yoldash.net

Tajikistan Pernah 'Gusur' Hampir 2 Ribu Masjid, Ubah Jadi Bioskop-Kafe

Tak hanya larangan gunakan hijab, Tajikistan juga pernah menggusur hampir 2 ribu masjid pada 2017 dan mengubahnya menjadi bioskop, kafe, hingga klinik.
Salah satu masjid yang berdiri di Ibu Kota Dushanbe. (AFP/NOZIM KALANDAROV)

Jakarta, Indonesia --

Tajikistan menjadi sorotan setelah mengesahkan rancangan undang-undang yang melarang penggunaan hijab pada pekan lalu.

Dengan aturan ini, Tajikistan semakin memperluas larangan penggunaan hijab yang semula ditujukan di sekolah dan tempat kerja, menjadi di tempat publik.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Padahal, menurut data sensus 2020, 96 persen dari total sekitar 10,3 juta warga Tajikistan merupakan umat Muslim.

Ternyata, larangan penggunaan hijab merupakan aturan anti-Muslim terbaru yang selama ini telah diterapkan pemerintahan sekuler Presiden Emomali Rahmon.

ADVERTISEMENT

Selama hampir tiga dekade berkuasa, Presiden Rahmon memang berupaya menjadikan Tajikistan negara sekuler dan menjauhkan nilai-nilai religius, terutama nilai Islam, dari kehidupan sosial dan politik.

Presiden Rahmon disebut ingin mempromosikan versi Islam monolitik dengan praktik agama yang dikontrol negara.

Tajikistan bahkan pernah menutup paksa hampir 2 ribu masjid di negara mayoritas penduduk Muslim itu pada 2017.

Tajikistan menutup 1.938 masjid tersebut selama setahun dan menggantinya dengan kafe, bioskop, kedai teh, sampai pusat medis seperti klinik.



Menurut laporan media Badan PBB untuk Pengungsi (UNHCR), Refworld, pemerintah Tajikistan mengklaim penutupan ribuan masjid ini dilakukan pun atas permintaan warga setempat.

Namun, sejumlah pihak oposisi menilai penutupan ribuan masjid ini dilakukan karena pemerintah menilai masjid-masjid itu "tidak sesuai" dengan pandangan negara.

Aktivis HAM Faizinisso Vokhidova mencatat pemerintah mengklaim masjid-masjid itu dibangun secara ilegal. Namun menurutnya, klaim itu tidak sepenuhnya dapat dipercaya.

Vokhidova juga menemukan kejanggalan lain, seperti banyak masjid-masjid yang digusur itu menolak melayangkan keluhan atau protes ke pemerintah. Bahkan, mereka menolak tawaran sejumlah kelompok HAM dan advokat yang menawarkan bantuan hukum untuk membawa kasus penutupan paksa ini ke pengadilan.

"Mereka takut melakukan hal tersebut," ucap Vokhidova seperti dikutip dari laporan UNHCR Refworld pada Maret 2018 lalu.

Sebagai contoh, pejabat mengklaim penutupan masjid-masjid di wilayah Sogf utara, Isfara, dan distrik Bobojon-Gofurov dikarenakan permintaan warga setempat.

Dalam kedua kasus tersebut, pejabat terkait juga tidak dapat menjelaskan kepada Forum 18 Refworld mengapa mereka hanya mengizinkan sejumlah masjid berdirih dengan kapasitas jauh di bawah jumlah jemaah di sekitarnya.

Ironisnya, di saat bersamaan, Tajikistan juga membangun Masjid Pusat di Ibu Kota Dushanbe. Masjid itu diklaim menjadi yang terbesar di Asia Tengah yang mampu menampung hingga 120 ribu jemaah sekaligus.

Dikutip The Diplomat, masjid ini dibuka pada 2019 setelah dibangun delapan tahun dengan bujet hingga 100 juta dolar Amerika Serikat. Sebagian besar biaya konstruksi kabarnya dibantu oleh Qatar.

Masjid-masjid pusat besar yang dibangun pemerintah dikelola oleh pengurus dan imam yang ditunjuk dan digaji oleh negara.

Pemerintah juga disebut mendiktekan atau menyetujui isi khotbah dan ceramah di masjid-masjid, yang sering kali menyertakan puji-pujian eksplisit terhadap rezim Rahmon.

"Pesan yang ingin disampaikan jelas: Satu-satunya bentuk Islam yang dapat diterima adalah Islam yang resmi, sangat tersentralisasi, dan nasionalistis," bunyi kolom opini Wakil Presiden Komisi Kebebasan Beragama Internasional Amerika Serikat (USCIRF), Tony Perkins yang dirilis di The Diplomat pada Juni 2021 lalu.

(rds/rds)


[Gambas:Video CNN]

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat