yoldash.net

Mempertanyakan Keseriusan KPK Tangkap Harun Masiku - Halaman 2

Penanganan kasus dugaan suap yang mejerat mantan caleg PDIP Harun Masiku dipertanyakan lantaran dinilai banyak kejanggalan dan memakan waktu yang sangat lama.
Penanganan kasus dugaan suap yang mejerat mantan caleg PDIP Harun Masiku dipertanyakan lantaran banyak kejanggalan dan memakan waktu yang sangat lama. (CNN Indonesia/Adi Ibrahim)

KPK menjelaskan pemeriksaan terhadap pengacara, mahasiswa, hingga Sekjen PDIP baru-baru ini menindaklanjuti informasi perihal keberadaan Harun Masiku.

"Sebagaimana yang sering kami sampaikan bahwa kami tidak pernah berhenti untuk mencari DPO. Ketika ada informasi baru yang kemudian masuk ke KPK pasti kemudian kami dalami lebih lanjut. Termasuk ketika mengetahui dugaan keberadaan dari DPO Harun Masiku ini, maka kami panggil orang-orang itu dengan kemudian dikonfirmasi dan didalami ada pihak tertentu yang sebenarnya tahu tapi kemudian tidak menyampaikan informasi dimaksud," ujar Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri di Kantornya, Jakarta, Selasa (4/6) lalu.

KPK menegaskan tidak ada tekanan ataupun intervensi politik dalam penanganan kasus Harun Masiku.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sama sekali tidak ada (tekanan). Setidaknya saya enggak pernah dihubungi oleh pihak mana pun," tambah Alex Marwata, Rabu (12/6).

Latar belakang kasus

KPK membongkar kasus suap PAW Anggota DPR RI 2019-2024 lewat OTT pada awal Januari 2020 silam. Tim KPK menangkap Anggota KPU periode 2017-2022 Wahyu Setiawan dan tujuh pihak lainnya.

ADVERTISEMENT

KPK pun lantas menetapkan empat orang sebagai tersangka.

Selaku penerima suap adalah Wahyu Setiawan dan Agustiani Tio Fridelina yang juga orang kepercayaannya. Kemudian sebagai pemberi suap adalah Harun Masiku dan Saeful Bahri.

Wahyu menerima suap terkait penetapan anggota DPR terpilih 2024 dari fraksi PDIP. Caleg PDIP terpilih dalam Pemilu 2019, Nazarudin Kiemas, meninggal sehingga harus dicari penggantinya di kursi legislatif.

Pada awal Juli 2019, salah satu pengurus DPP PDIP memerintahkan seseorang bernama Donny Istiqomah mengajukan gugatan uji materi Pasal 54 Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara.

Pengajuan gugatan materi ini terkait dengan meninggalnya Caleg Terpilih dari PDIP atas nama Nazarudin Kiemas pada Maret 2019.

Gugatan tersebut kemudian dikabulkan Mahkamah Agung pada 19 Juli 2019. Pada putusannya, MA menetapkan partai adalah penentu suara dan PAW.

PDIP lalu mengirim surat ke KPU guna menetapkan Harun Masiku sebagai pengganti Nazarudin Kiemas yang sudah wafat.

Akan tetapi, lewat Rapat Pleno 31 Agustus 2019, KPU justru menetapkan Riezky Aprilia sebagai pengganti mendiang Nazarudin Kiemas.

Untuk mendorong Harun sebagai PAW, Saeful Bahri menghubungi orang kepercayaannya yang juga mantan anggota Bawaslu, Agustiani Tio Fridelina, guna melakukan lobi. Agustiani pun menjalin komunikasi dengan Wahyu. Wahyu menyanggupi membantu, dan meminta dana operasional Rp900 juta. Pemberian uang dilakukan dua kali.

Pemberian uang tersebut terjadi pada pertengahan dan akhir Desember 2019. Pada pemberian pertama, salah satu sumber dana memberikan Rp400 juta untuk Wahyu melalui Agustiani, Donny, dan Saeful. Kemudian Wahyu menerima uang lagi dari Agustiani sebesar Rp200 juta di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan.

Lalu, pada akhir Desember 2019, Harun Masiku memberikan uang kepada Saeful sebesar Rp850 juta lewat salah seorang staf di DPP PDIP. Saeful memberikan uang Rp150 juta kepada Donny. Kemudian, sisanya Rp700 juta yang masih di Saeful dibagi menjadi Rp450 juta pada Agustiani, di mana Rp250 juta untuk operasional.

Dari Rp450 juta yang diterima Agustiani, sejumlah Rp400 juta merupakan uang yang ditujukan untuk Wahyu. Uang tersebut dalam bentuk dolar Singapura.

Pada 7 Januari 2020, Rapat Pleno KPU menolak permohonan PDIP untuk menetapkan Harun Masiku sebagai PAW, dan tetap pada keputusan awal. Wahyu lantas menghubungi Donny dengan menyampaikan telah menerima uang dan akan mengupayakan Harun Masiku menjadi PAW.

Selanjutnya, pada 8 Januari 2020, Wahyu meminta sebagian uangnya di Agustiani. Pada saat itulah, tim KPK melakukan OTT.

Pada Juni 2021, Wahyu Setiawan dijebloskan KPK ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kedungpane, Semarang, Jawa Tengah.

Wahyu harus menjalani pidana badan selama tujuh tahun penjara sebagaimana putusan MA Nomor: 1857 K/Pid.Sus/2021 jo putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor: 37/Pid.Sus-TPK/2020/PT DKI jo putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 28/Pid.Sus-TPK/2020/PN.Jkt.Pst tanggal 24 Agustus 2020.

Dalam putusan di tingkat kasasi, Wahyu turut dihukum membayar pidana denda sebesar Rp200 juta subsider enam bulan kurungan. Hak politik Wahyu juga dicabut selama lima tahun.

Wahyu dinilai terbukti melakukan korupsi secara bersama-sama dan berlanjut dengan orang kepercayaannya, Agustiani Tio Fridelina, dengan menerima uang senilai total Rp600 juta terkait PAW anggota DPR RI periode 2019-2024.

Ia juga terbukti menerima Rp500 juta dari Sekretaris KPU Provinsi Papua Barat, Rosa Muhammad Thamrin Payapo, terkait dengan pemilihan Calon Anggota KPU Daerah Provinsi Papua Barat periode tahun 2020-2025.

Sejak 6 Oktober 2023, Wahyu sudah bebas bersyarat. Ia telah diperiksa KPK lagi sebagai saksi pada Kamis, 28 Desember 2023.

Sementara itu, pada Kamis, 2 Juli 2020, jaksa eksekutor KPK Rusdi Amin menjebloskan Saeful Bahri ke Lapas Kelas IA Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Berdasarkan putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 18/Pid. Sus-Tpk/2020/PN. Jkt. Pst tanggal 28 Mei 2020, Saeful divonis dengan pidana 1 tahun 8 bulan penjara dan denda Rp150 juta subsider empat bulan kurungan.

Sedangkan Agustiani divonis dengan pidana empat tahun penjara dan denda Rp150 juta subsider empat bulan kurungan.

(ryn/isn)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat