yoldash.net

Membongkar Alasan 2 Raksasa Eropa Batal Investasi Smelter Nikel Rp42 T - Halaman 2

Membongkar alasan dua perusahaan raksasa Eropa, BASF dan Eramet, memutuskan hengkang dari investasi smelter nikel senilai Rp42 triliun di Maluku Utara.
Banyak Alternatif Nikel hingga Masalah Pendataan Jadi Pertimbangan. (Foto: CNN Indonesia/Safyra Primadhyta)

Faktor lainnya, banyak alternatif bahan baku baterai kendaraan listrik selain nikel, seperti lithium ferro-phosphate (LFP).

"Ada lagi juga masalah soal ketidakpastian terkait dengan pen-supply bijih nikel nanti ke pabrik yang ada, sehingga mereka memilih untuk lebih membeli dari intermediary atau pun dari pihak ketiga. Nah ini tentu posisi yang menguntungkan China karena mereka akan membeli dari China alih-alih membangun pabrik di Indonesia," ujar Bhima kepada Indonesia.com, Kamis (27/6).

Kemudian, lanjutnya, indikasi lainnya juga terkait dengan aturan di negara-negara maju seperti Uni Eropa yang mengeluarkan due diligence di mana mereka akan melihat aliran rantai pasok. Pasalnya, selama ini yang menjadi kelemahan nikel di Indonesia adalah traceability atau ketertelusurannya yang memang masih buruk.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Artinya, jelas Bhima, hal ini akan membuat pihak Uni Eropa kesulitan untuk melacak asal usul bijih nikel Indonesia karena masih kurangnya pendataan.

ADVERTISEMENT

"Kemudian juga kekhawatiran ketika di-trace atau pun dilihat asal usulnya, ternyata juga tidak sesuai dengan standarisasi lingkungan, standarisasi keselamatan pekerja, maupun juga standarisasi terkait dengan dampak terhadap masyarakat adat, misalnya. Karena itu kan lokasinya di Maluku, Halmahera," tuturnya lebih lanjut.

Bhima menegaskan pemerintah harus memperbaiki seluruh tata kelola dari hilirisasi nikel. Hengkanya dua raksasa Eropa dari proyek hilirisasi nikel harus menjadi momentum yang krusial agar pemerintah bisa menghindari hal-hal seperti kecelakaan kerja, apalagi yang mengakibatkan kerugian dan jiwa atau meninggalnya para pekerja.

Pemerintah juga dinilai perlu fokus mengatasi smelter yang berdampak pada pencemaran udara. Pasalnya, banyak smelter yang masih menggunakan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, hingga pencemaran air. Bhima mengatakan faktor-faktor tersebut adalah masalah yang mengemuka dan menjadi pertimbangan investor.

"Karena kalau mau mengejar investor yang lebih berkualitas seperti BASF dan Eramet, ini kan perusahaan yang cukup punya kapasitas dan punya kredibilitas sehingga mereka harus menjaga brand image-nya dengan menaati aturan-aturan soal sustainability atau keberlanjutan," imbuhnya.

"Jadi Indonesia tidak bisa lagi menyepelekan masalah-masalah soal isu keberlanjutan jika ingin menarik investasi untuk pengelolaan hilirisasi yang lebih berkualitas," pungkas Bhima.

Senada, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menggarisbawahi pernyataan BASF bahwa mereka melihat opsi supply untuk baterai listrik sudah berubah. Artinya, alternatif bahan baku baterai listrilk sudah lebih banyak, tak lagi hanya dari nikel.

"Sehingga mereka mengkalkulasi, kalau mereka meneruskan proyek di Weda Bey di Maluku Utara ini mungkin ongkosnya menjadi lebih besar. Investasi yang dilakukan lebih besar. Sementara ke depan keuntungannya mungkin tidak seperti yang diharapkan," jelas dia.

"Ini yang menjadi pertanyaan juga dalam hal sustainability (keberlanjjutan) dari investasi nikel untuk menjadi baterai listrik atau kendaraan listrik, karena ada disrupsi dalam hal teknologi dan bahan baku yang menyaingi nikel," sambung Faisal.

Menurutnya, hal ini sudah melanda BASF. Dengan kondisi ini, berarti ke depan mereka akan mempertimbangkan atau menghitung kembali rencana proyek smelter di Maluku Utara untuk mengantisipasi dari kondisi global terhadap kebijakan smelter nikel.

"Jadi perlu ada penyesuaian, pengkondisian. Bagaimana sebaiknya supaya kita tidak terlambat mengantisipasinya," imbuh Faisal.



(pta/pta)

HALAMAN:
1 2

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat