yoldash.net

Deret Kepulauan yang Terancam Hilang Imbas Krisis Iklim, RI Masuk?

Krisis iklim memicu kenaikan muka air laut dan mengancam banyak pulau. Simak daftar wilayah rentan berikut.
Surga wisata Maladewa jadi salah satu wilayah kepulauan yang terancam pemanasan global. (istock/EXTREME-PHOTOGRAPHER)

Jakarta, Indonesia --

Perubahan iklim dapat meningkatkan permukaan air laut dan mengancam eksistensi banyak pulau dengan ketinggian rendah hingga ke level 'tidak layak huni'. Mana saja wilayah rentan itu?

Beberapa pulau kecil yang masuk jenis Atoll (berbentuk cenderung bulat) seperti yang ada di Maladewa atau Maldives, Tuvalu, Kiribati, dan Kepulauan Marshall, tercatat punya ketinggian hanya beberapa meter saja di atas permukaan laur.

Hal ini menjadikan mereka sebagai tempat-tempat yang paling berisiko terhadap naiknya air laut akibat perubahan iklim.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Melansir LiveScience, sudah ada lima pulau tak berpenghuni di Kepulauan Solomon yang lenyap ditelan gelombang dalam satu abad terakhir.

ADVERTISEMENT

Pulau Maladewa, Kiribati, Tuvalu, dan Kepulauan Marshall memiliki persentase wilayah paling berisiko tertinggi karena semuanya masuk jenis Pulau Atoll.

Negara-negara lain juga memiliki pulau-pulau di dataran rendah, namun memiliki lebih banyak dataran tinggi yang bisa dijadikan tempat pengungsian jika air laut naik.

Untuk lebih lengkapnya, berikut beberapa pulau dataran rendah yang terancam perubahan iklim:

Mainadhoo, Atol Huvadhoo, Maladewa

Para ilmuwan sebenarnya tidak memiliki data ketinggian yang akurat untuk pulau-pulau terpencil ini. Jika pun ada, informasi tersebut tidak dapat memprediksi kapan pulau-pulau tersebut akan tenggelam.

"Kepulauan Atoll adalah tempat yang sangat dinamis. Bentuknya berubah, mereka tumbuh di ketinggian. Kadang-kadang mereka bergabung dengan sangat cepat," kata Geronimo Gussmann, peneliti di Global Climate Forum.

Pasir dapat membentuk pulau-pulau terumbu karang seperti itu, demikian menurut studi pada 2018 yang mempelajari pulau Mainadhoo di Maladewa.

Namun, pulau-pulau mendapatkan pasir baru dari terumbu karang, sementara pemanasan global membunuh karang.

Pada suhu tambahan 3,6 derajat Fahrenheit (2 derajat Celsius), 99 persen terumbu karang mati. Pada suhu 2,7 F (1,5 derajat C), beberapa karang masih tersisa.

Pulau Roi-Namur, Kwajalein Atoll, Republik Kepulauan Marshall

Pulau-pulau sebenarnya tidak perlu hilang agar tidak bisa dihuni. Salah satu penyebabnya adalah ketika ombak melanda pulau-pulau yang letaknya rendah, air tanah murni akan terkontaminasi dengan garam.

Laut yang lebih tinggi berarti sering terjadi banjir dan air tanah tidak dapat pulih dari genangan harian atau bahkan tahunan, pohon-pohon pangan pun mati dan air harus diimpor.

Makalah tahun 2018 di Science Advances menganalisis banjir di Roi-Namur di Kepulauan Marshall. Laporan tersebut memperkirakan bahwa sebagian besar pulau-pulau Atoll tidak akan memiliki air minum pada 2060-an, jika target iklim global tidak tercapai.

Atau, pada 2030-an jika lapisan es runtuh karena "skenario terburuk" perubahan iklim. Ribuan penduduk Kepulauan Marshall telah bermigrasi.

Mundoo, Laamu Atoll, Maladewa

Banyak penduduk pulau ini yang beradaptasi, meskipun terjadi banjir besar, sehingga mendefinisikan "layak huni" saja tidak mudah.

Hanya beberapa blok lebarnya di ujung terluar, pulau Mundoo di Maladewa memiliki sekolah, pantai yang indah, dan sejumlah tim olahraga. Jumlah penduduknya kurang dari 200 orang di sini tetapi jumlah tersebut pun mengejutkan.

Pada 2004, banjir menghancurkan Mundoo dan negara tetangganya Kalhaidhoo. Pemerintah mengumumkan bahwa kedua pulau tersebut tidak akan berpenghuni di masa mendatang

"Mundoo pada dasarnya tidak menerima investasi sektor publik," kata Gussmann.

Namun, banyak keluarga Mundoo yang datang kembali. Pulau-pulau yang tidak mendapat pendanaan dari pemerintah pusat, kata Gussmann, mungkin akan menjadi tidak berpenghuni terlebih dahulu, namun kemauan politik bisa membawa kejutan.

Fongafale, Funafuti Atoll, Tuvalu

Tuvalu, ibu kota pulau Fongafale, adalah rumah bagi sekitar 4.000 orang. Pada tahun 2100, 95% pulau ini mungkin akan dilanda banjir saat air pasang.

Untuk mengatasi hal ini, Tuvalu baru-baru ini menambahkan dataran tinggi buatan di salah satu sisi pulau. Rencana jangka panjangnya melibatkan perluasan pulau sekitar 50 persen, kemudian pada akhirnya meninggikan kedua sisinya.

Namun, hasil analisis terhadap berbagai faktor risiko pada 2022 menemukan bahwa upaya perlindungan ini pun mungkin tidak membuat pulau-pulau tersebut tetap layak huni.

Menurunnya ekosistem akan merugikan pariwisata, perikanan, dan kemampuan penduduk pulau untuk mendanai solusi. Skala dan kecepatan upaya global untuk membatasi perubahan iklim akan menghasilkan perbedaan yang nyata.

Pada akhirnya, kepulauan dan komunitas pulau mana yang dapat bertahan akan sangat bergantung pada bagaimana negara-negara lain meresponsnya.

(rfi/arh)

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat