yoldash.net

BMKG Ungkap Alasan Indonesia Selamat dari 'Sengatan' Gelombang Panas

Indonesia cenderung lebih adem ketika gelombang panas tengah 'memanggang' sejumlah negara di Asia. Apa alasannya?
Ilustrasi. Indonesia cenderung lebih adem ketika gelombang panas tengah 'memanggang' sejumlah negara di Asia. (Foto: AP/Aaron Favila)

Jakarta, Indonesia --

Indonesia cenderung lebih adem ketika fenomena gelombang panas atau heatwave tengah 'memanggang' sejumlah negara di Asia dalam beberapa pekan terakhir. Apa alasannya?

Gelombang panas itu turut menyerang negara-negara tetangga Indonesia, seperti Thailand, Vietnam, Filipina, hingga Myanmar dalam beberapa waktu terakhir. Suhu di kota-kota besar di negara tersebut mencapai lebih dari 40 derajat Celsius.

Otoritas Thailand bahkan mencatat 30 orang tewas akibat gelombang panas yang melanda Ibu Kota mereka, Bangkok.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkap peningkatan panas di beberapa negara Asia, seperti di Oman yang mencapai 50,7 derajat Celsius, India 46,7 derajat Celsius, Myanmar 45,8 derajat Celsius, angka serupa hadir di Thailand dan Vietnam.

ADVERTISEMENT

Menurut BMKG, sejumlah wilayah Indonesia sebetulnya mengalami suhu panas dengan nilai di atas 36 derajat Celcius, seperti Deli Serdang, Sumatera Utara (37,1 derajat Celsius); Medan Sumatera Utara (36 derajat Celsius); Kapuas Hulu, Kalimantan Barat (36,6 derajat Celsius); Sidoarjo, Jawa Timur (36,6 derajat Celsius); dan Bengkulu sebesar 36,6 derajat Celsius.

Guswanto, Deputi Bidang Meteorologi BMKG, mengatakan meski suhu di beberapa wilayah Indonesia itu cukup tinggi dan panas, namun hal tersebut tidak terkait dengan fenomena gelombang panas yang melanda sejumlah negara Asia.

Menurut Guswanto udara panas yang terjadi di Indonesia belakangan merupakan "fenomena yang bersiklus terjadi setiap tahun sebagai akibat dari adanya gerak semu Matahari dan kondisi cuaca cerah pada siang hari."

Saat dihubungi Indonesia.com beberapa waktu lalu, Guswanto juga mengungkap kalau kenaikan suhu di Indonesia merupakan fenomena cuaca panas terik bukan gelombang panas. Ia menjelaskan Indonesia tidak memenuhi syarat untuk mengalami gelombang panas.

"Itu kemungkinannya kecil [gelombang panas] di Indonesia, karena tidak memenuhi syarat," kata Guswanto saat dihubungi, Kamis (2/5).

Guswanto menyebut syarat yang harus dipenuhi untuk wilayah mengalami gelombang panas adalah suhu rata-rata naik 5 derajat Celsius dan terjadi selama lima hari berturut-turut.

"Gelombang panas itu suhu maksimal harian lebih tinggi dari suhu maksimal rata-rata hingga 5 derajat Celsius, dan paling tidak muncul lima hari secara berturut-turut," jelasnya.

Merujuk World Meteorogical Organization (WMO) istilah gelombang panas merupakan fenomena kondisi suhu udara panas yang berkepanjangan selama lima hari atau lebih secara berturut-turut, dengan suhu maksimum harian lebih tinggi dari suhu maksimum rata-rata hingga 5 derajat Celsius atau lebih.

Fenomena gelombang panas ini umumnya terjadi di wilayah lintang menengah-tinggi seperti wilayah Eropa, Amerika, dan sebagian wilayah Asia.

Secara meteorologis, hal tersebut dapat terjadi karena udara panas yang terperangkap di suatu wilayah dekat permukaan akibat anomali dinamika atmosfer, sehingga aliran udara tidak bergerak dalam skala yang luas, misalnya pada sistem tekanan tinggi skala luas dalam periode cukup lama.

"Kondisi atmosfer tersebut sulit terjadi di wilayah Indonesia yang berada di wilayah ekuator," demikian keterangan BMKG dalam laman resminya.

Peran krisis iklim

Para pakar sepakat kerusakan iklim punya peran besar terhadap fenomena gelombang panas di kawasan Asia. Para ahli menyebut kerusakan iklim memicu cuaca ekstrem, termasuk gelombang panas, lebih sering melanda dan suhu rata-rata dunia makin naik.

Pemicu krisis iklim adalah aktivitas manusia terutama penggunaan berlebih bahan bakar fosil, yakni BBM dan batu bara.

Sebuah studi pada 2017 menyebut bahwa pada akhir abad ini perubahan iklim dapat menyebabkan gelombang panas dengan tingkat panas dan kelembapan yang melebihi batas kemampuan manusia untuk bertahan hidup tanpa perlindungan.

Tanpa upaya signifikan untuk mengurangi emisi karbon, studi tersebut menyebut gelombang panas yang mematikan ini dapat mulai terjadi hanya dalam beberapa dekade mendatang dan melanda wilayah India, Pakistan, dan Bangladesh, termasuk daerah aliran sungai Indus dan Gangga yang subur dan menghasilkan sebagian besar pasokan makanan di wilayah tersebut.

Penelitian ini meneruskan laporan sebelumnya yang mengamati proyeksi gelombang panas di wilayah Teluk Persia.

Meski gelombang panas yang diproyeksikan untuk wilayah tersebut lebih buruk daripada di Asia Selatan, Eltahir mengatakan dampaknya di wilayah Asia Selatan bisa jauh lebih parah. Hal ini dikarenakan wilayah Teluk Persia memiliki populasi yang relatif kecil, relatif kaya, dan lahan pertanian yang sedikit.

Melansir situs Massachussets Institute of Technologi (MIT), wilayah yang kemungkinan akan terkena dampak paling parah adalah India utara, Bangladesh, dan Pakistan selatan yang menjadi rumah bagi 1,5 miliar orang. Daerah-daerah ini juga termasuk yang termiskin di kawasan ini, dengan sebagian besar penduduknya bergantung pada pertanian subsisten yang membutuhkan kerja selama berjam-jam di tempat terbuka dan tidak terlindung dari sinar matahari.

Studi tersebut memproyeksikan bahwa Teluk Persia akan menjadi wilayah dengan gelombang panas terburuk di planet ini, disusul India bagian utara pada urutan kedua, dan China bagian timur yang juga berpenduduk padat pada urutan ketiga.

[Gambas:Video CNN]



(tim/dmi)


[Gambas:Video CNN]

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat