yoldash.net

Satu Sudut Kamar Kos di Rumah Mertua

'Bagi saya, menikah adalah tanda kemandirian. Karena alasan itu pula, saya menyewa satu kamar kos di rumah mertua.'
Ilustrasi. Menikah bisa jadi salah satu tanda kemandiria. (Basith Subastian/CNNIndonesia)

Jakarta, Indonesia --

Bagi saya, menikah adalah tanda kemandirian. Karena alasan itu pula, saya menyewa satu kamar kos di rumah mertua. Satu kamar itu menjadi tempat tinggal bagi saya bersama istri dan anak semata wayang kami.

"Makasih, ya, Alit," tulis pesan ibu mertua saat uang sewa kamar telah terkirim ke rekeningnya. Kalimat itu selalu muncul di layar ponsel saban bulan selama dua tahun ini.

Saya tahu betul perasaannya tiap kali menuliskan seutas kalimat terima kasih tersebut: canggung. Mana ada orang tua yang mendapatkan uang sewa kamar kos dari anaknya sendiri?

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berkali-kali ia meminta Yara, putri pertamanya sekaligus istri saya, untuk tak lagi membayar uang sewa kos. "Ibu rida, kok. Ini, kan, rumah kamu juga," kata ibu.

ADVERTISEMENT

Tapi Yara sepertinya tak mau kuwalat, ia nurut apa kata suami. Yara menolaknya, tentu dengan cara yang halus dan penuh kasih sayang.

Saya membayar sewa kamar seharga Rp1,2 juta per bulan. Meski ibu tak pernah menagih, tapi saya selalu membayar tepat waktu.

Dari bayaran sebesar Rp1,2 juta itu saya mendapatkan fasilitas kosan pada umumnya. Satu kamar berukuran 3x4 meter dengan kamar mandi dalam. Di dalamnya ada kasur besar, lemari, dan meja. Standar fasilitas kosan pada umumnnya. Tak ada yang istimewa, kecuali kami yang boleh lebih sering bolak-balik ke area rumah utama dan sesekali makan di sana dibandingkan penghuni kosan lainnya.

Kau pasti bingung dan bertanya-tanya: untuk apa ngekos di rumah mertua sendiri? Bukankah saya bisa saja tinggal di rumah mertua?

Memang bisa. Tapi saya tak mau.

Ilustrasi konsultasi pasanganIlustrasi. Bagi Alit, menikah adalah tanda kemandirian. (iStock/PeopleImages)

Saya dan Yara menikah pada 2016 lalu. Mulanya, kami menjalani rumah tangga jarak jauh. Yara berada di rumahnya, sementara saya lebih sering mondar-mandir ke berbagai tempat karena alasan pekerjaan. Kami mungkin hanya bertemu satu atau dua bulan sekali, sekalian honeymoon.

Tak ada yang begitu membebani kala itu. Ketakutan saya akan urusan finansial setelah menikah berhasil teratasi. Tak ada cicilan rumah, dan kami pun memang sengaja menunda kehadiran momongan.

Satu tahun kemudian, kondisi berubah. Yara hamil, kami kebobolan.

Sontak bayangan tentang tanggung jawab yang lebih besar pun hilir mudik di kepala. Saya berpikir keras untuk membuat sebuah keputusan anyar. Saya juga tak ingin jadi ayah yang jarang bertemu buah hatinya.

Sementara si kecil menikmati bulan-bulan pertama kehidupannya, kami masih menjalani pernikahan jarak jauh. Saya pulang seminggu sekali, sambil menunggu celah baru agar bisa terus bersama si kecil.

Semesta pun memberikan jawaban. Saya dipindahkan ke kota yang sama dengan Yara. Kami tinggal di rumahnya, bersama orang tua, adik, dan neneknya.

Awalnya biasa saja. Tapi lama-lama, ampun, kondisi itu bikin saya malu.

Tak ada apa konflik apa pun antara saya dan keluarga Yara. Kami baik-baik saja. Saya juga merasa nyaman tinggal bersama mereka. Betapa tidak, kami makan dan tidur secara gratis di sana.

Tapi rasa malu sebagai menantu yang tak bisa hidup mandiri dan bertanggung jawab sepenuhnya atas keluarga kecilnya menggerogoti diri saya. Dalam taraf hidup seperti yang saya miliki saat itu, wajarkah jika saya masih bergantung dengan mertua?

Secara finansial, saya tak payah-payah amat. Saya punya jabatan yang cukup mentereng di kantor. Saya bahkan bisa membawa Yara dan si kecil berlibur ke tempat-tempat yang diinginkan.

Belum lagi sikap keluarga yang baik dan perhatiannya minta ampun. Berkali-kali saya menawarkan bantuan biaya bulanan di rumah, tapi berkali-kali pula ditolak.

"Enggak usah, Lit. Kamu, kan, anak ibu juga," ujar ibu.

Ilustrasi keluarga bermain board gameIlustrasi. Kebaikan keluarga justru membebani Alit. (iStock/staticnak1983)

Pernah sekali waktu, si kecil tiba-tiba jatuh sakit dan harus dibawa ke UGD. Kebetulan saya sedang berada di luar untuk urusan pekerjaan.

Setibanya di rumah sakit, saya melihat si kecil meringkuk dengan matanya yang layu. Saat saya mencoba mengurus administrasi dan keuangan di rumah sakit, begitu kaget diri ini mengetahui bahwa semuanya telah diurus oleh mertua.

Rasanya kala itu saya ingin marah pada Yara. Tapi Yara juga tak bisa apa-apa. Semua orang panik dan Yara tak mau menambah ruwet masalah dengan menolak bantuan ibu-bapak. Yara tahu bahwa penolakan akan membuat ibu dan bapak sakit hati.

Di kamar rawat inap, si kecil--masih dengan matanya yang layu--terlihat cengengesan bercanda dengan kakek-neneknya.

"Makasih, ya, pak, udah dibantu urus ini itu," ujar saya.

"Enggak apa, Lit. Kita bareng-bareng aja ngurus si kecil," jawab bapak.

Saya tersenyum tipis, menundukkan kepala, dan pergi ke luar area rumah sakit. Kepulan asap rokok jadi saksi rasa malu dan dongkol yang bergejolak di dalam diri.

Tak pernah terbayang di kepala untuk menjadi seorang menantu yang merepotkan.

Berlanjut ke halaman berikutnya..

Satu Sudut Kamar Kos di Rumah Mertua

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat