yoldash.net

Indonesia Disebut Tak Mampu Kelola Kekayaan di Wallacea

Kawasan Wallacea (Sulawesi, Maluku, NTT) memiliki potensi kekayaan yang hanya bisa didapatkan dengan memaksimalkan sains dan teknologi.
Ekologi kekayaan Indonesia, khususnya di kawasan Wallacea bisa dinikmati anak cucu. (Foto: CNN Indonesia/Safir Makki)

Makassar, Indonesia -- Selama kurang lebih 10 tahun Alfred Russel Wallace, seorang Naturalis Inggris, tinggal di kawasan Nusantara yang ia abadikan di dalam buku 'The Malay Archipelago'.

Ia meneliti banyak hal terkait hewan endemik dan kekayaan alam terutama flora di Tanah Melayu (Jawa, Sumatera,dan Kalimantan), Kawasan Wallacea (Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara), hingga Papua.

Ia berhasil mengumpulkan 125.600 spesimen yang menunjukkan bahwa Nusantara adalah wilayah mega-biodiversitas. Wallace kemudian mengenalkan hewan dan tumbuhan endemik yang kaya dan hanya ada di Kawasan Wallacea.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Direktur Jenderal Kebudayaan Hilman Farid mengatakan Indonesia harus kembali melihat dasar-dasar ilmu dan penemuan sains yang diteliti Wallace selama di kawasan Wallacea. Saat itu, menurut Hilman, Wallace mampu berkolaborasi dengan 1.000 orang pribumi untuk mengenalkan kekayaan Nusantara pada dunia.

"Beberapa asistennya yang terkenal bernama Ali di Kalimantan dan Badrun di Sulawesi. Bersama Ali itu dia berhasil menemukan ribuan spesimen," kata Hilman di sela-sela acara pameran Wallacea Week di Makassar, beberapa waktu lalu.

ADVERTISEMENT


Namun Hilman menyayangkan budaya kolaborasi peneliti Wallace dengan pribumi itu justru dicederai dengan banyaknya manipulasi teknologi modern yang justru merusak alam di Kawasan Wallacea.

Seharusnya, Indonesia bisa mengkombinasikan ilmu tradisional yang ditinggalkan Wallace dengan sains modern untuk mengelola kekayaan alam yang bermuara pada kesejahteraan bangsa.

"Kalau dulu Wallace cuma dibantu seribu orang, sekarang sumber daya manusia (SDM) Indonesia ratusan juta, kita pasti bisa meneliti dan membawa Indonesia lebih sejahtera akan kekayaannya di kawasan Wallacea," kata Hilman.

Sementara itu, Dekan Sekolah Pascasarjana Universitas Hasanuddin menjelaskan pusat Marine Biodiversity dunia ada di tiga tempat, yakni di wilayah Amazon, Congos Basin, dan terakhir di Coral Triangle yang ada di kawasan Wallacea.

Sains, kata dia, telah membuktikan bahwa kawasan Wallace kaya dengan kandungan alam, khususnya di laut.

Namun, sayangnya Indonesia masih belum melihat potensi itu. Jamaluddin mengatakan masih banyak spesies laut dalam di kawasan Wallace yang belum teridentifikasi.

[Gambas:Video CNN]

Untuk itu, ia meminta melalui peringatan 150 tahun Wallace yang digelar di Makassar, pemerintah dan kampus mampu mengumpulkan tim peneliti yang besar untuk menguak kekayaan yang masih terpendam di Wallacea.

"Salah satu saja contoh saja, dari seluruh dunia, ikan tuna paling banyak ada di kawasan Wallacea, gimana kalau kita bisa kelola tuna dan yang lainnya. Indonesia bisa kaya jika mampu merawat kawasan Wallacea," tegas Jompa.

Tantangan yang perlu dihadapi, imbuh Jompa, cukup berat. Selain makin maraknya penangkapan berlebih dan perusakan ekosistem laut akibat ulah manusia dan perubahan iklim, ancaman plastik juga mengancam laut di kawasan Wallacea.

Selain itu, Jompa juga menekankan soal cara mengelola kekayaan alam di kawasan Wallace yang tidak dibarengi ilmu teknologi dan sains atau Iptek yang mumpuni.

Sehingga, hasil olahan laut kawasan Wallacea tidak ada nilai tambah yang akhirnya berdampak buruk pada kehidupan sosial dan ekonomi orang Indonesia.

"Wallace kaya tapi kita miskin Iptek jadi nilai tambah olahan laut tidak ada. Jadi mulailah kita menjadikan Wallacea jadi arus utama, agar bisa dibaca anak muda dan tak terpaku pada pemerintah dan kampus saja," tegas Jompa.


Hal senada juga diungkapkan Presiden Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Satryo S. Brodjonegoro. Menurut dia, penguatan riset dan sains diperlukan membuat ekowisata, penemuan obat dan sumber energi yang baru di kawasan Wallacea.

"Kalau berhasil mengeksplorasi kekayaan dan menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan ekologi kekayaan Indonesia, khususnya di kawasan Wallacea bisa dinikmati anak cucu. Makanya butuh dukungan dana riset, kolaborasi antar lembaga pemerintah, kampus, dan internasional," kata Satryo.

Potensi penemuan obat dan energi baru

Mendukung pernyataan Satryo, Ketua Dewan Pengurus Yayasan Wallacea, Sangkot Marzuki mengenalkan sosok bernama pakar botani yang pernah tinggal di kawasan Wallacea, tepatnya di Maluku pada abad ke-17 bernama Georg Eberhard Rumpf.

Sosok yang dikenal dengan panggilan Rumphius itu juga bernasib sama dengan Wallace, sama-sama dilupakan di Indonesia. Rumphius dikenal dengan tulisan Herbarium Amboinense atau Kitab Jamu-jamuan Ambon (1741) dan D'Amboinsche Rariteitkamer alias Kotak Keajaiban Pulau Ambon (1705).

Selama hampir 50 tahun, Rumpihius meneliti kekayaan flora dan fauna di Indonesia. Hingga akhirnya, walah dalam keadaan buta, Rumphius mampu melahirkan obat-obatan yang lahir dari tanah Maluku yang kemudian dikenal dunia.

"Yale University itu pakai buku Rumphius dan mengakui penemuan obat-obatan di tanah Nusantara. Tapi Indonesia tidak pernah melihat itu," kata Sangkot.

Sangkot mengatakan Indonesia harus bisa melihat potensi ekonomi yang sudah dikenalkan Wallace dan Rumphius di balik kekayaan flora dan fauna yang ada di kawasan Wallacea.


Tak hanya itu, Sangkot juga melihat ada peluang energi baru yang selama ini masih terpendam di kawasan Wallacea atau Indonesia Tengah itu karena tidak adanya keseriusan untuk memanfaatkan sains dan teknologi.

Mendiang Presiden ke-3 RI BJ Habibie, menurut Sangkot merupakan salah satu tokoh kelahiran Sulawesi yang gencar mempromsikan kawasan Wallacea. Tak hanya itu, Inggris, lewat Newton Fund-British Council juga sangat serius mendanai penelitian yang ada di kawasan Wallacea.

"Inggris melihat ada kesempatan di kawasan Wallacea, kita harus melihat dari sisi politik dunia soal potensi kawasan yang sedang diserusi Inggris," kata Sangkot.

Meski demikian, Sangkot melihat pemerintah tahun ini sudah mulai tergerak untuk memperhatikan kawasan Wallacea lewat Kemenristek atau BRIN. Namun, menurut dia, dana yang digelontorkan masih belum seimbang dengan kebutuhan penelitian besar.

Perjalanan penelusuran Wallace selama di Indonesia berhasil membuat catatan soal keragaman hayati di Indonesia bagian tengah dan membuat garis imajiner yang membedakan keragaman fauna di tiga wilayah Indonesia.

Untuk mengenang Wallace, garis imajiner untuk keragaman hayati di Indonesia Tengah dinamakan garis Wallacea. Salah satu penemuan yang terkenal Wallace, adalah dia sempat bingung karena ada perbedaan yang sangat mencolok terhadap hewan di Lombok dan Bali.

"Wallace bingung saat dia berdiri di Lombok melihat Bali, ada perbedaan fauna yang mencolok, padahal cuma dibatasi dengan selat yang tidak jauh. Ini menyimpulkan kawasan Wallacea kaya," demikian Sangkot.

(dal)

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat