yoldash.net

Mendung Hari Lingkungan di Tengah Izin Tambang Ormas & Korupsi Timah

Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang jatuh pada hari ini diwarnai sorotan publik atas destruksi korupsi timah dan izin tambang untuk ormas agama.
Kerusakan lingkungan di Indonesia terus terjadi. (ANTARA FOTO/IDHAD ZAKARIA)

Daftar Isi
  • Kado tambang untuk ormas
  • Korupsi timah Rp300 T
  • Negara penyumbang polusi terbesar
Jakarta, Indonesia --

Hari Lingkungan Hidup Sedunia jatuh pada hari ini, Rabu (5/6), ketika Indonesia sedang terlilit sejumlah masalah dan polemik ekologi yang serius.

Tiga orang anggota Suku Tobelo Dalam atau O'Hongana Manyawa menyambangi lokasi pertambangan Kaorahe di wilayah hutan Halmahera, Maluku Utara (Malut), beberapa hari lalu.

Suku Tobelo yang juga dikenal sebagai Suku Togutil, sangat jarang menampakkan diri ke tengah-tengah masyarakat. Tak ayal, peristiwa yang terekam video ini viral media sosial. 

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ada yang menyatakan peristiwa itu sebagai tanda ketidakberesan. Diduga, keluarnya anggota Suku Togutil dikarenakan ruang hidupnya yang mulai terancam akibat perambahan hutan.

Sementara itu dari Istana Kepresidenan, Presiden Jokowi memberikan izin tambang untuk ormas keagamaan. Selain karena isu bagi-bagi jatah, kebijakan ini disoroti karena potensi kerusakan lingkungan akibat tambang dikelola pihak yang bukan ahlinya.

ADVERTISEMENT

Potensi konflik antara ormas keagamaan dengan warga sekitar tambang juga menjadi perhatian. Selain itu, ada persoalan aturan yang tak sesuai Undang-Undang Mineral dan Batubara.

Publik Indonesia juga dibentak dengan kasus korupsi PT Timah yang ditaksir menimbulkan kerugian lingkungan hingga Rp271 triliun. Belakangan ini, Kejaksaan Agung menyatakan kerugian negara mencapai Rp300 triliun akibat kasus ini.

Kado tambang untuk ormas

Presiden Jokowi menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024. Regulasi tersebut memberi karpet merah untuk ormas keagamaan untuk mengurus pertambangan.

Pemerintah memperbolehkan ormas keagamaan mengelola wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK). Ormas-ormas itu mendapatkan prioritas penawaran dari pemerintah untuk mengelola tambang.

Rere Christanto, Manajer Kampanye Tambang dan Energi Eknas Walhi, mengatakan ada sejumlah masalah dalam kebijakan ini. Pertama, kebijakan ini tak sesuai dengan aturan di UU Minerba.

Pemberian WIUPK, kata Rere, tetap harus melalui lelang. Memang ada prioritas, tetapi untuk BUMN dan BUMD, bukan untuk ormas keagamaan.

"Ini kemudian menunjukkan bahwa pemerintah bisa dengan mudah melakukan obral kaya sumber daya alam hanya untuk kemudian melakukan soal penundukan atau bagi-bagi kue kepada berbagai pihak," kata Rere saat dihubungi Indonesia.com, Rabu (5/6).

Kebijakan ini dinilai akan menimbulkan sejumlah bencana lingkungan. Pertama, karena hak kelola tambang dipegang ormas keagamaan yang tak berpengalaman mengelola tambang.

Rere khawatir inkompetensi ormas keagamaan mengelola tambang justru akan merusak lingkungan. Hal lain yang dikhawatirkan adalah para pemain tambang yang coba menunggangi ormas-ormas keagamaan.

"Padahal, nanti, kalau terjadi perusakan lingkungan konflik sosial, yang akan mendapatkan cap buruk ormas yang menerima izin tambangnya ini. Bahkan malah bisa jadi ormas-ormas ini bisa berkonflik dengan warganya sendiri," ujar Rere.

Jokowi mengklarifikasi pemberian izin tambang untuk ormas keagamaan. Dia menegaskan pemberian izin dilakukan dengan ketat dan untuk badan usaha, bukan langsung ke ormas keagamaan.

"Jadi, badan usahanya yang diberikan, bukan ormasnya," ujar Jokowi di Istana Merdeka Nusantara, IKN, Rabu (5/6).

Korupsi timah Rp300 T

Kejaksaan Agung memproses hukum kasus korupsi tata niaga timah di wilayah IUP PT Timah tahun 2015-2022. Kerugian negara ditaksir menembus angka Rp300 triliun.

Kejagung menyebut PT Timah melakukan kerja sama pengelolaan secara ilegal dengan pihak swasta. Hasil pengelolaan tambang timah dijual kembali kepada PT Timah Tbk sehingga berpotensi menimbulkan kerugian negara.

Ahli lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo membuat taksiran kerugian lingkungan berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) Nomor 7 Tahun 2014.

Dia menyebut kerugian lingkungan mencapai Rp271 triliun. Angka itu terdiri dari kerugian lingkungan ekologis, ekonomi lingkungan, dan biaya pemulihan, baik di kawasan hutan maupun nonhutan.

Rere mengatakan kasus ini sebenarnya menunjukkan lemahnya regulasi dan pengawasan pemerintah terhadap industri tambang. Keberpihakan pemerintah atas dampak tambang terhadap lingkungan juga terbukti buruk di kasus ini.

"Kasus ini kan menunjukkan kegagalan monitoring dan penegakan hukum yang dilakukan oleh Kementerian ESDM sebagai penanggung jawab di urusan pertambangan di Indonesia," ujar Rere.

Kasus ini juga membuka mata publik terhadap dampak buruk pengelolaan tambang timah serampangan di Bangka Belitung. Walhi menyoroti kerusakan masif terumbu karang akibat penambangan timah di lepas pantai.

Merujuk analisis citra tahun 2015, ekosistem terumbu karang di Bangka Belitung mencapai 82.259,84 hektare. Lima tahun setelahnya, 64.514,99 hektare ekosistem terumbu karang di laut Bangka Belitung hilang.

Persoalan lainnya adalah lubang bekas tambang atau kolong yang tak direklamasi. Walhi mencatat kolong di Bangka Belitung mencapai 12.607 kolong dengan total luasan 15.579,747 hektare pada 2018.

Kolong tambang menimbulkan korban luka hingga jiwa. Pada 2021-2024, Walhi mencatat 31 orang meninggal dunia akibat kecelakaan tambang dan 22 orang mengalami luka-luka di Babel.

Pada 2020, Walhi telah tegas menyatakan bahwa penghancuran lingkungan hidup tidak bisa lagi dilihat hanya sebagai pelanggaran hukum semata.

Praktik tersebut sudah harus masuk kategori kejahatan ekosida atau kejahatan besar lingkungan hidup oleh korporasi yang seharusnya masuk kategori pelanggaran HAM.

Walhi dalam surveinya pada tahun yang sama menyatakan bahwa publik menilai kerusakan lingkungan hidup yang terjadi melibatkan aktor korporasi dan didukung oleh kebijakan negara.

Korupsi timah bisa jadi mewakili apa yang disebut sebagai praktik ekosida. Namun, potensi kerusakan lingkungan akibat pengelolaan tambang dari ormas agama, juga perlu diperhatikan secara serius. 

Negara penyumbang polusi terbesar

Indonesia juga masih menghadapi masalah polusi. Pemerintahan Presiden Jokowi mencanangkan Net Zero Emission (NZE) pada 2060 pada COP28 Dubai, Uni Emirat Arab (UEA), 1 Desember 2023. Namun, sejumlah riset internasional masih mencatat Indonesia sebagai negara penyumbang polusi terbesar.

Emissions Database for Global Atmospheric Research menyebut Indonesia sebagai salah satu negara penghasil emisi karbon dioksida terbesar tahun 2023. Indonesia duduk di peringkat enam dan menyumbang 1,8 persen emisi karbon dunia.

Rere mengatakan hal ini terjadi karena pemerintah abai terhadap dampak perubahan iklim. Solusi-solusi yang ditawarkan di panggung internasional tak dibarengi aksi nyata.

Pada kenyataannya, pemerintah masih mengedepankan pembangkit listrik tenaga uap yang bersumber dari batubara. Selain itu, pemerintah juga masih gencar melakukan pembangunan dengan pembukaan lahan hutan.

Padahal, hutan menjadi salah satu kunci menghadapi perubahan iklim. Hutan juga menjadi pencegah bencana ekologis yang belakangan marak terjadi.

"Kalau kemudian ketidakmauan pemerintah untuk segera melakukan penurunan emisi gas rumah kaca, terutama pada sektor energi atau pada sektor lahan, misalnya masih banyak sekali kawasan utama yang mengalami deforestasi, perubahan iklimnya juga akan semakin cepat, ini akan mencapai titik katastropik," ucap Rere.

Indonesia.com telah menghubungi Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana untuk meminta tanggapan terhadap catatan kritis Walhi di Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Namun, Ari tak memberi tanggapan hingga berita ini tayang.

(dhf/wis)


[Gambas:Video CNN]

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat