yoldash.net

'Mengapa Saya Takut Dihamili Suami Sendiri?' - Halaman 2

Mempunyai momongan ibarat 'mimpi buruk' buat Tari (29). Ketakutan akan anak ini membuatnya kerap menolak ajakan suami untuk berhubungan intim.
Ilustrasi. Mempunyai anak ibarat mimpi buruk bagi Tari, yang membuatnya kerap menolak ajakan suami untuk berhubungan badan. (Basith Subastian/CNNIndonesia)

Tapi, masalah muncul saat kami, tepatnya Dewa, secara sepihak melepas alat kontrasepsi yang sudah setahun dipakainya setiap kali kami berhubungan badan.

"Kita kayaknya udah siap sekarang, aku udah mau punya anak." Tiba-tiba saja kalimat itu muncul dari suamiku.

Saat itu, Dewa menginjak usia 31 tahun dan saya 28 tahun. Menurutnya, secara psikologis, finansial, dan kemampuan, kami berdua siap untuk punya momongan. Tapi, kalau boleh jujur, mungkin lebih tepat kalau dibilang hanya dia yang merasa sudah sangat siap.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saat itu, jawaban saya iya-iya saja, meski berbagai pertanyaan hilir mudik di kepala.

"Memang aku siap ya?"

ADVERTISEMENT

"Memang aku mau ya punya anak?"

"Memang aku bisa ngurus anak?"

Semua pertanyaan itu selalu muncul. Tapi kala itu, saya masih bisa menepisnya dan mencoba sambil memberikan afirmasi, 'Bisa, pasti bisa. Kayaknya aku juga mau punya anak'.

Tapi, entah mengapa saya selalu tegang. Berhubungan badan tanpa pengaman rasanya malah sakit.

Kata beberapa dokter, rasa sakit dan tidak nyaman saat berhubungan seks bisa muncul karena pikiran.

Saya tak menikmati hubungan suami-istri itu. Salahnya, saya pura-pura enjoy dan tak berani jujur pada Dewa.

Ribuan tanya menyelimuti kepala. Apa yang membuat saya tak menikmati hubungan badan dengan Dewa? Padahal jelas, pernikahan kami bahagia dan tak ada masalah.

Sampai di satu titik saya sadar bahwa saya belum siap untuk memiliki bayi kecil yang menggemaskan. Atau, bisa juga dibilang, saya tak mau punya anak.

Saya takut setiap kali berhubungan badan. Saya takut dihamili suami sendiri.

Mulanya saya memilih diam. Tak pernah sekali pun mengutarakan perasaan yang sebenarnya. Saya paham, Dewa begitu menantikan kehadiran seorang anak di pernikahan ini.

Tapi apa lacur, pilihan untuk diam itu justru bikin saya sering menolak ajakan berhubungan badan. Kami praktis jadi jarang melakukannya. Jika dihitung, mungkin hanya sekali dalam dua bulan, atau bahkan tidak sama sekali.

Ilustrasi disfungsi seksual wanita.Ilustrasi. (Istockphoto/ Bunditinay)

Kau boleh saja bilang bahwa saya adalah istri yang egois. Tapi percaya-lah, saya juga merasa bersalah. Rasa bingung dan takut berkecamuk dalam diri.

Saya mencoba meminta pendapat beberapa teman dekat. Mereka tak mempermasalahkan soal pilihan saya untuk tak mempunyai anak.

Tapi, mereka bilang saya jahat. Semakin jahat jika saya terus menolak berhubungan tanpa mengatakan alasannya dan mencari solusi bersama.

Dari sana, saya memutuskan untuk bicara tentang semuanya pada Dewa. Tentang anak, dan tentang ketakutan yang terus menyelimuti diri.

Di luar prediksi, Dewa tak marah. Alih-alih marah, dia justru meminta maaf karena tak peka dan membiarkan saya menanggung beban itu seorang diri.

"Kamu seharusnya bilang dari awal, jadi bisa dicari solusinya bersama, bukan dipendam sendiri. Kalau begini, ngapain punya suami kalau ada masalah dimakan sendiri," kata dia waktu itu mencoba menenangkanku yang tak kuasa menahan tangis.

Bagi Dewa, keputusan memiliki anak harus berasal dari kedua pihak. Dia selalu ingin mempunyai anak. Tapi dia mencoba memahamiku, yang menurutnya, belum siap punya anak.

Ah.. Sesungguhnya saya kurang setuju dengan jawabannya. Dia bilang 'belum siap'. Padahal, saya jelas-jelas tak mau punya anak.

Tapi tak apa. Setidaknya itu cukup melegakan dibandingkan memendamnya seorang diri dan menjadi istri yang jahat seperti yang disebut teman-temanku.

Dewa tak masalah menunggu jika saya belum siap punya anak. Tapi, jika memang Tuhan memberikan kami anak di tengah kondisi saya yang belum siap, maka saya harus menerimanya.

"Ya, enggak apa-apa, aku enggak maksa. Tapi kalau dikasih [anak], ya alhamdulillah, jangan ditolak," kata dia.

Pelik memang jika kita bicara soal pilihan hidup di zaman kiwari. Kompromi sebenarnya jadi jawaban. Tapi mungkin baru kompromi seperti ini yang bisa kami lakukan sekarang.

Saya sadar, masalah belum sepenuhnya terselesaikan. Saya masih saja menolak berhubungan badan, Dewa juga masih saja berpikir bahwa saya 'hanya' belum siap punya anak.

Tapi, kami masih mesra dan baik-baik saja. Dan saya masih takut punya anak.

Tulisan ini merupakan cerita dari pembaca Indonesia.com, Alit (44). Love Story merupakan program kanal Gaya Hidup Indonesia.com yang berisi tentang kisah cinta dan peliknya lika-liku kehidupan masa kini yang disajikan secara intim dan personal. Kirim tulisan pengalaman pribadi Anda dengan minimal 800 kata ke [email protected].
(tst/asr)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat