yoldash.net

Cerita 'Birdwatching' dan Ancaman Punah Burung Wallacea-Papua

Puluhan burung endemik wilayah Wallacea hingga Papua kini terancam punah karena perburuan liar. Ekowisata birdwatching bisa jadi opsi untuk mengatasinya.
Ilustrasi penyelundupan burung Cenderawasih. (ANTARA FOTO/Didik Suhartono)

Jakarta, Indonesia -- Perburuan ilegal dari satwa-satwa liar di kawasan Wallacea (Sulawesi, Maluku, Nusat Tenggara Timur) hingga Papua sudah cukup mengkhawatirkan. Salah satu yang paling banyak diburu dan kemudian dijual di pasar Internasional adalah satwa burung endemik.

Padahal Indonesia, khususnya wilayah Wallacea kaya akan keragaman fauna, khususnya jenis burung. Naturalis Inggris Alfred Russel Wallace dalam delapan tahun (1854-1862) penjelajahannya berhasil mengumpulkan lebih dari 125.000 spesimen.

Hasil penemuan yang ia abadikan di dalam buku 'The Malay Archipelago' itu terdiri dari reptilia (100 spesimen), mamalia (310 spesimen), moluska (7.500 spesimen), burung (8.050 spesimen), kupu-kupu (13.100 spesimen), kumbang (83.200 spesimen), dan serangga lainnya (13.400 spesimen).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketua Dewan Pengurus Yayasan Wallacea Sangkot Marzuki bahkan menyebut dari ribuan burung yang dicatat Wallace, ada sekitar 800 lebih jenis burung yang berada di kawasan Wallacea, 300-an jenis di antaranya burung endemik.

"Kawasan Wallacea itu paling kaya endemiknya," kata Sangkot kepada Indonesia.com, usai pameran Wallacea Weak 2019 di Makassar pekan lalu.

ADVERTISEMENT


Namun beberapa jenis burung endemik di kawasan Wallacea kini terancam punah. Salah satunya ada burung endemik Maleo. Menurut data Flora & Fauna International (FFI), berdasarkan data dari Lembaga Internasional untuk Koservasi Alam (IUCN), tingkat kepunahan Maleo masuk ke dalam kategori berbahaya atau endangerd.

Maleo sendiri sudah masuk ke dalam spesies satwa liar yang dilarang dalam segala bentuk perdagangan internasional.

"Yang kondisi yang sudah kritis atau Critically Endangered untuk kategori burung di Wallacea adalah Elang Flores dan Celepuk Siau," kata aktivis FFI Noni Tirtaningtyas kepada Indonesia.com di sela-sela pameran Wallacea Weak 2019 di Makassar.

Adapun yang masuk ke dalam kategori endangered punah adalah Kakatua putih, Kasturi Ternate, dan burung Madu Sangihe. Sementara yang sudah masuk kategori rawan punah atau vulnerable adalah Mandar Gendang.

[Gambas:Video CNN]

Selamatkan Burung Lewat Ekowisata Birdwatching

Salah satu upaya untuk melestarikan spesies burung di Indonesia adalah dengan mulai menggalakkan ekowisata yang melibatkan masyarakat lokal dengan aktivitas birdwatching. Dengan begitu, masyarakat lokal bisa meminimalisir jumlah perburuan dan perdagangan burung.

Kristian Maurits Kafiar adalah salah satu konservasionis muda yang berhasil menerapkan ekowisata birdwatching di Pulau Waigeo barat dan timur, Kepulauan Raja Ampat, Papua. Menurut Rits, sapaan akrabnya, birdwatching harus juga bisa diterapkan di kawasan Wallacea dan bagian Indonesia lain yang kaya akan fauna burung.

Menurut Rits, perburuan burung liar di Raja Ampat marak sekali, terutama pada jenis spesies burung endemik Papua, seperti cenderawasih merah, kakatua koki, nuri kepala hitam, perkici pelangi, Cenderawasih Botak, Mambruk Ubiaat, dan Junai Emas. Beberapa jenis burung itu kini masuk daftar satwa yang terancam punah.

Berburu burung bukanlah perilaku asli masyarakat Raja Ampat, yang lebih terbiasa memancing di laut. Namun permintaan pasar untuk burung liar yang hidup tersebut mengubah perilaku masyarakat lokal. Ditambah lagi, banyak ditemukan pemburu hewan langka di Papua yang berasal dari daerah lain.


"Harga jual burung cenderawasih, nuri kepala hitam, dan endemik Papua itu biasanya di pasar gelap 1,5 juta, jadi warga lokal tergiur. Cuma kita tawarkan solusinya dengan ekowisata yang justru bisa membawa pengasilan tetap," kata Rits kepada Indonesia.com di sela Wallacea Week Makassar, pekan lalu.

Walau awalnya sulit dan mendapatkan penolakan, pendekatan ke warga lokal dan adat di dua pulau Waigeo sejak tahun 2016 itu membuahkan hasil. Rits dan timnya berhasil mengedukasi warga lokal dengan ekowisata birdwatching. Kini, hampir setiap minggu ada saja turis, khususnya mancanegara yang datang ke Waigeo dengan pendampingan penuh warga lokal.

"Jadi uang dari turis asing langsung masuk ke kantong warga. Lumayan, kalau birdwatching, untuk menyaksikan satu kepala Cenderawasih merah saja dapat 250 ribu. Itu turis sudah dapat pengalaman serasa di surga, karena hanya didamping satu pendamping, suasana syahdu di tengah hutan dan hening, dia bisa lihat semua kegiatan cenderawasih, mulai mengepakkan sayap dan lainnya, ekslusif hanya di Papua," ungkap Rits.

Selain paket birdwatching, ekowisata yang ditawarkan juga bisa dalam bentuk paket check list dengan paket 1,3 juta bisa dipandu warga lokal untuk melihat sebanyak mungkin burung endemik Papua. Sementara paket lain adalah untuk fotografer dengan tarif 300 ribu per hari.


Rits mengklaim upaya konservasi burung melalui ekowisata ini berhasil 80 hingga 90 persen. Dulu, pertama kali ia datang ke Raja Ampat, burung-burung hanya bisa ditemukan jauh di dalam hutan. Sekarang, burung endemik dan langka dari Raja Ampat mudah ditemukan di dalam kampung, di belakang rumah, bahkan di halaman rumah.

"Burung-burung hidup liar tanpa takut dijerat atau diburu. Karena warga lokal juga sekarang ikut menjaga karena bagi mereka menjaga burung bisa jadi sumber ekonomi. Selain jadi pemandu, rumah mereka juga disewakan jadi tempat menginap turis, jualan makanan juga bisa," kata Rits.

Tak hanya itu, melibatkan seluruh aparat keamanan setempat dan masyarakat lokal di beberapa Kepulauan Raja Ampat, Rits membentuk tim Spatial Monitoring And Reporting Tool (SMART) patrol yang melakukan pengawasan langsung area konservasi dari aktivitas perburuan satwa liar, khususnya burung atau pembalakan kayu ilegal lainnya.

Berkat tim partoli yang rutin berkeliling setiap hari, beberapa pemburu liar berhasil diamankan. Kini sdah ada 80 anggota komunitas ekowisata dengan 32 pemandu asli Papua yang siap mengawal pendatang yang ingin menikmati kekayaan flora fauna endemik Papua.

Rits kemudian mengungkapkan waktu-waktu yang terbaik untuk birdwathing antara September hingga April. Pada masa-masa itu burung endemik Papua sedang mengalami breeding. Menurut Rits, ada sekitar 213 jenis burung di Papua, yang terbagi dari Cenderawasih sebanyak 9 jenis, dan 5 burung endemik Papua yang bisa menyegarkan mata.

(dal)

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat