yoldash.net

Terjebak Romantisme 'Workaholic' Buruh Kantoran

Tak sedikit orang yang menjadikan pekerjaannya ibarat 'nyawa' hidupnya. Pekerjaan terus diromantisasi hingga berujung pada julukan workaholic.
Ilustrasi. Banyak orang yang meromantisasi pekerjaannya. (iStock/valentinrussanov)

Jakarta, Indonesia --

Bagi beberapa orang, definisi bekerja bisa jadi hanya mencari uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tapi, ada juga yang menjadikan pekerjaan sebagai 'nyawa' hidup, hingga menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk bekerja.

Tengok saja Andi (37). Ia menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bekerja.

Di usianya yang hampir menginjak kepala empat, Andi belum menikah dan tak punya pacar. Hampir 24/7 waktunya dihabiskan untuk bekerja. 'No life', kalau kata orang bilang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Andi adalah karyawan level manajer di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang distribusi makanan. Bisa dibilang, Andi hidup untuk bekerja, bukan bekerja untuk menyambung hidup.

"Di umur 20 atau 35-an mungkin masih mikir pengin punya pacar. Tapi, sekarang udah enggak kepikiran ke sana. Ya, sehari-hari cuma kerja saja. Kalau libur juga kadang masih ada kerjaan," kata Andi saat berbincang dengan Indonesia.com akhir April lalu.

ADVERTISEMENT

Andi juga jarang menghabiskan waktu berkumpul dengan teman-temannya. Alasannya, hampir semua temannya sudah berkeluarga. Alih-alih merana tak punya teman, ia lebih pilih fokus dengan pekerjaan.

Pasangan? Jangan ditanya. Sudah hampir tujuh tahun Andi menjomlo.

Cuti? Ah, apalagi itu. Cuti yang dimiliki kadang hangus saking tak pernah dipakai. Andi bingung harus mengambil cuti untuk apa.

Liburan? Menghabiskan waktu dengan keluarga? Tak terpikirkan di kepala Andi. Toh, ia masih tinggal di rumah orang tua.

"Pacar enggak punya, keluarga ketemu tiap hari. Liburan? Belum kepikiran, sih. Makanya jarang ambil cuti. Ya, lebih banyak kerja saja sehari-hari," kata Andi.

Ilustrasi rapat kerjaIlustrasi. Tak sedikit orang yang menghabiskan waktunya untuk bekerja. (iStock/jacoblund)

Lagi pula, Andi takut jika harus mengambil libur atau cuti terlalu lama. Ia takut pekerjaannya terbengkalai, seolah-olah kantor akan bangkrut jika dirinya tidak ada.

Tapi, Andi tak keberatan meski memberikan seluruh hidupnya untuk bekerja. Rasanya bahkan nyaman-nyaman saja.

Andi tentu tak sendiri. Di luar sana, banyak orang yang terjebak dalam 'romantisme workaholic' seperti yang dialami Andi. Aku hidup untuk bekerja, kira-kira begitu lah.

Psikolog klinis dari Ohana Space dan Tabula Arnold Lukito mengatakan, terjebak dalam pola kerja berlebihan sebenarnya bukan hal yang aneh. Ada banyak orang yang mengalaminya hingga mengabaikan aspek lain dalam hidup mereka.

Kasusnya mungkin dialami Andi yang meromantisasi pekerjaannya sehingga merasa takut jika tak ada dirinya, kegiatan perusahaan tidak akan berjalan dengan baik.

"Kalau dibiarkan ini justru berdampak negatif pada kesehatan mental, fisik, bahkan hubungan mereka dengan orang lain," kata Arnold.

Buruh dan embel-embel workaholism

Andi boleh jadi gambaran yang dialami hampir banyak buruh atau pekerja di Indonesia.

Berdasarkan catatan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) RI, ada sekitar 140 juta pekerja di Indonesia per tahun 2023. Angka ini terus meningkat dari tahun ke tahun.

Memang, tak semua dari ratusan juga pekerja itu menghabiskan waktunya hanya untuk bekerja. Tapi, tetap saja workaholism yang terjadi karena terlalu meromantisasi pekerjaan adalah nyata.

Tak ada salahnya merefleksikan cara kerja masing-masing di momen Hari Buruh yang diperingati saban 1 Mei ini.

Ilustrasi ketiduran saat bekerjaIlustrasi. Menjadi seorang workaholic akan berdampak negatif terhadap kesehatan mental. (iStock/Satoshi-K)

Andi sendiri terlihat menunjukkan gejala workaholism. Nama terakhir, lanjut Arnold, merupakan kondisi kecanduan kerja yang tidak sehat.

"Workaholism dapat menyebabkan stres, kecemasan, depresi,burnout, hingga masalah kesehatan fisik," katanya.

Orang seperti Andi, lanjut Arnold, harus sadar bahwa hidup bukan cuma soal kerja. Harus punya batasan, tahu kapan harus bekerja dan tahu kapan waktu untuk diri sendiri.

Menurut Arnold, tak ada solusi yang cocok untuk semua pekerja yang mengalami ini. Kuncinya adalah menemukan keselarasan antara bekerja dan kehidupan yang sesuai dengan kebutuhan dan situasi masing-masing.

"Jika merasa kesulitan untuk mencapainya, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional," kata dia.

Simak selengkapnya di halaman berikutnya..

Work life harmony vs work life balance

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat