yoldash.net

Wacana Dewan Media Sosial, Masyarakat Sipil Cemas Potensi Asal Blokir

Sejumlah organisasi masyarakat sipil khawatir Dewan Media Sosial justru malah dapat membatasi kebebasan berpendapat di ruang digital.
Ilustrasi. Sejumlah organisasi masyarakat sipil khawatir Dewan Media Sosial justru malah dapat membatasi kebebasan berpendapat di ruang digital. (Foto: AFP PHOTO / MOHAMMED ABED)

Jakarta, Indonesia --

Sejumlah civil society organization (CSO) atau kelompok masyarakat sipil buka suara terkait rencana pemerintah membentuk Dewan Media Sosial (DMS). Mereka khawatir Dewan Media Sosial justru malah dapat membatasi kebebasan berpendapat di ruang digital.

Wahyudi Djafar, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), mengatakan wacana pembentukan DMS itu sebetulnya pertama kali mengemuka tahun lalu ketika proses revisi Undang-undang ITE.

Menurut dia saat itu sejumlah LSM memang sempat mengusulkan pembentukan Dewan Media Sosial yang diatur dalam UU ITE. Tujuannya adalah agar ada lembaga independen yang bisa terlibat dalam penyelesaian sengketa di media sosial dan tidak sekadar peran pemerintah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, saat itu usulan tersebut tidak diakomodasi oleh pemerintah dan DPR. Djafar pun menilai munculnya lagi wacana pembentukan Dewan Media Sosial sekarang ini oleh pemerintah akan memunculkan kekhawatiran baru.

ADVERTISEMENT

"Ketika wacananya justru muncul di level kementerian, ini yang malah memunculkan kekhawatiran bahwa justru akan menjadi ruang semakin memberikan legitimasi atas tindakan-tindakan pemblokiran atas konten internet," kata Djafar saat dihubungi Indonesia.com, Selasa (28/5).

Menurut Djafar sekarang ini justru tidak perlu lagi pemerintah membentuk DMS. Pasalnya, mengacu revisi terakhir UU ITE, kewenangan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), sudah terlalu besar.

"Jadi, sebenarnya kalau direspons hari ini tidak perlu, udah sangat terlambat. Mestinya kalo mau direspons pas proses RUU ITE, bukan diterjemahkan di level kementerian, karena independensinya tidak bisa dicapai ketika itu hanya dibentuk di level kementerian," tuturnya.

Nenden Sekar Arum, Direktur Southeast Asia Freedom of Expression Network (SafeNet), juga mengamini pernyataan Djafar. Menurutnya ide pembentukan DMS sekarang ini justru sudah kehilangan konteksnya.

Sekar mengatakan pihaknya telah mengusulkan pembentukan DMS ke Kominfo tahun lalu, saat proses pembahasan revisi kedua UU ITE. Ketika itu, SAFEnet mengusulkan DMS sebagai lembaga independen baru yang berisi berbagai pemangku kepentingan dan berfungsi menggantikan peran Kominfo dalam melakukan moderasi konten.

"Sebab, selama ini wewenang Kominfo sebagai representasi pemerintah sangat besar dalam memoderasi konten," kata Sekar.

Ia menambahkan pembentukan lembaga ini diusulkan untuk masuk ke dalam substansi revisi kedua UU ITE. Secara spesifik, SAFEnet mengusulkan penambahan pasal 40 ayat 2(c) yang berbunyi: "....Pemerintah berwenang memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan moderasi konten terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut yang berkategori konten berbahaya atas dasar rekomendasi dari Dewan Media Sosial."

Namun, hingga revisi kedua UU ITE disahkan menjadi UU Nomor 1 Tahun 2024, pasal-pasal tersebut tidak diakomodir baik oleh Kominfo maupun DPR RI.

"Hal itu terlihat dari UU ITE terbaru pasca revisi yang justru memenggal substansi dari usulan awal sehingga wewenang moderasi konten sepenuhnya berada di tangan Kominfo sebagai representasi negara," jelas dia.

Tinjau ulang

SafeNet pun mendesak agar Kominfo untuk meninjau ulang pembentukan Dewan Media Sosial. Apalagi jika dewan ini nantinya berkedudukan di bawah badan eksekutif.

Selain itu, SafeNet juga mendesak agar Kominfo melibatkan organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang hak asasi manusia dalam proses perencanaan Dewan Media Sosial.

"Pembentukan DMS harus mengadopsi seluruh prinsip-prinsipnya, terutama prinsip independensi dan prinsip multistakeholderisme," kata Sekar.

"Pembentukan DMS seperti yang dirancang oleh Kominfo masih sangat kabur dan justru berpotensi berseberangan dengan prinsip awalnya," lanjut dia.

Menurutnya DMS harus independen, terbebas dari pengaruh pemerintah maupun perusahaan media sosial. Kontrol Kominfo atas DMS akan menimbulkan penyensoran dan memperparah kerusakan demokrasi dan kebebasan sipil di ruang digital.

Ia mengatakan di bawah Kominfo, DMS berpotensi konflik kepentingan yang sangat besar, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai alat represi digital yang baru. Hal ini justru akan melemahkan posisi masyarakat sipil dan membawa kemunduran bagi demokrasi digital.

(tim/dmi)


[Gambas:Video CNN]

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat