yoldash.net

Review Film: Ancika, Dia yang Bersamaku 1995

Review film Ancika Dia yang Bersamaku 1995: Ada beberapa alasan mengapa Ancika 1995 punya lebih banyak keunggulan dari versi trilogi asli Dilan.
Review film Ancika Dia yang Bersamaku 1995: Ada beberapa alasan mengapa Ancika 1995 punya lebih banyak keunggulan dari versi trilogi asli Dilan. (dok. MD Pictures via YouTube)

Jakarta, Indonesia --

Tak perlu waktu lama bagi saya menyadari kualitas Ancika: Dia yang Bersamaku 1995 memang berbeda dari trilogi asli Dilan yang tayang sebelum pandemi. Saya sejujurnya lebih menyukai versi spin-off --atau reboot menurut Manoj Punjabi-- ini dibanding versi aslinya.

Ada beberapa alasan mengapa saya begitu yakin bersedia menonton kembali film garapan Benni Setiawan yang ikut menulis naskahnya bersama Tubagus Deddy ini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pertama, jelas saja penulisan naskah Ancika 1995 yang lebih matang dari trilogi asli Dilan. Alur dan logika cerita versi reboot ini lebih mulus, tanpa ada pemaksaan cerita, dan berjalan senatural mungkin.

Memang, gombalan dan beberapa gaya tengil Dilan yang mengesalkan --tapi entah kenapa tetap bikin geli-geli kocak-- tak bisa dihilangkan. Ya namanya juga ciri khas.

ADVERTISEMENT

Namun berbeda dari versi trilogi, kali ini gombalan itu terasa lebih natural dibawakan oleh karakter Dilan yang memang jauh lebih dewasa dibanding versi sebelumnya.

Saya sangat apresiasi keputusan Benni dan Tubagus untuk memasukkan unsur bahasa Sunda, meski sebagian besar cuma berupa aksen, dalam film ini. Ini jadi pembeda nyata dari versi sebelumnya.

Ancika: Dia yang Bersamaku 1995 resmi tayang hari ini, Kamis (11/1) di bioskop Indonesia. Film ini merupakan film adaptasi dari buku bertujuk serupa karya Pidi Baiq.Review Film Ancika: Dia yang Bersamaku 1995: penulisan naskah Ancika 1995 yang lebih matang dari versi trilogi. Alur dan logika cerita versi reboot ini lebih mulus, tanpa ada pemaksaan cerita, dan berjalan senatural mungkin. (dok. MD Pictures via YouTube)

Bagi saya, kisah semesta Dilan yang berlatar di Bandung pada dekade '90-an mestinya sebisa mungkin mengadopsi budaya masyarakat pada saat itu, bukan cuma masalah tampilan dan lokasi bangunan.

Aksen dan beberapa kata bahasa Sunda yang digunakan dalam film justru menjadi pemanis dan menguatkan latar cerita Ancika: Dia yang Bersamaku 1995.

Kemudian, penggambaran gejolak pra-reformasi yang dialami oleh mahasiswa pada saat kisah Ancika 1995 ini berada juga menarik perhatian saya.

Meski tak berdurasi lama, Benni dan Tubagus setidaknya sudah memberikan gambaran bagaimana semangat mahasiswa pada saat itu akan asa demokrasi yang kini rasanya sudah menguap.

Memang tidak segirah film-film dengan latar perjuangan mahasiswa macam Gie (2005), tapi usaha Benni dan Tubagus menggambarkan Dilan sebagai aktivis "berbudi luhur" setidaknya cukup jadi nostalgia mereka yang pernah ikut terjun ke jalan.

[Gambas:Video CNN]



Apalagi memang kisah Dilan sejatinya lebih fokus pada perjalanan cinta dibanding bagaimana karakter pemuda pintar akademis dan menggombal tersebut berkembang.

Hal lain yang membuat saya lebih menyukai film ini dibanding trilogi Dilan adalah dari segi akting para pemain. Jujur saja, saya semula tak banyak berharap para pemain utama film ini akan menampilkan akting yang mulus mengingat pengalaman dengan Dilan 1990 (2018).

Lanjut ke sebelah...

Review Film: Ancika: Dia yang Bersamaku 1995

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat