahun Bikin SIM ke MK
Terinspirasi Bocah Motoran, Syarat 17 Tahun Bikin SIM Digugat ke MK
Sentimen Negatif Dominasi Medsos Usai Putusan MK Terkait Pilpres 2024
Pakar Asing soal Dissenting Opinion MK: Pemilu Prosedural Tapi Curang