Review Film: 24 Jam Bersama Gaspar

24 Jam Bersama Gaspar memang memiliki visual menawan, scoring jempolan, dan dibintangi aktor elite. Namun, film itu gagal memberikan kepuasan imbas absennya kepingan terpenting: penulisan cerita yang berkelas.
Saya sesungguhnya menaruh ekspektasi cukup tinggi terhadap 24 Jam Bersama Gaspar. Film adaptasi novel itu digarap Yosep Anggi Noen, sosok di balik Istirahatlah Kata-kata (2015) hingga The Science of Fictions (2019).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Naskahnya ditulis M. Irfan Ramli yang telah mengerjakan deretan film produksi Visinema Pictures. Belum lagi jajaran aktor kelas A Indonesia yang didapuk sebagai pemeran.
Film itu bahkan berangkat dengan awal yang cukup meyakinkan. Yosep Anggi Noen langsung menyuguhkan gambaran dunia distopia dengan sentuhan neo-noir.
Eksekusi sang sutradara untuk elemen visual itu layak diacungi jempol. Seingat saya, tak banyak sutradara Indonesia yang percaya diri untuk membangun latar distopia semacam ini.
Anggi Noen bermain-main dengan imajinasinya tentang potret kacau balau Indonesia andai zaman pasca-apokalips itu tiba. Ia mencoba menunjukkan situasi masyarakat yang runtuh dengan kekacauan di mana-mana.
![]() |
Dunia distopia di mata Anggi Noen juga tak luput dengan penggambaran pemerintah yang berubah menjadi tirani dan memantau setiap langkah masyarakatnya.
Visualisasi tempat Gaspar (Reza Rahadian) tinggal itu semakin kental berkat gaya neo-noir yang diangkat. Adegan demi adegan itu 'diwarnai' dengan nuansa yang gelap serta muram.
Anggi Noen juga cukup cermat dalam memilih elemen futuristik yang ditampilkan. Ia tak muluk-muluk menunjukkan teknologi canggih, seolah merawat agar latar itu tetap dekat dengan penonton lokal.
Scoring dan pilihan musik untuk soundtrack film juga semakin mempertegas warna 24 Jam Bersama Gaspar. Sebab, film ini terbilang banyak memanfaatkan soundtrack untuk ikut berperan dalam cerita.
Lagu-lagu FSTVLST hingga Mustache And Beard harus diakui memang pas menjadi soundtrack perjalanan Gaspar. Walau begitu, ada satu lagu yang terasa aneh karena tidak nyambung dengan nuansa distopia yang dibangun.
Eksekusi visual dan scoring yang mengesankan itu menjadi nilai plus untuk 24 Jam Bersama Gaspar. Anggi Noen juga kembali membuktikan kapasitasnya dalam menerjemahkan imajinasi secara kreatif.
Namun, keunggulan itu rasanya belum sanggup menebus penulisan cerita yang tidak berdaya. Modal cerita apik dari novel Sabda Armandio itu gagal diadaptasi menjadi skenario yang, setidaknya, sama kuatnya.
Eksplorasi Irfan Ramli dalam menggambarkan latar hingga suasana 24 Jam Bersama Gaspar sesungguhnya cukup meyakinkan. Namun, alih wahana memang bukan perkara mudah dan masih menjadi momok bagi banyak penulis naskah di Indonesia.
Hal itu juga terlihat dalam 24 Jam Bersama Gaspar. Plot film itu melaju dengan tergesa-gesa dan luput membangun fondasi yang kuat sejak awal cerita.
Lanjut ke sebelah...