APNI Tanggapi 2 Raksasa Eropa Batalkan Investasi Smelter Nikel Rp42 T
Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) tak terganggu dengan batalnya rencana investasi dua perusahaan raksasa Eropa di sektor hilirisasi nikel Tanah Air.
Mereka adalah BASF dan Eramet. Keduanya semula direncanakan membangun smelter nikel senilai US$2,6 miliar atau setara Rp42,66 triliun (asumsi kurs Rp15.408 per dolar AS).
"Untuk membangun ekosistem baterai, kita sudah siap. Kita sudah siap juga membangun electric vehicle (EV) cars, walaupun BASF dan Eramet mundur, ndak ada apa-apanya!" tegas Dewan Penasihat APNI Djoko Widajatno dalam Diskusi Transisi Bersih di Oria Hotel, Jakarta Pusat, Kamis (27/6).
"Kalau kita lihat pasar nikel kita, gak ke sana (Eropa). Pasar nikel kita ke China, Jepang, Asia Timur. Dengan dua perusahaan Eropa itu jangan terlalu anu lah, kan kita gak mimpi naik Mercedes kan? Siapa yang mimpi naik Mercedes, Ferrari, Lamborghini, atau pakai tas yang namanya Aigner? Enggak kan?" sambungnya sembari berkelakar.
Selain menyinggung batalnya investasi dua perusahaan Eropa tersebut, Djoko menegaskan soal keberadaan cadangan nikel Indonesia yang masih melimpah. Ia membantah klaim sejumlah pihak bahwa umur nikel Indonesia hanya tinggal 6 tahun.
Menurutnya, cadangan nikel Indonesia masih cukup banyak. Djoko menekankan bahan mentah ini tersebar di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, hingga Papua.
"Nilai cadangan (nikel) ini berubah-berubah karena metallogenesis kita panjangnya 15 ribu km, tapi baru dieksplorasi 7.000 km. Jadi, masih ada daerah yang diharapkan," jelasnya.
"Jangan takut orang cerita (cadangan) nikel kita tinggal 6 tahun. (Itu) Kalau tidak eksplorasi, kalau eksplorasi masih bisa kita tambah dua kalinya," tegas Djoko.
Lihat Juga : |
Di lain sisi, ia membantah klaim banjir tenaga kerja asing (TKA) China yang dipekerjakan pada fasilitas pemurnian nikel di Indonesia. APNI mencatat ada 308.107 warga lokal yang sudah dipekerjakan. Walau, Djoko mengakui jumlah tersebut masih tergolong sedikit.
"Kemudian, tenaga asingnya 2.074 (orang). Yang dihebohkan di Morowali (Sulawesi Tengah) banyak (TKA) China, ternyata pribuminya lebih tinggi daripada China," ungkap Djoko.
"Saya punya datanya dan kita harus melihat bahwa anak-anak kita yang di sana dididik di China dan sudah bisa bahasa China. Mudah-mudahan bisa mencuri teknologi China, dan memperbaiki, untuk ditiru dan dibuat di sini," tutupnya.
Terlepas dari itu, kabar batalnya investasi BASF dan Eramet diklaim murni sebagai keputusan bisnis. Pemerintah Indonesia mengklaim keputusan ini ditempuh kedua perusahaan tersebut usai melalui berbagai evaluasi.
Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM Nurul Ichwan menegaskan hal ini tak menurunkan minat investor asing untuk menanamkan modalnya di sektor hilirisasi tanah air.
"Kami dari awal terus mengawal rencana investasi ini. Namun, pada perjalanannya, perusahaan beralih fokus, sehingga pada akhirnya mengeluarkan keputusan bisnis membatalkan rencana investasi proyek Sonic Bay ini," kata Nurul dalam keterangan resmi.
BASF dan Eramet disebut tak jadi meneruskan rencana investasi atas pertimbangan perubahan kondisi pasar nikel yang signifikan. Khususnya, pada pilihan nikel yang menjadi suplai bahan baku baterai kendaraan listrik.
(skt/pta)