yoldash.net

Ruwet Masalah Film Vina: Antara Etika, Hukum, dan Edukasi - Halaman 2

Kemelut dan kontroversi yang dihadapi film Vina: Sebelum 7 Hari terbilang cukup kompleks dan berlapis.
Keluarga Vina Cirebon bertemu Hotman Paris di Central Park Jakarta Barat, Kamis (16/5). (CNN Indonesia/Muhammad Feraldi)

Menurut amatan Hikmat, kegaduhan soal Vina: Sebelum 7 Hari berawal dari perbedaan nilai yang dianut penonton film Indonesia. Setiap penonton memiliki kompas moral yang beragam saat mengonsumsi film.

Edukasi lantas menjadi solusi konkret yang dapat digencarkan. Nilai moral masyarakat secara kolektif perlu ditumbuhkan, terutama terhadap konten-konten yang muncul di film atau medium hiburan lain.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Literasi itu juga patut dibarengi sosialisasi tentang budaya menyaksikan film sesuai dengan klasifikasi usia. Situasi ini merupakan sumbu dari segala persoalan, tetapi tidak kunjung teratasi.

Hikmat kemudian menilai edukasi menjadi satu urgensi yang paling tepat untuk dilaksanakan, alih-alih mendorong lembaga tertentu untuk memiliki kuasa lebih dalam menyensor hingga menentukan nasib penayangan sebuah film seperti pada masa lalu.

ADVERTISEMENT

"Pendidikan melek klasifikasi dan melek film itu tanggung jawab berbagai pihak, termasuk orang tua dan juga media," ungkap Hikmat.

"Itu adalah fakta yang harus kita hadapi... Berarti yang harus ditingkatkan edukasinya, bukan ditingkatkan kuasa sensornya," lanjutnya.

Namun, bukan berarti produser dan sutradara bisa bebas dalam situasi ini. Pembuat film perlu bertanggung jawab atas karya yang mereka suguhkan ke publik.

Dheeraj Khalwani, produser film dari Dee Company.Produser film Vina: Sebelum 7 Hari, Dheeraj Kalwani alias K.K. Dheeraj, mengklaim telah berkonsultasi dengan keluarga sejak produksi hingga film itu tayang, termasuk soal konten yang terkandung di dalam cerita. (Indonesia/Muhammad Feraldi)

Hikmat mengatakan pembuat film dapat memenuhi tanggung jawab itu dengan terbuka atas kritik setelah film dirilis. Sutradara dan produser juga harus terbuka jika ada yang mengoreksi nilai-nilai film mereka.

Persoalan tanggung jawab juga disampaikan oleh Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin. Mariana menilai film yang didasarkan dari kisah nyata ada baiknya memberikan pelajaran, empati, atau empati terhadap korban.

Apalagi, sineas selaku kreator adalah pihak yang paling paham menerjemahkan kisah nyata tersebut menjadi gagasan hingga adegan dalam layar. Selain itu, sineas kini juga sudah diberikan kekuasaan penuh menentukan adegan yang harus disensor.

"Jadi seharusnya film itu kalau menaikkan kisah nyata tentang tragedi, dia perlu menunjukkan empati dan tanggung jawabnya," kata Mariana.

"Kalau soal tanggung jawab dari pembuat karyanya, tapi kan kepekaannya harus diuji ketika membuat film itu. Bukan semata-mata agar pelakunya ditangkap, tapi juga pikirkan korbannya yang sudah enggak ada, dan juga keluarganya," kata Mariana.



Setelah itu, industri film perlu menumbuhkan keragaman film yang beredar di layar lebar. Keragaman produk itu menjadi krusial untuk mencegah sejumlah produser yang kerap latah dalam menentukan arah produksi film.

Hikmat juga meyakini pilihan film yang kian beragam bakal memperkecil peluang dominasi film dengan penuh kontroversi.

"Sebenarnya yang harus ditumbuhkan keragaman minat masyarakat yang harus lebih banyak. Jadi, supaya produser enggak keenakan kalau satu laku terus latah gitu," ujar Hikmat.

"Kalau masyarakat punya pilihan yang sama-sama bikin ingin menonton, saya kira film-film yang sekadar latah saja usia [tayangnya] pendek." lanjutnya.

Infografis Cara dan Tahapan Film Bisa Lulus SensorInfografis Cara dan Tahapan Film Bisa Lulus Sensor. (Basith Subastian/Indonesia)
(frl/end)

HALAMAN:
1 2

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat