yoldash.net

Mengenal Erma Yulihastin, Peneliti BRIN yang Prediksi Badai Dahsyat

Peneliti dari BRIN yang memprediksi badai dahsyat hari ini, Erma Yulihastin, merupakan sosok yang tekun mempelajari efek perubahan iklim.
Peneliti di BRIN Erma Yulihastin sempat memprediksi badai dahsyat hari ini. (Arsip Pribadi)

Jakarta, Indonesia --

Erma Yulihastin, peneliti Klimatologi di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), sempat viral usai memprediksi hujan ekstrem dan badai dahsyat di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, pada Rabu (28/12). Siapakah dia?

Peneliti yang meraih PhD bidang atmosfer dan meteorologi di Institut Teknologi Bandung (ITB) ini tak sembarangan menceburkan diri di bidang klimatologi.

[Gambas:Twitter]

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saat diwawancara Indonesia.com pada Jumat (3/6), ia mengisahkan mulai menjadi periset di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), salah satu lembaga yang kini dicaplok BRIN, pada 2008.

Artinya, ada jeda enam tahun selepas dirinya lulus dari jurusan Geofisika dan Meteorologi ITB.

ADVERTISEMENT

Usai bergabung itulah Erma, yang sebelumnya lebih fokus pada bidang oseanografi, mulai tertarik dengan bidang iklim.

"Penelitian saya sendiri sejak awal kaitannya dengan komponen laut dan atmosfer yang saling berinteraksi, kita sebutnya interaksi laut atmosfer," jelas periset yang mendapatkan gelar doktoralnya pada 2020 ini.

Ia pun mengakui berjuang untuk 'menyelaraskan frekuensi' dengan bidang baru. Pada masa awal menjadi periset, Erma sempat kebingungan karena tidak memiliki mentor atau pembimbing.

"Ketika saya memilih bidang [iklim] itu, saya banyak membaca, banyak mempelajari lagi, karena sudah sangat lama dari lulus hingga menjadi peneliti," kata Erma lewat sambungan telepon.

"Dari penggalian itu, saya mengambil satu intisari pengetahuan bahwa dunia ini sedang menghadapi satu kejadian yang sangat fenomenal bernama perubahan iklim," lanjut warga Bandung tersebut.

Faktor lainnya yang membuatnya tersedot ke bidang ini adalah posisi Indonesia yang unik sebagai miniatur iklim dunia. Menurutnya, banyak negara berinvestasi dalam penelitian dengan menyimpan berbagai macam alat di wilayah RI.

"Orang luar negeri berdatangan ke sini, ilmuwan luar negeri ke sini untuk membawakan apapun, untuk taruh alat, untuk investasi riset," papar dia.

"Benua maritim Indonesia ini miniatur iklim dunia, jadi kalau kita bisa memecahkan cuaca dan iklim di Indonesia, maka kita sudah bisa mengetahui bagaimana bekerjanya iklim di seluruh dunia," imbuhnya.

Tantangan periset

Di luar tantangan penyesuaian, Erma mengungkap tantangan dari internal maupun eksternal. Bagi perempuan yang tengah diproses menjadi peneliti ahli utama ini, tantangan yang beberapa kali ditemuinya adalah demotivasi alias jenuh.

Solusinya, Erma, yang berkantor di Jl. Dr. Djunjunan 133, Bandung, itu membuat grup diskusi agar bisa saling berbagi dengan peneliti lain sekaligus saling memotivasi.

Menurut Erma, dunia periset membutuhkan motivasi yang perlu dijaga karena apa yang dikerjakan lebih banyak hasil inisiatif diri sendiri, bukan atas arahan dari pihak lain ataupun atasan.

Untuk tantangan eksternal, Erma menyebut surutnya dukungan dana publikasi dari pemerintah yang disebutnya bisa memicu "demotivasi" periset.

Sebagai periset, penelitian adalah hal yang paling berkesan karena dapat memberikan dampak besar, baik untuk ilmu pengetahuan maupun untuk masyarakat.

Salah satu contoh adalah penelitiannya berjudul "Variasi Fase Siklus Diurnal Curah Hujan di Pesisir Utara Jawa Barat dan Kaitannya dengan Fenomena CENS (Atmosfer)-Cold Tongue (Laut)". Studi ini mengungkap bagaimana hujan dini hari di daratan berkaitan dengan fenomena cuaca ekstrem.

Enggan menyerah, dia dan rekan-rekannya bahkan harus iuran untuk memenuhi pendanaan publikasi berbagai hasil penelitian.

"Iuran, kita sekarang sistemnya iuran. Jadi kita bagi-bagi, sama teman-teman kita," tuturnya.

"Kita dituntut untuk publikasi untuk peneliti madya minimal 3 jurnal internasional, tapi kita di setiap proposal riset tidak disediakan dana publikasi," keluh dia.

Cuaca ekstrem

Periset yang sudah menelurkan enam jurnal internasional ini juga sempat memprediksi dua fenomena cuaca di 2022, yakni kemungkinan cuaca ekstrem yang disebabkan oleh La Nina, Indian Ocean Dipole (IOD) negatif, serta Pacific Decadal Oscillation (PDO) alias La Nina dengan periode panjang.

Menurutnya, apa yang terjadi pada 2022 merupakan pengulangan dari 2010. Saat itu, kata dia, wilayah Pulau Jawa disebut "kehilangan" musim kemarau.

"Tahun ini adalah tahun yang istimewa karena kita mengulangi tahun 2010, 2010 adalah momen di mana musim kemarau hilang dari pulau jawa," tutur Erma.

"Kita memasuki kemarau dengan angin timuran, tapi sifatnya tetap basah, apalagi di barat Indonesia. Barat Indonesia itu sektornya Sumatera dan Jawa," papar Erma.

Di samping itu, Erma menyebut faktor anomali suhu temperatur di udara ketinggian 2 meter yang menyatakan wilayah Jawa mengalami rata-rata anomali positif.

"Artinya, ada kenaikan suhu antara 0,5 sampai 1 derajat di wilayah selatan Jawa," terang dia.

(lom/arh)


[Gambas:Video CNN]

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat