yoldash.net

Rumah Tanggaku 'Panas' Gara-gara Beda Pilihan Politik - Halaman 2

Ada benarnya juga kata orang, pilihan politik yang berbeda bisa jadi 'duri' dalam percintaan dan rumah tangga.
Ilustrasi. Perbedaan pandangan politik bisa jadi masalah dalam rumah tangga. (iStock/PeopleImages)

Saya jelas jadi semakin risih. Dengan sikap mendewa-dewakan itu, ia juga seolah memaksakan kehendaknya pada saya.

Perbincangan yang mulanya hanya guyon soal pilihan capres ini lama-lama jadi hal yang serius. Ia pernah marah dan membentak karena saya ngotot tak mau memilih calon yang sama dengannya.

"Kamu, tuh, harusnya pilih dia, percaya aja lah sama aku. Udah pokoknya kamu harus nyoblos dia nanti," ujar Tedjo. Jujur saya, saya kesal bukan main.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Masalahnya, suamiku bukan tipe orang yang suka memaksakan kehendak selama ini. Apa pun itu, ia selalu berusaha mengambil jalan tengah saat kami berbeda pendapat.

Tapi, saat urusannya soal Pilpres 2024, Tedjo berubah. Ia tak mau mendengarkan pendapat saya, apalagi menghargai pilihan istrinya sendiri.

ADVERTISEMENT

Lagi pula, apa salahnya, sih, jika suami istri punya pilihan politik yang berbeda? Bukankah setiap individu berhak dengan pilihan politiknya masing-masing, tanpa peduli ikatan apa pun yang ada.

Anak dan orang tua saja bisa beda pandangan politik. Masak suami dan istri tidak boleh?

Kian hari, perbedaan pandangan politik itu membuat hubungan kami kian memanas. Di tahun ketiga pernikahan, rumah tangga saya panas gara-gara beda pandangan politik.

Tak main-main, Tedjo bahkan pernah memberlakukan aksi diam seribu kata saat kami berbeda pendapat soal hal yang sama.

Ia diam selama sehari penuh. Tak ada satu pun jawaban yang keluar dari mulutnya saat saya mencoba mengajaknya mengobrol.

Sampai-sampai ada satu momen, ia tak mau melahap masakan yang telah saya siapkan. Gara-gara apa? Gara-gara saya tak satu pilihan dengannya.

Tedjo juga menjadi pribadi yang pemarah, utamanya jika saya mencoba mengkritisi pilihannya.

"Ya, aku enggak mau aja nanti yang menang yang salah. Enggak mau, ya, dipimpin sama yang salah selama lima tahun". Begitu kira-kira alasannya setiap kali saya mempertanyakan sikap memaksakan kehendaknya.

Tak mau kalah, saya selalu membantah setiap ucapannya.

"Dari mana kamu tahu kalau pilihan kamu juga bagus untuk lima tahun nanti? Jadi jangan memaksa, karena aku juga punya cara pandang sendiri untuk setiap calon di pilpres ini".

Tapi, Tedjo juga tak mau kalah. Ada ratusan bantahan yang lagi-lagi dilontarkannya saat saya melawan. Ia keukeuh ingin saya memilih nama yang sama dengan pilihannya.

Risih dan kesal jelas jadi dua rasa yang paling berkobar-kobar dalam diri saya. Hawa rumah juga terasa lebih 'panas' saat urusan politik sedang berkuasa di kepala Tedjo.

Dalam kondisi itu, sering kali saya memilih memisahkan diri dan berdiam di kamar sendirian, alih-alih nimbrung dan memicu keributan selanjutnya.

Sakarepmu lah.

Tulisan ini merupakan cerita dari pembaca Indonesia.com, Aini (34). Love Story merupakan program kanal Gaya Hidup Indonesia.com yang berisi tentang kisah cinta dan peliknya lika-liku kehidupan masa kini yang disajikan secara intim dan personal. Kirim tulisan pengalaman pribadi Anda dengan minimal 800 kata ke [email protected].
(tst/asr)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat