yoldash.net

Review Film: The First Omen

Review The First Omen: film ini menunjukkan ada peluang dalam membangkitkan kisah lawas, asalkan kisahnya digarap baik.
Review The First Omen: film ini menunjukkan ada peluang dalam membangkitkan kisah lawas, asalkan kisahnya digarap baik. (Courtesy of 20th Century Studios)

Jakarta, Indonesia --

Tak banyak film yang mampu bangkit lagi setelah tertidur panjang selama bertahun-tahun, apalagi ketika versi baru film itu adalah sebuah sekuel apalagi prekuel seperti The First Omen.

The First Omen meneruskan jejak Ghostbusters: Afterlife (2021) sebagai film waralaba yang bangkit lagi setelah terpendam cukup lama dan nyaris dilupakan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bersama Afterlife pula, The First Omen membuktikan bahwa peluang menghidupkan waralaba lawas masih memungkinkan di era kiwari. Tentunya, dengan syarat penggarapan naskah yang baik.

Seperti Afterlife, The First Omen menawarkan nostalgia para penonton kisah Omen. Apalagi karena film ini adalah sebuah prekuel, maka keterkaitan dan keselarasan dengan film Omen yang asli pada 1976 menjadi sangat penting.

ADVERTISEMENT

Tim Smith, Arkasha Stevenson, dan Keith Thomas terbilang berhasil mengembangkan kisah dari Ben Jacoby yang didasarkan karakter-karakter karya David Seltzer pada 48 tahun lalu.

Mereka memperluas cakupan kisah awal mula kemunculan bocah setan Damien dengan cukup mendalam, meski saya tidak sepenuhnya puas dengan pengembangan tersebut. Bagi saya, masih ada puzzle cerita yang belum terungkap.

Nell Tiger Free as Margaret in 20th Century Studios' THE FIRST OMEN. Photo by Moris Puccio. © 2024 20th Century Studios. All Rights Reserved.Review The First Omen: film ini membuktikan bahwa peluang menghidupkan waralaba lawas masih memungkinkan di era kiwari. (20th Century Studios/Moris Puccio)

Sebenarnya peluang memperluas imajinasi kisah Omen (1976) terbuka sangat luas mengingat film aslinya yang ditulis oleh Seltzer tidak mematok lini masa yang dipatok ketat.

Hal itu pun dimanfaatkan oleh Smith dan kawan-kawan dengan memulai kisah di Roma pada 1971, lima tahun sebelum Omen dirilis. Pemilihan lini waktu ini juga mungkin menyesuaikan dengan usia si bocah setan Damien di akhir film Omen.

Dengan begitu, Smith dkk sebenarnya sudah menaruh batu patokan pertama yang bisa jadi membuat kisah Omen menjadi sebuah semesta tersendiri di masa depan.

Meski mulai 'memperbaiki' lini masa semesta Omen, Stevenson dan kawan-kawannya tak lupa menyisipkan fan service untuk penggemar saga tersebut melalui sejumlah adegan ikonis dari versi 1976.

Beberapa adegan seperti bunuh diri hingga badan terpotong yang pada 48 tahun lalu menjadi 'warisan' dari Omen ini pun dibuat lebih dramatis. Saya mengapresiasi usaha lebih dari Stevenson yang juga bertindak sebagai sutradara.

Sonia Braga as Sister Silva in 20th Century Studios' THE FIRST OMEN. Photo courtesy of 20th Century Studios. © 2024 20th Century Studios. All Rights Reserved.The First Omen juga tidak sepenuhnya memuaskan saya. Stevenson dan kawan-kawan memang menjanjikan ada jawaban soal asal muasal Damien. (Courtesy of 20th Century Studios)

Stevenson tampaknya sadar bahwa sekadar meniru kembali adegan nyaris setengah abad lalu tak akan ada artinya bila tak memberikan sentuhan baru di versi anyar.

Dengan bantuan teknologi prostetik, stunt, hingga visual efek yang lebih canggih dibanding dekade '70-an, jelas adegan-adegan versi baru ini cukup membuat menganga.

Bukan hanya itu, secara visual dan artistik sinematografi, The First Omen jelas jauh lebih baik dibanding versi asli terlepas dari perbedaan signifikan kondisi perkembangan teknologinya.

Akan tetapi, bila dibanding film prekuel serupa lainnya seperti The Nun (2018) atau Annabelle (2014) yang jadi pendahulu saga The Conjuring, The First Omen masih lebih baik, entah dari segi eksekusi produksi, visual, sound, hingga naskah.

The First Omen memang tak menampilkan setan atau dedemit macam saga The Conjuring yang suka bikin kaget, film ini menawarkan kengerian lain dari keberadaan kultus creepy dengan misi gila demi keuntungan mereka sendiri.

Apalagi bagi mereka yang memahami konteks agama yang diangkat dalam The First Omen, rasanya kisah imajinatif yang jadi alasan keberadaan Damien terbilang berani walaupun tidak akan sekontroversial The Da Vinci Code (2006).

[Gambas:Youtube]



Eksplorasi berani The First Omen dalam memainkan kisah seputar Antikristus dilengkapi dengan desain produksi, kostum, hingga suara latar yang menguatkan cerita.

Bahkan, unsur suara seperti scoring menjadi hal yang cukup penting dalam menguatkan pesan cerita. Hal yang berbeda dibandingkan versi aslinya pada 1976. Jangan heran bila ada penonton yang merasa terganggu dengan sound dalam The First Omen.

Meski begitu, The First Omen juga tidak sepenuhnya memuaskan saya. Stevenson dan kawan-kawan memang menjanjikan ada jawaban soal asal muasal Damien. Namun saya justru merasa kisah yang disajikan menimbulkan pertanyaan lainnya.

Bisa jadi lubang-lubang cerita itu disengaja untuk memberikan ruang dalam pengembangan The First Omen. Namun yang pasti, The First Omen memberikan rangsangan baru yang membuat kisah si bocah setan Omen menjadi lebih menarik dibanding sebelumnya.

[Gambas:Video CNN]



(end)

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat