Ilustrasi. Bagi beberapa pasangan, menanti kabar kehamilan membutuhkan waktu yang sangat panjang. (CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi)
Jakarta, Indonesia --
Kisah saya dan istri memang tak dipenuhi puisi romantis ala Rangga-Cinta. Tapi, kau boleh menyamakan kami layaknya penantian 14 tahun Rangga-Cinta.
Rangga menanti 168 purnama alias 14 tahun menanti kepastian hubungannya dengan Cinta. Sementara kami, 14 tahun menanti kabar bahagia bernama dua garis biru.
Empat belas tahun menunggu kabar kehamilan tentu bukan waktu yang sebentar, bukan? Jatuh bangun peristiwa sudah kami lahap sampai puas, sampai kami sempat menyerah dan tak mau pusing-pusing memikirkannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi takdir berkata lain. Setelah 14 tahun menunggu, kabar bahagia itu pun datang tiba-tiba.
Awalnya, sebenarnya karena haid yang tak kunjung mampir pada istri. Coba pakai test pack, tapi yang muncul hanya satu garis biru.
Sempat curiga absennya haid itu dipicu oleh tubuh yang terlalu gemuk. Eh, tapi ternyata tidak, pemeriksaan ke dokter berkata lain.
"Lho, ini ada bayinya!" ujar dokter yang memeriksa kala itu sambil terkejut.
Saya pun diminta untuk mendekat ke kursi 'singgasana' pemeriksaan. Tes USG pun dilakukan.
Dokter menjelaskan letak kepala bayi, kemungkinan jenis kelamin, kondisi ketuban, hingga usia kandungan. Ternyata janin sudah berusia 4 bulan!
Air mata pun pelan-pelan keluar, membasahi mata yang masih terbelalak kaget. Betapa tidak, kami mendapatkan kabar bahagia yang telah dinanti-nantikan selama 14 tahun.
Ilustrasi. Tarto dan istri harus menunggu selama 14 tahun demi mendapatkan kabar kehamilan. (iStockphoto/FatCamera)
Kami telah menikah sejak 2008 lalu. Santai saja, tak ada agenda buru-buru mengejar keturunan.
Secara finansial, rasanya kami belum siap. Toh, usia masih muda dan ruang untuk mengembangkan karier masih begitu luas. Saya juga bersyukur memiliki keluarga, baik dari pihak saya maupun istri, yang tidak rewel.
Barulah masuk tahun ketiga hingga keempat pernikahan, muncul keinginan kuat untuk memiliki anak. Kami menempuh jalur medis dan berkonsultasi ke dokter di sebuah rumah sakit.
Hasilnya, dokter menemukan kista di ovarium sebelah kiri istri atau polycystic ovarian syndrome (PCOS). Kista-kista ini harus dibereskan, baru program hamil bisa dieksekusi. Belum lagi ternyata ada masalah pada usus buntu sehingga perlu dipotong.
Rupiah terhambur sebelum program hamil berjalan. Dan saat program berjalan, biayanya juga cukup menguras kantong. Bayangkan, sekali konsultasi dengan dokter saja bisa habis hingga jutaan rupiah.
Simak cerita selengkapnya di halaman berikutnya..
Merasa tak kuat, kami memutuskan untuk balik kanan setelah sekitar 6 bulan program.
Barangkali Tuhan kembali mengisi tangki semangat kami. Sekitar 2016-2017, saya dan istri berdiskusi dan menemukan semangat untuk mencoba lagi.
Sialnya, kista yang kami pikir sudah lenyap itu justru muncul lagi. Pahit, ya, rasanya?
Tak menyerah, kami kemudian menempuh program hamil dengan inseminasi. Tapi, rencana Tuhan rupanya berbeda.
Tuhan belum memberikan amanah itu. Inseminasi gagal.
Kami dibuat patah arang. Kalau mau coba lagi, biayanya besar.
Yah, mau bagaimana lagi? Tuhan lagi-lagi memberikan kami kesempatan untuk menyicip pil pahit kehidupan.
Namun, rasanya pahitnya hidup itu sudah biasa kami alami. Saya dan istri tidak datang dari keluarga berada. Kalau band The Rain sudah "Terlatih Patah Hati", saya dan istri cenderung 'Terlatih Merasakan Pahitnya Hidup'.
Dari jalur medis, kami beralih ke jalur alternatif. Kami menjalaninya atas dorongan orang sekitar.
Apa pun saran dari teman, kerabat, keluarga, kami ikuti. Rumput fatimah, kurma muda, dan buah zuriat mewarnai hari-hari kami.
Ilustrasi. Tak sedikit dari pasangan yang sulit mendapatkan momongan itu menyerah di tengah jalan. (iStock/vadimguzhva)
Pandemi tiba dan akhirnya kami memutuskan untuk tidak memikirkannya lagi. Tak apalah, sebab berdua begini serasa jadi pengantin baru terus.
Saya fokus bekerja di ibukota, dia fokus studi S2 di Solo dan memutuskan tinggal di rumah orang tua di Sragen.
Tapi, justru saat kami memilih untuk tak lagi memikirkannya, apa yang dinanti-nanti itu datang. Ada jabang bayi dalam perut istri saya!
Masih ada rasa tak percaya yang bercampur syukur. Sembari memegang buku periksa dan vitamin, kami berdua menangis di ruang tunggu.
Ibu mertua tak kalah haru mendengar kabar ini. Beliau menangis kencang karena diperkirakan jenis kelamin anak kami kelak adalah perempuan. Betapa dia bahagia memiliki cucu perempuan di tengah ramai cucu laki-laki di keluarga kami.
Doa-doa yang kami panjatkan selama 14 tahun terkabul. Tak hanya kami, tetapi juga doa-doa dari teman, sahabat, keluarga bahkan tetangga.
Tuhan memberikan sesuatu tepat pada waktunya.
Boleh dibilang, rezeki ini jadinya double. Istri sedang menyiakan tesis demi gelar masternya, ditambah dengan gelarnya yang kelak akan menjadi seorang ibu.
Gelar saya juga akan bertambah. Mulai sekarang, saya akan pulang ke Sragen setiap pekan. Kamu bisa sebut saya Tarto, anggota PJKA alias 'pulang Jumat kembali Ahad'.