yoldash.net

Sebab Indonesia 'Di-skip' Musisi Asing Macam Coldplay dan Taylor Swift - Halaman 2

Menjadi negara berpopulasi terbanyak ke-empat dunia tak serta-merta menjadikan Indonesia 'seksi' di mata industri bisnis konser internasional.
Para pencinta musik di Indonesia bertanya mengapa Coldplay dan Taylor Swift lebih memilih berlama-lama di Singapura dibanding mampir ke Jakarta yang penduduknya dua kali lipat dari negara itu. (REUTERS/CHRISTOPHER PIKE)

Loo menyebut mereka menjual posisi strategis Singapura, infrastruktur yang memadai, konektivitas dengan negara tetangga, dan rekam jejak dalam menggelar acara dengan standar tinggi.

"Aksi hiburan langsung kelas dunia ini pelengkap dari daftar penawaran kuat kami dan pengalaman unik yang melayani warga kami dan pengunjung dari segala usia dan minat," kata Loo, dikutip dari The Straits Times yang rilis Sabtu (24/6).

Efek kampanye ini pun mulai terasa, pihak Agoda Singapura melaporkan ada kenaikan pencarian hotel di negara tersebut hingga 8,7 kali lipat semenjak Coldplay mengumumkan bakal konser di Singapura.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hal ini peluang emas bagi Singapura untuk mengeruk untung dari pelancong dan penonton konser. Apalagi, Coldplay dan Taylor Swift saja setidaknya akan mendatangkan 660 ribu penonton untuk Singapura.

Lintas lini

Terkait Indonesia yang tak seksi untuk tujuan konser musisi asing, Revie mengharapkan adanya kerja lintas lini yang melandasi terciptanya aturan atau regulasi khusus terkait penyelenggaraan konser musisi internasional.

ADVERTISEMENT

"Sudah seharusnya ada koordinasi antarlembaga atau instansi yang terkait dengan regulasi artis asing untuk mengeluarkan aturan yang jelas," kata Revie.

"Mungkin juga perlu penyederhanaan birokrasi yang memudahkan artis asing untuk melakukan pertunjukan di sini," sambungnya.

"Karena kemudahan perizinan juga menjadi salah satu penilaian bagi manajemen artis asing ketika melakukan riset awal mengenai negara tujuan." kata Revie.

A general view of Sheares bridge (left), private housing (C) and national stadium (dome)  in Singapore on November 20, 2014.  Singapore's domestic wholesale trade dropped 5.7 percent in the July-September quarter compared to a year ago, the government said November 20. AFP PHOTO/ROSLAN RAHMAN (Photo by ROSLAN RAHMAN / AFP)Pemerintah Singapura mengambil alih kawasan Singapore Sports Hub, lokasi Singapore National Stadium, pada Desember 2022 agar bisa sejalan dengan ambisi menjadikan negara itu pusat tujuan pariwisata. (AFP/ROSLAN RAHMAN)

Gagasan merapikan koordinasi ini sebenarnya sudah pernah disebut Dewi Gontha selaku Ketua Bidang Program dan Investasi Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI) pada tahun lalu.

Dewi kala itu menyatakan asosiasi akan menciptakan sebuah standar yang dapat digunakan oleh promotor musik dalam setiap penyelenggaraan.

Mereka akan menyusun tahapan pengurusan perizinan untuk menyelenggarakan pertunjukan musik hingga memantau prosedur operasi standar itu hingga diimplementasikan dengan baik.

Namun APMI tak jua memberikan respons saat dihubungi Indonesia.com untuk hal tersebut hingga artikel ini ditayangkan, begitu pula dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).

Terlepas dari aturan dan standar soal konser kelas internasional yang masih di awang-awang, Revie menegaskan perlunya peran seluruh pihak agar Indonesia bisa dipandang dengan mata penuh oleh musisi dan promotor asing.

"Tidak bisa hanya pemerintah yang berupaya, harus didukung semua pihak termasuk promotor dan masyarakat untuk membangun citra negara kita sebagai tempat yang friendly and vibrant untuk mengadakan event," kata Revie.

Salah satunya adalah perihal calo. Calo yang memang ada di berbagai negara di dunia ini jadi catatan buruk dalam penyelenggaraan konser di Indonesia.

Seringkali, konser yang berstatus laris dan sold out justru sepi penonton atau banyak bangku kosong lantaran tiketnya diborong calo dan tak laku saat dijual kembali karena harga yang menggila.

"Praktik calo akan terus ada selama penonton masih membeli lewat calo. Ini memang bukan hal yang mudah untuk memberantas calo, karena penonton diperhadapkan dengan pilihan apakah harus rela kehilangan menonton artis yang digemari atau membeli dari calo," kata Revie.

"Dan ada masalah lain menyangkut teknologi pembelian tiket yang mudah ditembus oleh robot, hal ini belum bisa menjadi perhatian dari tiap promotor, karena selagi tiket laku terjual maka tujuan promotor tercapai," sambungnya.

"Ini memang masalah yang rumit di mana selain adanya aturan, diperlukan perubahan perilaku dari masyarakat," kata Revie.

"Oleh karena itu perlu kesadaran yang tinggi dari masyarakat untuk sama-sama membangun citra yang baik tentang Indonesia dan sama-sama memperbaiki rekam jejak kita," ujarnya.

(far/end)

HALAMAN:
1 2

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat