yoldash.net

Sejarah Negara Sekuler Mayoritas Muslim Tajikistan dari Era Soviet

Sekularisasi di Tajikistan sudah ada sejak negara ini masih menjadi bagian dari Uni Soviet.
Presiden Tajikistan Emomali Rahmon. (AFP/ALEXANDER KAZAKOV)

Jakarta, Indonesia --

Negara mayoritas Muslim di Asia, Tajikistan, menjadi sorotan usai mengesahkan undang-undang yang melarang penggunaan hijab pada pekan lalu.

UU itu mencakup tradisi dan perayaan di Tajikistan. Aturan ini juga melarang penggunaan pakaian asing termasuk jilbab atau penutup kepala bagi perempuan Muslim.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebetulnya, sekularisasi di Tajikistan ada sejak negara ini masih menjadi bagian dari Uni Soviet.

Uni Soviet melakukan kontrol politik dan melakukan kampanye anti-Islam sejak 1920-1930-an. Mereka menganggap segala bentuk agama adalah hal-hal yang dianggap berbahaya dalam kehidupan bernegara.

ADVERTISEMENT

Di periode tersebut, banyak cendekiawan Muslim tewas dan pelajaran agama dibatasi secara ketat. Soviet juga merusak dan membakar masjid-masjid.

Kontrol Soviet terhadap Tajikistan kian ketat di bawah pemerintahan Nikita Khrushchev yang mengkampanyekan propaganda anti-Islam.

Pemerintah Soviet menambah fungsi masjid sebagai ruang terbuka dan mengidentifikasi ulang konsep Islam dengan kerangka nasionalisme bukan agama.

Setelah Soviet runtuh, Tajikistan belum bisa bernapas lega. Di awal kemerdekaan negara ini dilanda konflik antara pemerintah dan oposisi Islam serta sekutunya.

Mayoritas penduduk Tajikistan beragama Islam, sebagian besar beraliran Sunni dengan Mazhab Hanafi, demikian dikutip Britannica.

Di awal berdiri, Tajikistan dipimpin Rakhmon Nabiyev dari September-Oktober 1991. Dia kembali mengamankan kekuasaan pada Desember 1991-September 1992.

Di masa pemerintahan dia, Tajikistan bergejolak. Pada Maret 1992, ada protes besar-besaran di Dushanbe tetapi pasukan pengaman menanggapi dengan kekuatan berlebih, demikian dikutip Britannica.

Kemudian pada September 1992, kekuasaan beralih ke Akbarsho Iskandrov. Lalu pada November 1992, estafet kepemimpinan beralih ke Emomali Rahmon.

Rahmon kembali menjadi presiden Tajikistan pada 1994 dan masih berlangsung hingga sekarang.

Selama memimpin, dia memang membatasi kebebasan beragama dan menghubungkan religiusitas dengan ekstremisme, demikian dikutip Al Jazeera.

Pada 1997, Rahmon sempat meneken perjanjian dengan oposisi yang pro-Syariah, Partai Kebangkitan Islam Tajikistan (TIRP).

Menurut perjanjian itu, TIRP mendapat bagian 30 persen dalam pemerintahan. Mereka juga diakui sebagai partai politik pasca-Soviet pertama di Tajikistan berdasarkan nilai-nilai Islam, dikutip EuroNews.

Namun, Rahmon berhasil menyingkirkan TIRP dari kekuasaan. Dia bahkan berhasil menutup partai dan menetapkan sebagai organisasi teroris.

Usai menyingkirkan TIRP, Rahmon kian gencar menghilangkan pengaruh fanatisme di kalangan warga muslim. Misalnya mencukur jenggot dengan paksa, membatasi usia orang yang masuk masjid, melarang penggunaan hijab, dan menutup masjid besar-besaran.

Di pemerintah dia, ribuan masjid juga ditutup dalam kurun waktu setahun. Beberapa menjadi fasilitas Kesehatan dan ada pula yang menjelma jadi kedai teh.

(isa/bac)


[Gambas:Video CNN]

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat