yoldash.net

Beredar Pesan Berantai RI Kena Gelombang Panas, Ahli Bongkar Faktanya

Beredar pesan berantai di aplikasi percakapan yang mengklaim Indonesia akan dilanda gelombang panas. Cek fakta sesungguhnya berikut.
Ilustrasi. Beredar pesan berantai gelombang panas melanda RI. (ANTARA FOTO/FAUZAN)

Jakarta, Indonesia --

Pesan berantai di aplikasi percakapan yang beredar mengklaim seluruh Indonesia akan dilanda gelombang panas. Ahli pun bicara fakta sesungguhnya.

Sebelumnya, sejumlah negara di Asia Selatan dan Tenggara seperti Bangladesh, Myanmar, India, China, Thailand, Laos, hingga Vietnam dihantam fenomena gelombang panas atau heatwave, sejak awal bulan ini.

Fenomena ini memecahkan banyak rekor suhu maksimum tingkat lokal. Menyusul kabar itu, RI pun kena rumor ikut dilanda gelombang panas.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dosen di Sekolah Tinggi Meteorologi dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG) Deni Septiadi menyebut pesan berantai tersebut dibarengi dengan peta suhu wilayah Asia yang mayoritas berwarna merah kehitaman dengan judul 'Heatwave in Asia'.

"Tolong informasikan ke group, sampai dgn keluarga masing masing, suhu udara semakin panas. Minum harus lebih banyak banyak dari biasanya. Dan semakin hati² bahaya kebakaran, jangan gunakan lilin tanpa kontrol, pastikan kompor masak mati setelah digunakan. Kita amankan keluarga dan teman² kita. Teruskan informasi ini sekarang juga. Semoga bermanfaat," demikian bunyi pesan yang tak jelas siapa yang memulainya itu.

Deni menjelaskan pesan berantai yang mengklaim bersumber dari Global Deterministic Prediction System, Environment and Climate Change Canada, itu adalah hoaks. Salah satunya karena peta suhu tidak dibaca dengan semestinya.

"Pesan berantai bahwa suhu panas ekstrem melanda Indonesia adalah hoaks," katanya dalam sebuah analisis yang diterima Indonesia.com, Minggu (14/5).

Ia menyebut tampilan peta dunia suhu udara memang bersumber dari otoritas Kanada. "Namun demikian peta tersebut tidak dibaca sebagaimana mestinya," tukasnya.

Deni menjelaskan dalam peta tersebut orang-orang akan melihat warna merah pada wilayah Benua Maritim Indonesia (BMI) sebagaiamana Thailand dengan suhu 40 derajat Celcius.

Padahal, warna merah pada BMI apabila dilihat dengan seksama pada peta tersebut punya angka 20-30 derajat Celcius.

"Artinya sangat normal untuk wilayah tropis yang radiasi masuk mataharinya (incoming solar radiation) cenderung tegak lurus," ujar dia.

"Bahkan di Equator (Pontianak Kalbar) matahari berada pada titik nol (Ekuinoks) sebanyak 2 kali dalam setahun, yaitu antara 20-21 Maret dan 22-23 September," imbuh dia.

Menurutnya, alasan suhu udara terasa lebih panas saat ini lebih terkait dengan posisi Matahari.

Menurutnya, pada fase Maret-April-Mei (MAM), jika ditinjau dari perpindahan posisi matahari (Utara-Selatan), maka pola aliran fluida saat ini mulai didominasi dari Australia yang cenderung kering.

"Dampaknya, pada sebagian besar BMI peluang hujan akan semakin kecil (meskipun bukan berarti bulan tanpa hujan) apabila dibandingkan dengan fase Desember-Januari-Februari (DJF)."

Pada fase MAM, pertumbuhan awan dan hujan juga akan lebih didominasi dari proses konvektif secara thermal.

"Pengangkatan udara akan dimaksimalkan dengan cara tersebut, disamping konvergensi (terutama pada daerah pesisir) dan orografi (pada daerah pegunungan," ujar dia.

"Oleh karena itu, untuk mikrofisis awan sempurna dengan aliran updraft yang mampu membawa uap air dan menghasilkan perubahan fasa (kondensasi) membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan pada fase DJF."

"Umumnya kita akan merasakan gerah 2-3 hari sebelum awan-awan sempurna menghasilkan presipitasi atau hujan," imbuhnya.

Lihat Juga :

Lebih lanjut, menurut data BMKG, Deni menyebut tidak terjadi anomali suhu baik itu dari wilayah Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Kupang, NTB, Maluku hingga Papua.

Suhu-suhu maksimum harian BMI tertinggi dalam 3 tahun terakhir juga sebagian besar terjadi pada 2021 bukan 2023.

Bukan area gelombang panas

Apakah itu berarti Indonesia aman dari gelombang panas?

Deni menyebut Indonesia bukanlah area yang biasa terdampak fenomena ini. Pasalnya, Nusantara bukan area pembentuk tekanan tinggi.

Ia menjelaskan gelombang panas atau heatwave terbentuk akibat sistem tekanan tinggi (high pressure) pada area yang luas. Hal itu kemudian seakan-akan membentuk penutup yang memerangkap udara panas keluar dari area terkait.

"Sistem tersebut akan mencegah terjadinya presipitasi pada daerah terdampak," ucapnya.

"Namun demikian, BMI bukanlah area atau wilayah pembentuk tekanan tinggi, oleh karena itu secara fisis gelombang panas tidak dapat terjadi di Indonesia," jelas dia.

Soal kemungkinan panas dari faktor paparan sinar ultraviolet, Deni juga membantahnya. Ia menyebut UV merupakan radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang yang lebih pendek dari cahaya tampak, tetapi lebih panjang daripada sinar X.

"Oleh karena itu, UV tidak terkait secara langsung dengan suhu udara meskipun peta sebaran paparan radiasi juga memiliki gradasi warna merah hingga ungu sebagaimana suhu udara," tandas dia.

(lom/arh)

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat