yoldash.net

Pakar Ungkap Suhu Jakarta Meningkat Drastis, Semakin Panas Membara

Pakar mengungkap Jakarta semakin panas membara dengan suhu permukaan yang meningkat tajam 1,6 derajat Celsius dalam 130 tahun terakhir.
Ilustrasi. Pakar mengungkap Jakarta semakin panas membara dengan suhu permukaan yang meningkat tajam 1,6 derajat Celsius dalam 130 tahun terakhir. (Foto: CNN Indonesia /Andry Novelino)

Jakarta, Indonesia --

Pakar mengungkap Jakarta semakin panas membara dengan suhu permukaan yang meningkat tajam 1,6 derajat Celsius dalam 130 tahun terakhir. Kenaikan suhu tersebut bahkan lebih kuat dibanding laju kenaikan suhu global dan regional.

Praktisi Cuaca dan Iklim Ekstrem BMKG Siswanto mejelaskan, secara umum, iklim Jakarta telah berubah signifikan seiring dengan pertumbuhan kota.

Ia menjelaskan iklim urban didefinisikan sebagai keadaan iklim yang sangat berbeda dengan wilayah rural sekitarnya, yang disebabkan iklim karakteristiknya berbeda antara kota dengan rural. Penyebabnya adalah perkembangan wilayah perkotaan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejumlah pemicu karakteristiknya adalah urbanisasi, perubahan lanskap, serta penggunaan semua properti di dalam perkotaan seperti energi, tata kelola air, dan tata kelola lahan.

ADVERTISEMENT

Menurutnya berdasarkan hasil pencitraan satelit Landsat untuk Jakarta pada 1972, kawasan terbangun di Jakarta masih terbatas dan vegetasi lebih dominan.

Kemudian, pada 1982 vegetasi juga masih terlihat dominan hijau. Suhu belum banyak berubah dengan rata-rata 28 derajat Celsius, meski suhu maksimum bertambah rata-ratanya dari 31,7 derajat Celsius menjadi 32,2 derajat Celsius.

Suhu minimum juga masih tidak terlalu jauh perubahannya, yakni dari 23,3 derajat Celsius menjadi 24,7 derajat Celsius.

15 tahun kemudian, pada 1997, kawasan hunian sangat ekspansif dan diikuti perubahan suhu rata-rata menjadi 28,4 derajat Celsius naik sekitar 0,4 derajat Celsius. Dengan suhu maksimum yang tidak banyak perubahan dan suhu minimum malam hari 25 derajat Celsius.

Selanjutnya, pada 2005, perkembangan kawasan hunian Jakarta semakin ekspansif hingga 2014. Hal ini terlihat dari kawasan hunian yang kian padat bahkan keluar batas Jakarta.

"Perubahan lingkungan kompatibel dengan perubahan iklim atau perubahan suhu, dalam hal ini yang terjadi di Jakarta," kata Siswanto dalam webinar bertajuk 'Urban Climate of Jakarta city: from the last 130 years to the end of 21st Century', mengutip laman resmi BRIN, Kamis (6/6).

Lebih lanjut, Siswanto mengatakan lingkungan perkotaan ini banyak didominasi oleh bangunan baik perumahan atau komersial dengan kepadatan tinggi, permukaan yang beraspal, dan faktor lainnya yang menciptakan lanskap unik tersendiri.

Ia merinci Jakarta dari waktu ke waktu terus berubah. Misalnya, sekitar tahun 1675-1752 pemukiman Jakarta belum padat dan masih tampak gunung-gunung.

Setelah VOC masuk sekitar tahun 1755-1785, Jakarta mulai berkembang, gunung-gunung sudah mulai tidak tampak. Selanjutnya, tahun 2018 gunung-gunung atau perbukitan yang tadinya terlihat itu sudah menghilang.

"Kita akan terus mengalami perubahan itu, tetapi yang pasti perubahan lanskap dan lingkungan akan menghasilkan konsekuensi, salah satunya konsekuensi terhadap iklim," jelas dia.

Siswanto mengatakan, mengacu laporan IPCC 2013 (AR5), aktivitas manusia sangat mungkin menjadi penyebab meningkatnya setengah rata-rata suhu permukaan global yang telah diamati dari 1951 hingga 2010.

Lebih lanjut, kenaikan suhu 1,6 derajat Celsius ini berindikasi terhadap peningkatan ekstremitas hujan sebesar 14 persen.

Dampaknya, curah hujan Jakarta kategori ekstrem menunjukkan tren peningkatan signifikan dengan sifat curah hujan yang mengalami perubahan.

"Semakin deras, durasinya lebih pendek. Peningkatan curah hujan pagi hari dan pergeseran hujan siang ke malam hari, serta peningkatan frekuensi dan intensitas hujan pada musim hujan," kata Siswanto

Peningkatan ini memberi dampak langsung terhadap pemanasan global, dengan peningkatan kapasitas atmosfer menahan air sekitar tujuh persen per 1 derajat Celsius dari tiap pemanasan. Hal ini menyebabkan peningkatan kanduang uap air di atmosfer.

"Sehingga hal ini mempengaruhi siklus hidrologi, khususnya karakteristik curah hujan, mulai dari jumlah, frekuensi, intensitas, durasi, jenis dan kejadian ekstrem," ujarnya.

(tim/dmi)


[Gambas:Video CNN]

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat