Khawatir Bali Diliberalisasi Imbas Rencana Family Office
Family office menjadi perbincangan hangat usai didengungkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Luhut pertama kali mengungkapkan hal ini ke publik pada 5 Juni 2024. Kala itu, ia tengah dipanggil Badan Anggaran DPR RI bersama para menko lainnya.
Usul sang menteri serba bisa itu pun sampai ke meja Presiden Joko Widodo. Luhut mengklaim orang nomor satu di Indonesia itu setuju dengan rencana pembentukan family office.
Pada awal Juli 2024, Presiden Jokowi mengumpulkan para menteri Kabinet Indonesia Maju untuk membahas potensi skema investasi family office. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno menjadi 'pembisik' lainnya yang hadir dalam rapat tersebut.
Sandi dan Luhut adalah dua tokoh utama yang mengglorifikasi family office. Bahkan, Sandiaga terang-terangan menegaskan rencana proyek ini akan dipusatkan di Bali.
"Saya akan menghitung berapa target awal dan regulasinya seperti apa yang perlu kami hadirkan," ucap Sandi usai menghadiri World Water Forum di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali pada Mei 2024 lalu.
Family office menurut Sandi adalah konsep keluarga yang membawa kekayaannya untuk berinvestasi. Ini bakal dijalankan di suatu wilayah sembari mereka berwisata.
Menko Marves Luhut kemudian mengumumkan bahwa dirinya diperintahkan Presiden Jokowi untuk menyiapkan satuan tugas mengenai family office. Luhut berharap dalam tiga minggu ke depan sudah bisa merampungkan tahap persiapan dan kembali melapor ke Jokowi.
Terlebih, Jokowi sudah pasang target potensi pengelolaan dana US$500 miliar atau sekitar Rp8.178,8 triliun (asumsi kurs Rp16.357 per dolar AS) dari pembentukan family office. Ini akan didapat dari kekayaan orang super kaya alias crazy rich.
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mencoba membedah konsep family office yang dibisikkan Luhut dan Sandi kepada Presiden Jokowi. Secara sederhana, ia menafsirkan ini mirip perusahaan penyedia layanan keuangan yang bergerak secara komprehensif.
Namun, Yusuf menyebut jasa yang diberikan family office dikustomisasi sedemikian rupa. Tujuannya untuk mengakomodasi kepentingan mereka yang terkategori sebagai orang relatif super kaya.
Ia mengamini Singapura hingga Hong Kong cukup berhasil menjalankan model bisnis ini, terutama karena industri keuangannya sudah maju. Akan tetapi, Yusuf skeptis ini bisa direplikasi di Indonesia.
Lihat Juga :REKOMENDASI SAHAM Saham Pilihan Pekan Ini: Sektor Perbankan, Energi hingga Kesehatan |
"Akan cukup menantang, terutama bagi negara-negara berkembang, seperti Indonesia yang ingin menjalankan konsep ini. Apakah Indonesia punya indikator yang menarik untuk menjalankan bisnis tersebut?" ucap Yusuf kepada Indonesia.com, Senin (1/7).
Menurutnya, 'menjual' gula-gula berbentuk ramah pajak tak serta-merta mendulang simpati crazy rich. Ia menyebut perlu ada ekosistem yang tepat jika ingin meniru kesuksesan family office di luar sana.
Yusuf mengatakan pemilik family office di luar negeri pasti akan mengantisipasi langkah Indonesia. Ia menegaskan mereka tidak akan tinggal diam dengan jurus yang disiapkan Jokowi Cs.
"Artinya, mereka (negara lain pemilik family office) bisa saja menawarkan insentif lain yang tidak kalah menarik," tegasnya.
"Saya berharap rencana family office ini tidak mendorong pemerintah kembali menawarkan insentif pajak bagi kelompok terkaya. Konsep pemberian insentif pajak yang rendah itu relatif justru dihindari saat ini karena bertentangan dengan prinsip penerapan pajak secara global, terutama bagi negara-negara berkembang," wanti-wanti Yusuf.
Bersambung ke halaman berikutnya...