Menengok Wajah Si Dia Setahun Sekali Saban Ramadan
Pipi saya selalu memerah saban Ramadan. Ia bahkan bisa memerah dengan sendirinya, tanpa pulasan blush on. Ya, pipi ini tampaknya sadar betul bahwa saya pasti akan tersipu malu di bulan Ramadan. Karena hanya di bulan Ramadan-lah, saya bisa bertemu dan memandang wajah Anu, si laki-laki pujaan sejak bangku SMA.
Lebih dari satu dekade yang lalu saya dinyatakan lulus dari salah satu SMA di Bandung. Ah, wajah kinyis-kinyis itu bahkan kini telah luntur. Tapi, wajah Anu, saya yakin tak akan pernah berubah.
Tapi, saya tak menyukainya, mencintainya, apalagi menginginkannya. Hati ini kini telah jatuh dan luluh pada seorang pria yang saya nikahi pada empat tahun lalu. Dia [suami] bahkan tahu kegilaan saya pada wajah menenangkan Anu. Alih-alih marah atau cemburu, dia justru menertawakan saya. "Aneh-aneh aja kamu. Naksir wajah orang sampai sebegitunya," ujarnya di suatu waktu sambil tertawa terbahak-bahak.
Anu adalah seorang kakak kelas satu tingkat saat SMA. Pertemuan pertama kami terjadi di ruang lembaga seni SMA. Kala itu, Anu-yang duduk di bangku kelas 2 SMA-sedang anteng menggebuk drum. Sementara saya, hanya siswi baru yang coba-coba sok aktif di lembaga seni sekolah demi mendekatkan diri dengan kakak kelas.
Sontak, di saat itu pula, saya terperangah pada sorot dingin dan menenangkan yang dipancarkan mata Anu di balik gebukan drum-nya yang kencang. Sungguh dingin, tak ada sedikit pun emosi yang keluar.
Tubuhnya jangkung dan kurus. Poni rambutnya yang halus selalu terbelah di bagian pinggir, rapi. Wajahnya tak lonjong, tak juga terlalu bulat. Belahan tipis di dagunya selalu membuat siapa pun ingin mencubitnya.
Mulutnya yang mungil jarang terbuka untuk bicara, jarang juga ia tertawa lepas. Paling sesekali hanya menyunggingkan senyum tipis yang membuat hidung kecilnya sedikit melebar. Entah dengan siapa Anu bisa tertawa lepas, dari dulu saya selalu bertanya-tanya.
Matanya? Oh, matanya! Ekor matanya sedikit runcing, tapi tidak sipit. Di dalamnya ada bola mata cokelat yang tampak selalu kelelahan. Sayu, tapi menenangkan. Sorot matanya seolah mengisyaratkan tak ada sedikit pun beban yang ada dalam pikirannya. Hidupnya seolah lurus, seperti jalan tol yang meregang panjang tanpa hambatan.
Wajah itu pula-lah yang membuat saya selalu berupaya sedemikian rupa agar bisa pulang ke Bandung saban Ramadan dan mengikuti atau berpartisipasi dalam acara ngabuburit sekaligus buka bersama yang diadakan oleh lembaga seni SMA saya dahulu. Demi apa? Demi menengok wajah Anu secara langsung, setahun sekali.
Apa pun saya lakukan demi bisa melihat wajah menenangkan Anu yang tak pernah berubah dari tahun ke tahun. Yah, setidaknya hanya sekali dalam setahun.
Upaya keras itu dimulai sejak tahun 2012, saat saya mulai bekerja di Jakarta. Kau tahu? Saking terobsesinya, bahkan saya bisa dua kali pulang ke Bandung selama bulan Ramadan. Kepulangan pertama khusus untuk mengikuti acara buka bersama, kepulangan kedua tentu untuk berkumpul bersama keluarga tersayang jelang Lebaran.
Jika dipikir-pikir, terlalu boros rasanya uang yang saya keluarkan hanya untuk bertemu Anu. Padahal, saat itu saya masih pekerja baru yang digaji dengan standar UMK. Tapi, tak apa, semua demi Anu.
Ilustrasi. (iStockphoto/kzenon) |
Berbagai cara saya lakukan. Mulai dari mencari tebengan untuk pulang ke Bandung hingga merayu teman-teman panitia buka bersama untuk mengulur waktu acara jadi berdekatan dengan tanggal Lebaran agar saya tak perlu dua kali pulang ke Bandung.
Upaya semakin keras dilakukan saat saya berpindah tempat kerja ke Yogyakarta sejak tahun 2015. Tentu kau tahu bukan, ongkos pulang pergi Bandung-Yogyakarta bukan cuma seribu dua ribu. Ditambah perjalanan yang memakan waktu berjam-jam. Saat bertemu Anu, wajah ini rasanya lesu. Apalagi jika ingat bahwa keesokan paginya setelah sahur saya harus kembali ke Yogyakarta.
"Gila, ngapain kamu ke Bandung sekarang? Buang-buang uang. Nanti aja kalau udah dekat Lebaran," ujar salah seorang teman, mengomentari saya yang ngotot pulang ke Bandung demi ikut acara buka bersama.
Tapi, belum sampai masuk ke telinga, saran itu sudah terbuang begitu saja. Tidak, saya akan tetap pulang ke Bandung. Toh, selain bisa menengok Anu, saya juga bisa melepas rindu dengan teman-teman semasa SMA. Sekali berenang, dua tiga pulau terlampaui.