yoldash.net

Review The Tortured Poets Department: Manuskrip Kegetiran Taylor Swift

Review album The Tortured Poets Department: Taylor Swift rasanya membuat ini bukan untuk digemari, tetapi cuma menumpahkan kegetiran dalam relung.
Review album The Tortured Poets Department: Taylor Swift rasanya membuat ini bukan untuk digemari, tetapi cuma menumpahkan kegetiran dalam relung. (dok. Taylor Swift/Beth Garrabrant)

Jakarta, Indonesia --

Saya butuh waktu dan perenungan yang cukup lama untuk mencerna daftar panjang lagu dari Taylor Swift dalam album antologi The Tortured Poets Department.

Terlepas dari kontroversi 31 lagu yang membuat sebagian orang jengah, melodi dari Jack Antonoff yang dianggap tak banyak kebaruan, hingga konten 'gelap' dari lirik-lirik Swift, saya justru merasa memang itulah tujuan album ini hadir.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

31 lagu dalam antologi The Tortured Poets Department bukan dibuat untuk menyenangkan orang yang tidak mengenal Swift dengan baik. Hanya mereka yang tahu dan paham sisi gelap Swift yang akan 'tahan' menghadapi kegamblangan perempuan 34 tahun itu di The Tortured Poets Department.

Lagu-lagu dalam album ini sangat minim hook catchy menggemaskan seperti pada Blank Space, 22, Anti-Hero, ataupun edgy seperti di Look What You Made Me Do. Karena, Swift rasanya membuat ini bukan untuk digemari, tetapi cuma menumpahkan getir yang masih tersisa dalam relung.

ADVERTISEMENT

Swift bukan orang baru dalam membuat hit. Mungkin dia adalah sedikit dari musisi yang sangat bisa membuat lagu catchy dan bertengger di Billboard Hot 100, di radio, kafe hingga mal. Namun formula itu sangat minim saya temukan dalam album ini.

Alih-alih menemukan sejenis "it's me, hi, I'm the problem", justru pendengar akan mendapati "I was a functioning alcoholic" (Fortnight). Alih-alih "cause you know I love the players, and you love the game", orang akan menemukan "I was tame, I was gentle 'til the circus life made me mean" (Who's Afraid of Little Old Me?).

Taylor Swift merilis album terbarunya yang bertajuk The Tortured Poets Department pada 19 April 2024.Taylor Swift merilis album terbarunya yang bertajuk The Tortured Poets Department pada 19 April 2024. (dok. Taylor Swift)

Tak ada penulisan self-mocking atau menyindir mantan yang membuat orang awam ingin menuliskannya di caption Instagram, status, atau di bajunya. Yang ada hanyalah kejujuran, kerentanan, kelelahan, dan susah yang tersimpan dalam menjalani kehidupan. Dan itu sangat manusiawi.

Saya lebih merasa album ini dibuat persis seperti Swift menggarap folklore dan evermore secara spontan pada 2020. Bedanya, kala itu nyaris semua manusia di Bumi berada dalam isolasi dan tak bisa saling berinteraksi fisik, sehingga imajinasi Swift berkelana ke antah-berantah yang kemudian dibuat menjadi lagu.

Dalam situasi yang sangat berbeda dari 2020, Swift mengisolasi pikirannya sendiri dua tahun terakhir dalam osilum yang ia buat, mengekstraksi emosi dan keresahan dalam dirinya, dan mengapsulasikan dalam berbagai sajak.

Apalagi, selama dua tahun terakhir pula, kehidupan Swift bukan seperti manusia normal atau musisi kebanyakan. Ia bagai menjadi Michael Jackson pada dekade '80-90-an, atau The Beatles pada dekade '60-an.

Penggemar yang sudah mengikuti jejak Swift sejak 2006 pasti paham apa yang saya maksud. Saat ini sangat mudah menemukan orang yang tiba-tiba peduli dan bersemangat --minimal ikut membahas--- soal Swift. Sesuatu yang mirip pada era 1989 (2014), tapi lebih besar.

Plus, kehidupan perempuan 'budak cinta' ini begitu mirip roller coaster dengan kecepatan tinggi di jalur yang acakadut. Putus cinta dari seseorang yang sudah menemaninya dari masa terkelam di tengah sorotan orang sedunia, jelas tak akan bisa dihadapi dengan mental biasa.

"You swore that you loved me, but where were the clues? I died on the altar waitin' for the proof. You sacrificed us to the gods of your bluest days" (So Long, London).

[Gambas:Youtube]



Belum lagi menjalani percintaan rebound yang ternyata bergejolak dan intens (The Black Dog). Bukan hanya drama dengan lingkungan yang ingin ikut campur (But Daddy I Love Him, Guilty as Sin?), tetapi juga pertanyaan soal kepastian hubungan yang semula dikira adalah pelabuhan terakhir (The Tortured Poets Department, I Can Fix Him (No Really I Can)).

Itulah mengapa Swift berlari ke musik, seperti aktor yang memilih untuk berpura-pura tersenyum untuk menutupi suasana hatinya. "The professor said to write what you know, lookin' backwards might be the only way to move forward," (The Manuscript).

"I'm lonely, but I'm good. I'm bitter, but I swear I'm fine. I'll save all my romanticism for my inner life and I'll get lost on purpose. This place made me feel worthless." (I Hate It Here)

Di sisi lain, seperti yang pernah ia bilang dalam Miss Americana (2020), pemikiran kapanpun bisa jadi momen terakhir Swift di industri musik rupanya tetap bersemayam meski ia kini berada di golden era. Ia sadar, tak ada yang abadi di dunia ini.

"All your life, did you know you'd be picked like a rose?" (Clara Bow).

Namun di tengah segala kegetiran dan dramatisasi gelapnya kehidupan, Swift tampak dengan jelas mengalami pendewasaan dalam album ini.

Lanjut ke sebelah...

Eksplorasi Tanpa Rem

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat