yoldash.net

Menanti Langkah Bijak Pemerintah Tangani Pengungsi Rohingya di Aceh

Pemerintah Indonesia memiliki tanggung jawab lebih dari sekadar faktor kemanusiaan dalam menangani pengungsi Rohingya di saat darurat.
Sebanyak 50 pengungsi Rohingya baru mendarat di pangkalan nelayan di Kuala Idi Cut, Kabupaten Aceh Timur, Aceh, pada pada Kamis dini hari, 14 Desember 2023. (AFP/CEK MAD)

Jakarta, Indonesia --

Pengungsi Rohingya yang mendarat ke Aceh sejak pertengahan November lalu jumlahnya mencapai 1.684 orang. Angka ini berdasarkan data dari Satgas Provinsi Aceh per 11 Desember 2023.

Menurut Pj Gubernur Aceh Ahmad Marzuki, mereka saat ini berada di lokasi penampungan di sejumlah wilayah Aceh seperti Pidie, Sabang, dan Lhokseumawe.

Wakil Presiden Ma'ruf Amin sempat menyebut pemerintah akan menempatkan para pengungsi di Pulau Galang. Namun, pernyataan itu diralat oleh Menko Polhukam Mahfud MD.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mahfud mengatakan pemerintah Indonesia tetap akan menampung pengungsi Rohingya, meski tidak menandatangani Konvensi UNHCR.

Berdasarkan Konvensi PBB, kata dia, Indonesia tidak bertanggung jawab memberikan perlindungan terhadap Imigran Rohingya. Faktor kemanusiaan menjadi alasan utama Indonesia bersedia dan memberikan penampungan sementara bagi mereka.

ADVERTISEMENT

Hal yang sama turut disampaikan Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy. Ia menyatakan Indonesia tidak memiliki tanggung jawab untuk menampung pengungsi Rohingya. Sebab, Indonesia tidak memiliki keterikatan dengan UNHCR.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi meminta UNHCR untuk mendesak negara penandatangan Konvensi Pengungsi agar segera mulai menerima resettlement, sehingga beban tidak bergeser ke negara lain seperti Indonesia.

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM) Sigit Riyanto mengatakan situasi yang dialami warga Rohingya di tanah kelahirannya di negara bagian Rakhine, Myanmar seperti penjara terbuka tanpa akhir.

Situasi itu membuat mereka memilih pergi meninggalkan Myanmar guna menyelamatkan diri dan mengadu nasib untuk memperbaiki hidup. Mereka pergi ke tempat lain karena sudah putus asa dengan situasi di tempat asalnya.

Ia menjelaskan meski Indonesia tidak ikut dalam Konvensi Pengungsi 1951, bukan berarti Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk melindungi pengungsi Rohingya.

"Kalau kita kembalikan ke filosofi atau dasar negara dan bangsa Indonesia kan ada sila kedua Pancasila, kemanusiaan yang adil dan beradab," kata Sigit kepada Indonesia.com, Selasa (19/12).

Legislasi tak memadai

Secara normatif, hak untuk mendapatkan perlindungan atau suaka ditegaskan di dalam Pasal 28 UUD 1945, Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM, Undang-Undang Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi.

Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi berbagai instrumen internasional tentang HAM.

Namun, yang menjadi persoalan adalah tidak adanya aturan operasional tentang pengungsi dan pencari suaka di Indonesia, sehingga ada ketidakpastian posisi pemerintah Indonesia dalam menghadapi pengungsi Rohingya.

"Dari legislasi kan tidak memadai, tidak memungkinkan. Dari segi institusi, tidak ada yang punya kapasitas untuk menyelesaikan masalah itu. Sumber daya, anggaran, dan yang lain kan juga selalu mengatakan tidak punya anggaran yang memadai. Baik pemerintah pusat, maupun pemerintah daerah, kementerian, maupun lembaga," ujarnya.

Dengan tidak memungkinkannya pemerintah Indonesia menyelesaikan masalah terkait pengungsi Rohingya, Sigit berpendapat mestinya pemerintah Indonesia menjalin kerja sama baik secara regional, nasional maupun internasional.

"Lalu dibuat dengan comprehensive action plan, termasuk melibatkan negara di mana sumber masalahnya itu ada. Karena kan mereka ini pengungsi atau pencari suaka itu kan forced migration atau migrasi yang terpaksa," tuturnya.

Sigit menyebut penyebab forced migration berada di tempat asalnya. Jika penyebab itu tidak diselesaikan, maka dikhawatirkan kejadian itu akan berulang.

"Apalagi bahwa kasus Rohingya ini kan tidak hanya di Indonesia. Indonesia dikatakan yang paling sedikit dibandingkan dengan negara lain. Malaysia lebih banyak, Thailand lebih banyak, Bangladesh justru paling banyak. Jadi sebenarnya ada kebutuhan bersama di antara negara-negara ini untuk bersama-sama mencari solusi secara bersama-sama juga," jelas Sigit.



Ada kewajiban hukum

Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN) Jakarta, Fitria menyampaikan perlindungan yang diberikan pemerintah Indonesia kepada pengungsi Rohingnya tak hanya faktor kemanusiaan. Namun, juga ada kewajiban hukum.

Tanggung jawab itu salah satunya tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125 Tahun 2016Tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri.

"Itu menunjukkan kita punya tanggung jawab lebih, jadi bagian yang memang ikut menangani pengungsi di saat darurat misalnya dalam konteks mereka di laut. Ketentuan itu sangat jelas, jadi ada mandat-mandat peraturan perundangan-undangan," jelas Fitria.

Berdasarkan penelitiannya pada 2015 lalu, Fitria menuturkan saat itu pemerintah Indonesia bergerak cepat dalam menangani pengungsi Rohingya. Pemerintah pusat berkerja sama dengan pemerintah daerah dan organisasi internasional.

"Saat ini dengan sentimen yang negatif, mungkin pemerintah daerah juga maju mundur, terus juga nelayan Aceh karena ada yang pernah ditangkap, mereka juga takut. Pemerintah pusat juga saya lihat ada kemunduran. Misalnya jadi semua itu menyebabkan penanganan enggak karu-karuan di lapangan," ujarnya.

Fitria menilai pemerintah Indonesia perlu gerak cepat, memperbaiki tata kelola, dan menjalin kerjasama dalam menangani pengungsi Rohingnya.

Namun, ia tak setuju apabila pemerintah menyediakan tempat penampungan khusus seperti misalnya di Pulau Galang.

Menurutnya, penampungan khusus bukan merupakan solusi dan justru akan menjadi beban keuangan negara karena ada biaya membangun serta merawat.

Ia mengatakan pengungsi Rohingya tidak bisa dipulangkan dalam waktu dekat lantaran kondisi negaranya belum memungkinkan. Begitu pun dengan menempatkan mereka ke negara ketiga.

"Mungkin untuk sementara ini kita tampung gitu ya untuk waktu kita menunggu dua kondisi itu. Selama proses itu, bisa dibuat semacam buat mereka bisa mandiri, mendapatkan akses yang membuat mereka hidup sebagai manusia pada umumnya. Itu menurut saya akan mengurangi beban," ucapnya.

Baca halaman berikutnya: Dari empati ke penolakan

Dari Empati ke Penolakan

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat