yoldash.net

Sri Mulyani Beber Mata Uang yang Anjlok Lebih Dalam dari Rupiah

Menkeu Sri Mulyani menegaskan ada mata uang negara lain yang depresiasinya jauh lebih dalam terhadap dolar AS, dibandingkan rupiah yang kian dekati Rp17 ribu.
Menkeu Sri Mulyani menegaskan ada mata uang negara lain yang depresiasinya jauh lebih dalam terhadap dolar AS, dibandingkan rupiah yang kian dekati Rp17 ribu. (REUTERS/KIM HONG-JI).

Jakarta, Indonesia --

Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan ada mata uang negara lain yang depresiasinya jauh lebih dalam terhadap dolar AS, ketimbang rupiah yang sudah mendekati Rp17 ribu.

Wanita yang akrab disapa Ani itu mencatat pelemahan rupiah pada Mei 2024 mencapai Rp16.431 per dolar AS. Akan tetapi, angka tersebut diklaim masih sebanding dengan apa yang menimpa negara berkembang lain.

"Rupiah mengalami depresiasi 6,58 persen, comparable dengan beberapa negara emerging yang lain. Namun, juga kita lihat, seperti Brasil depresiasinya jauh lebih dalam (12,34 persen)," kata Ani dalam Konferensi Pers APBN KiTA secara virtual, Kamis (27/6).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Atau kalau Anda baru mengikuti, Jepang mengalami depresiasi yang sangat dalam, bahkan pada levelnya sudah comparable dengan 1986. Ini tentu menimbulkan juga dinamika dari negara-negara partner dagang kita," sambungnya.

ADVERTISEMENT

Sang Bendahara Negara mengatakan penyebab melemahnya mata uang Garuda muncul dari sederet titik. Ada dari sisi internal atau dalam negeri, serta tak sedikit imbas dari kondisi global.

Ia mencontohkan bagaimana volatilitas geopolitik yang sangat berpengaruh terhadap kondisi pasar keuangan di tanah air. Misalnya, prediksi pasar terhadap suku bunga acuan The Fed yang meleset.

Sri Mulyani mengatakan sulitnya suku bunga di AS turun sudah makin nyata. Padahal, market sebelumnya meyakini bakal ada setidaknya pemangkasan suku bunga 4 kali hingga 5 kali sepanjang tahun ini.

"Namun, ternyata Fed Fund Rate masih mengalami posisi yang stabil di 5,5 (persen) dan tidak terjadi tanda-tanda mereka segera menurunkan. Bahkan, mungkin yang paling optimis penurunannya hanya satu kali pada tahun ini," tuturnya.

"Ini yang menyebabkan ekspektasi market kecewa atau tidak tersampaikan, kemudian menimbulkan suatu reaksi, terutama terlihat pada sekitar April (2024) lalu hingga Mei," imbuh Ani.

Di lain sisi, Ani menyoroti imbal hasil US Treasury yang terus naik. Anggaran Pemerintah AS yang masih defisit tinggi di saat suku bunga tak kunjung turun, membuat Negeri Paman Sam harus mengeluarkan banyak sekali bond.

Imbasnya, sambung Ani, aliran modal di Indonesia terdampak. Ia mencatat masih ada capital outflow yang terjadi, baik dari sisi surat berharga negara (SBN) sampai ke pasar saham.

"Sehingga total outflow sampai dengan Juni mencapai Rp9,31 triliun. Ini yang mungkin untuk kita waspadai dalam artian respons dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), fiscal policy, adalah nanti kepada berbagai pos yang terpengaruh kepada nilai tukar," jelas Ani.

"Dan yang immediate tentu dari sisi pembiayaan, terutama dari sisi issuance," tutupnya.

[Gambas:Video CNN]



(skt/sfr)

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat