Misteri Rekor Kasus Bakteri 'Pemakan Daging' di Jepang, Ahli Respons
![Misteri Rekor Kasus Bakteri 'Pemakan Daging' di Jepang, Ahli Respons Kasus infeksi bakteri Streptococcus 'pemakan daging' mencapai rekor tertinggi di Jepang.](https://akcdn.detik.net.id/visual/2024/06/17/bakteri-group-a-streptococcus_169.png?w=650&q=90)
Kasus infeksi bakteri 'pemakan daging' mencapai rekor tertinggi di Jepang dengan pemicu yang belum diketahui secara pasti.
Hingga tanggal 2 Juni, melansir CNN, Kementerian Kesehatan Jepang telah mencatat 977 kasus streptococcal toxic shock syndrome (STSS), yang memiliki angka kematian hingga 30 persen.
Sebanyak 77 orang meninggal akibat infeksi antara Januari hingga Maret.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wabah yang sedang berlangsung di Jepang telah melampaui rekor tahun lalu, yaitu 941 kasus infeksi awal, yang tertinggi sejak perhitungan dimulai pada 1999.
ADVERTISEMENT
National Institute of Infectious Diseases Jepang melaporkan 97 kematian akibat STSS pada 2023, yang merupakan jumlah kematian tertinggi kedua dalam enam tahun terakhir.
STSS adalah infeksi bakteri yang jarang namun serius yang dapat berkembang ketika bakteri menyebar ke jaringan dalam dan aliran darah.
Pasien awalnya menderita demam, nyeri otot, dan muntah-muntah. Gejalanya dapat dengan cepat mengancam nyawa lewat tekanan darah rendah, pembengkakan, dan kegagalan banyak organ saat tubuh mengalami syok.
"Bahkan dengan pengobatan pun, STSS bisa mematikan. Dari 10 orang yang mengidap STSS, sebanyak tiga orang akan meninggal akibat infeksi tersebut," menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC).
Sebagian besar kasus STSS disebabkan oleh bakteri streptococcus grup A (GAS), yang terutama menyebabkan demam dan infeksi tenggorokan pada anak-anak.
Dalam kondisi yang jarang terjadi, bakteri ini dapat menjadi invasif ketika bakteri menghasilkan racun yang memungkinkannya masuk ke aliran darah, menyebabkan penyakit serius seperti syok toksik.
Strep A juga dapat menyebabkan fasciitis nekrotikans 'pemakan daging', yang dapat menyebabkan hilangnya anggota tubuh.
Namun, menurut CDC, sebagian besar pasien yang tertular penyakit tersebut memiliki faktor kesehatan lain yang dapat menurunkan kemampuan tubuh mereka untuk melawan infeksi, seperti kanker atau diabetes.
Infeksi radang grup A yang invasif sebagian besar dapat diatasi dengan pengendalian Covid-19, seperti penggunaan masker dan menjaga jarak. Namun, setelah tindakan tersebut dilonggarkan, banyak negara melaporkan peningkatan kasus.
Infeksi Streptococcus Grup A meningkat di Inggris, sejauh ini menyebabkan 6 kematian di bawah usia 10 tahun.
Pada bulan Desember 2022, lima negara Eropa melaporkan kepada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adanya peningkatan infeksi streptococcus grup A invasif (iGAS), dengan anak-anak di bawah 10 tahun yang paling terkena dampaknya.
CDC mengatakan pihaknya juga sedang menyelidiki peningkatan nyata penyakit ini pada saat itu.
Pada Maret, pihak berwenang Jepang memperingatkan adanya lonjakan kasus STSS. National Institute of Infectious Diseases pun merilis penilaian risiko yang mengatakan jumlah kasus STSS yang disebabkan oleh iGAS "telah meningkat sejak Juli 2023, terutama di antara mereka yang berusia di bawah 50 tahun."
CDC mengatakan orang lanjut usia dengan luka terbuka berisiko lebih tinggi tertular STSS, termasuk mereka yang baru saja menjalani operasi.
"Namun, para ahli tidak mengetahui bagaimana bakteri tersebut masuk ke dalam tubuh hampir separuh orang yang menderita STSS," kata CDC di situsnya.
Alasan peningkatan kasus STSS di Jepang tahun ini masih belum jelas, menurut lembaga penyiaran publik Jepang NHK.
Profesor Ken Kikuchi, dari Universitas Kedokteran Wanita Tokyo, mengatakan kepada NHK bahwa peningkatan tersebut mungkin disebabkan oleh melemahnya sistem kekebalan masyarakat setelah Covid.
"Kekebalan tubuh bisa kita tingkatkan jika kita terus menerus terpapar bakteri. Namun, mekanisme itu tidak ada selama pandemi virus corona," kata dia.
"Jadi, kini semakin banyak orang yang rentan terhadap infeksi, dan itu mungkin menjadi salah satu alasan meningkatnya kasus secara tajam," tandas Kikuchi.
(tim/arh)Terkini Lainnya
-
Menkes soal Kematian Zhang Zhi Jie: Kalau Ditangani Cepat, Dia Survive
-
Jokowi Tepis Cawe-cawe Pilkada: Itu Urusan Parpol, Jangan Tanya Saya
-
Komite Jurnalis Ungkap Kronologi Kasus Tewasnya Wartawan Tribrata TV
-
FOTO: 116 Orang Tewas Terinjak-injak usai Acara Keagamaan di India
-
30 Jenderal Senior Israel Desak Netanyahu Setop Perang dengan Hamas
-
Siapa Yahudi Ultra-ortodoks Haredim yang Tolak Jadi Tentara Israel?
-
OJK Beber Alur Blokir Rekening Terlibat Judi Online
-
Salip BIll Gates, Eks CEO Microsoft Jadi Orang Terkaya ke-6 Dunia
-
Jokowi Resmikan Pabrik Baterai Mobil Listrik Terbesar di Asia Tenggara
-
Daftar Lengkap Pertandingan Perempat Final Copa America 2024
-
Menanti Jurus Terakhir Timnas Indonesia U-16 demi Libas Vietnam
-
Zhang Zhi Jie Meninggal, Shi Yu Qi Ubah Duka Jadi Semangat Membara
-
Daftar Hp Tidak Bisa Pakai WA Juli 2024, Termasuk iPhone dan Samsung
-
Ahli Kembangkan Jaringan Internet 6G, Cek Kedahsyatan dan Kelemahannya
-
Penampakan Komputer Tertua di Dunia dari Yunani, Bisa Apa?
-
Bikin SIM Pakai BPJS Kesehatan Bakal Berlaku di Seluruh Indonesia
-
Insentif Mobil Hybrid Diminta Setara Mobil Listrik
-
Syarat Mobil Hybrid Citroen Masuk Indonesia
-
BTOB Batal Gelar Fan Concert di Jakarta Gegara Masalah Kontrak
-
Ayu Ting Ting Enggan Menutup Diri Meski Gagal Nikah Lagi
-
Kris Dayanti Beber Rencana Pernikahan Azriel Hermansyah dan Sarah
-
BKKBN Targetkan Tiap Keluarga Punya 1 Anak Perempuan, Ini Alasannya
-
INFOGRAFIS: Pertolongan Pertama pada Korban Henti Jantung
-
Ci(n)ta Rasa William Wongso