yoldash.net

Surat Al Baqarah Ayat 275: Arab, Latin, Terjemahan, dan Tafsir

Al Baqarah ayat 275 adalah surat tentang riba. Berikut tulisan surat Al Baqarah ayat 275 dalam Arab, Latin, terjemahan, dan tafsirnya.
Ilustrasi. Surat Al Baqarah ayat 275 dalam Arab, Latin, terjemahan, dan tafsir (iStock/mgstudyo)

Jakarta, Indonesia --

Al Baqarah ayat 275 adalah surat yang menjelaskan mengenai larangan riba. Dalam Islam, riba merupakan perbuatan dosa yang dilarang oleh Allah Swt.

Definisi riba adalah penambahan yang diambil tanpa adanya transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan oleh syariah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Praktik riba menyalahi salah satu asas hukum perdata Islam berdasarkan larangan merugikan diri sendiri dan orang lain, seperti dikutip dari buku Hukum Islam 2018.

Riba juga dapat membuat para rentenir menaikkan bunga pinjaman yang jauh lebih besar daripada pokok pinjaman itu sendiri. Allah Swt melaknat pada pelaku riba sebagaimana disebutkan dari sabda Rasulullah Saw.

ADVERTISEMENT

"Allah melaknat orang yang memakan (pemakai) riba, orang yang memberi riba, dua orang saksi dan pencatat (Dalam transaksi riba), mereka sama saja," (HR Muslim dan Ahmad).

Bunyi Surat Al Baqarah Ayat 275

Dilansir dari situs Quran Kementerian Agama (Kemenag), berikut bacaan Surat Al Baqarah ayat 275 dalam Arab, Latin, dan terjemahannya.

اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ فَمَنْ جَاۤءَهٗ مَوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّهٖ فَانْتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَۗ وَاَمْرُهٗٓ اِلَى اللّٰهِ ۗ وَمَنْ عَادَ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ

Allażīna ya'kulūnar-ribā lā yaqūmūna illā kamā yaqūmul-lażī yatakhabbaṭuhusy-syaiṭānu minal-mass(i), żālika bi'annahum qālū innamal-bai'u miṡlur-ribā, wa aḥallallāhul-bai'a wa ḥarramar-ribā, faman jā'ahū mau'iẓatum mir rabbihī fantahā falahū mā salaf(a), wa amruhū ilallāh(i), wa man 'āda fa ulā'ika aṣḥābun-nār(i), hum fīhā khālidūn(a).

Artinya: Orang-orang yang memakan (bertransaksi dengan) riba tidak dapat berdiri, kecuali seperti orang yang berdiri sempoyongan karena kesurupan setan. Demikian itu terjadi karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba.

Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Siapa pun yang telah sampai kepadanya peringatan dari Tuhannya (menyangkut riba), lalu dia berhenti sehingga apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Siapa yang mengulangi (transaksi riba), mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 275

Berikut dua tafsir Surat Al Baqarah ayat 275.

1. Kementerian Agama

Orang-orang yang memakan riba yakni melakukan transaksi riba dengan mengambil atau menerima kelebihan di atas modal dari orang yang butuh dengan mengeksploitasi atau memanfaatkan kebutuhannya, tidak dapat berdiri, yakni melakukan aktivitas, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila.

Mereka hidup dalam kegelisahan; tidak tenteram jiwanya, selalu bingung, dan berada dalam ketidakpastian, sebab pikiran dan hati mereka selalu tertuju pada materi dan penambahannya.

Itu yang akan mereka alami di dunia, sedangkan di akhirat mereka akan dibangkitkan dari kubur dalam keadaan sempoyongan, tidak tahu arah yang akan mereka tuju dan akan mendapat azab yang pedih.

Yang demikian itu karena mereka berkata dengan bodohnya bahwa jual beli sama dengan riba dengan logika bahwa keduanya sama-sama menghasilkan keuntungan.

Mereka beranggapan seperti itu, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Substansi keduanya berbeda, sebab jual beli menguntungkan kedua belah pihak (pembeli dan penjual), sedangkan riba sangat merugikan salah satu pihak.

Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, setelah sebelumnya dia melakukan transaksi riba, lalu dia berhenti dan tidak melakukannya lagi, maka apa yang telah diperolehnya dahulu sebelum datang larangan menjadi miliknya, yakni riba yang sudah diambil atau diterima sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan, dan urusannya kembali kepada Allah.

Barang siapa mengulangi transaksi riba setelah peringatan itu datang maka mereka itu penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya.

2. Tafsir Tahlili

Terdapat dua macam riba yang dikenal, yaitu riba nasī'ah dan riba faḍal. Riba nasī'ah ialah tambahan pembayaran utang yang diberikan oleh pihak yang berutang, karena adanya permintaan penundaan pembayaran pihak yang berutang.

Tambahan pembayaran itu diminta oleh pihak yang berpiutang setiap kali yang berutang meminta penundaan pembayaran utangnya. Contoh: A berutang kepada B sebanyak Rp1.000 dan akan dikembalikan setelah habis masa sebulan.

Setelah habis masa sebulan, A belum sanggup membayar utangnya karena itu A meminta kepada B agar bersedia menerima penundaan pembayaran.

B bersedia menunda waktu pembayaran dengan syarat A menambah pembayaran sehingga menjadi Rp1.300,- Tambahan pembayaran dengan penundaan waktu serupa ini disebut riba nasī'ah.

Tambahan pembayaran ini mungkin berkali-kali dilakukan karena pihak yang berutang selalu meminta penundaan pembayaran sehingga akhirnya A tidak sanggup lagi membayarnya, bahkan kadang-kadang dirinya sendiri terpaksa dijual untuk membayar utangnya.

Inilah yang dimaksud dengan firman Allah:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوا الرِّبٰوٓا اَضْعَافًا مُّضٰعَفَةً ۖوَّاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَۚ ١٣٠ (اٰل عمران)

Artinya: Hai orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah, agar kamu mendapat keberuntungan. (Āli 'Imrān/3:130).

Riba nasī'ah seperti yang disebutkan di atas banyak berlaku di kalangan orang Arab jahiliah. Inilah riba yang dimaksud Al Quran.

Bila dipelajari dan diikuti sistem riba dalam ayat ini dan yang berlaku di masa jahiliah, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

  1. Sistem bunga merupakan sistem yang menguntungkan bagi yang meminjamkan dan sangat merugikan si peminjam. Bahkan ada kalanya si peminjam terpaksa menjual dirinya untuk dijadikan budak agar dia dapat melunasi pinjamannya.
  2. Perbuatan itu pada zaman jahiliah termasuk usaha untuk mencari kekayaan dan untuk menumpuk harta bagi yang meminjamkan.

Menurut Umar Ibnu Khaṭṭab, ayat Al Quran tentang riba, termasuk ayat yang terakhir diturunkan. Sampai Rasulullah wafat tanpa menerangkan apa yang dimaksud dengan riba.

Maka tetaplah riba dalam pengertian yang umum, seperti sistem bunga yang diberlakukan orang Arab pada zaman jahiliah.

Keterangan Umar ini berarti bahwa Rasulullah sengaja tidak menerangkan apa yang dimaksud dengan riba karena orang-orang Arab telah mengetahui benar apa yang dimaksud dengan riba.

Bila disebut riba kepada mereka, maka di dalam pikiran mereka telah ada pengertian yang jelas dan pengertian itu telah mereka sepakati maksudnya. Pengertian mereka tentang riba ialah riba nasī'ah.

Dengan perkataan lain bahwa sebenarnya Al Quran telah menjelaskan dan menerangkan apa yang dimaksud dengan riba. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw mengenai dua peninggalannya yang harus ditaati:

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدِي كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ رَسُوْلِهِ (رواه ابن ماجه)

Artinya: Aku telah meninggalkan padamu dua hal, yang kalau kamu berpegang teguh dengannya, kamu tidak akan sesat sepeninggalku ialah Kitabullah dan Sunah Rasul. (Riwayat Ibnu Mājah)

Agama yang dibawa Nabi Muhammad Saw adalah agama yang telah sempurna dan lengkap diterima beliau dari Allah, tidak ada yang belum diturunkan kepada beliau.

اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ

Artinya: Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu.... (al-Mā'idah/5:3)

Riba faḍal yaitu menjual sejenis barang dengan jenis barang yang sama dengan ketentuan memberi tambahan sebagai imbalan bagi jenis yang baik mutunya, seperti menjual emas 20 karat dengan emas 24 karat dengan tambahan emas 1 gram sebagai imbalan bagi emas 24 karat.

Riba faḍal ini diharamkan juga. Dasar hukum haramnya riba faḍal ialah sabda Rasulullah saw:

لاَ تَبِيْعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةَ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرَّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيْرَ بِالشَّعِيْرِ وَالتَّمَرَ بِالتَّمَرِ وَالْمِلْحَ بِالْمِلْحِ إِلاَّ مِثْلاً بِمثْلٍ فَمَنْ زَادَ اَوِ ازْدَادَ فَقَدْ أَرْبىَ (رواه البخاري وأحمد)

Artinya: Janganlah kamu jual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya'ir (padi ladang) dengan sya'ir, tamar dengan tamar (kurma), garam dengan garam, kecuali sama jenis dan kadarnya dan sama-sama tunai. Barang siapa yang menambah atau meminta tambah, maka sesungguhnya dia telah melakukan riba. (Riwayat al-Bukhārī dan Aḥmad)

Sama jenis dan kadarnya dan sama-sama tunai maksudnya ialah jangan merugikan salah satu pihak dari 2 orang yang melakukan barter.

Ayat di atas menerangkan akibat yang akan dialami oleh orang yang makan riba, yaitu jiwa dan hati mereka tidak tenteram, pikiran mereka tidak menentu. Keadaan mereka seperti orang yang kemasukan setan atau seperti orang gila.

Orang Arab jahiliah percaya bahwa setan dapat mempengaruhi jiwa manusia, demikian pula jin. Bila setan atau jin telah mempengaruhi jiwa seseorang, maka ia seperti orang kesurupan.

Al Quran menyerupakan pengaruh riba pada seseorang yang melakukannya, dengan pengaruh setan yang telah masuk ke dalam jiwa seseorang menurut kepercayaan orang Arab jahiliah.

Maksud perumpamaan pada ayat ini untuk memudahkan pemahaman, bukan untuk menerangkan bahwa Al Quran menganut kepercayaan seperti kepercayaan orang Arab jahiliah.

Menurut jumhur mufasir, ayat ini menerangkan keadaan pemakan riba waktu dibangkitkan pada hari kiamat, yaitu seperti orang yang kemasukan setan. Pendapat ini mengikuti pendapat Ibnu 'Abbās dan Ibnu Mas'ud. Juga berdasarkan sabda Rasulullah saw:

إِيَّاكَ وَالذُّنُوْبَ الَّتِي لاَ تُغْفَرُ: اَلْغُلُوْلُ، فَمَنْ غَلَّ شَيْئاً أَتَى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَاَكِلُ الرِّبَا، فَمَنْ اَكَلَ الرِّبَا بُعِثَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَجْنُوْنًا يَتَخَبَّطُ (رواه الطبراني عن عوف بن مالك)

Artinya: Jauhilah olehmu dosa yang tidak diampuni, yaitu: gulul (ialah menyembunyikan harta rampasan dalam peperangan dan lainnya), maka barang siapa melakukan gulul, nanti barang yang disembunyikan itu akan dibawanya pada hari kiamat. Dan pemakan riba, barang siapa yang memakan riba, dia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan gila, lagi kemasukan (setan). (Riwayat aṭ-Ṭabrānī dari 'Auf bin Mālik)

Dalam kenyataan yang terdapat di dalam kehidupan manusia di dunia ini, banyak pemakan riba kehidupannya benar-benar tidak tenang, selalu gelisah, tak ubahnya bagai orang yang kemasukan setan.

Para mufasir berpendapat, bahwa ayat ini menggambarkan keadaan pemakan riba di dunia. Pendapat ini dapat dikompromikan dengan pendapat pertama, yaitu keadaan mereka nanti di akhirat sama dengan keadaan mereka di dunia, tidak ada ketenteraman bagi mereka.

Dari kelanjutan ayat dapat dipahami, bahwa keadaan pemakan riba itu sedemikian rupa sehingga mereka tidak dapat lagi membedakan antara yang halal dan yang haram, antara yang bermanfaat dengan mudarat, antara yang dibolehkan Allah dengan yang dilarang sehingga mereka mengatakan jual beli itu sama dengan riba.

Selanjutnya Allah menegaskan bahwa Dia menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Allah tidak menerangkan sebabnya.

Allah tidak menerangkan hal itu agar mudah dipahami oleh pemakan riba, sebab mereka sendiri telah mengetahui, mengalami, dan merasakan akibat riba itu.

Dari penegasan itu dipahami bahwa seakan-akan Allah memberikan suatu perbandingan antara jual-beli dengan riba. Hendaklah manusia mengetahui, memikirkan dan memahami perbandingan itu.

Pada jual-beli ada pertukaran dan penggantian yang seimbang yang dilakukan oleh pihak penjual dengan pihak pembeli, ada manfaat dan keuntungan yang diperoleh dari kedua belah pihak, dan ada pula kemungkinan mendapat keuntungan yang wajar sesuai dengan usaha yang telah dilakukan oleh mereka.

Pada riba tidak ada penukaran dan penggantian yang seimbang. Hanya ada semacam pemerasan yang tidak langsung, yang dilakukan oleh pihak yang mempunyai barang terhadap pihak yang sedang memerlukan, yang meminjam dalam keadaan terpaksa.

Setelah Allah menerangkan akibat yang dialami oleh pemakan riba, perkataan yang diucapkan oleh pemakan riba, pikiran yang sedang mempengaruhi keadaan pemakan riba, dan penegasan Allah tentang hukum jual beli dan riba, maka Allah mengajak para pemakan riba dengan ajakan yang lemah lembut, yang langsung meresap ke dalam hati nurani mereka, sebagaimana lanjutan ayat di atas.

Allah Swt menyebut larangan tentang riba itu dengan cara mau'iẓah (pengajaran), maksudnya larangan memakan riba adalah larangan yang bertujuan untuk kebaikan manusia itu sendiri, agar hidup bahagia di dunia dan akhirat, hidup dalam lingkungan rasa cinta dan kasih sesama manusia dan hidup penuh ketenteraman dan kedamaian.

Barang siapa memahami larangan Allah tersebut dan mematuhi larangan tersebut, hendaklah dia menghentikan perbuatan riba itu dengan segera. Mereka tidak dihukum Allah terhadap perbuatan yang mereka lakukan sebelum ayat ini diturunkan. Mereka tidak diwajibkan mengembalikan riba pada waktu ayat ini diturunkan.

Mereka boleh mengambil pokok pinjaman mereka saja, tanpa bunga yang mereka setujui sebelumnya. Dalam ayat ini terkandung suatu pelajaran yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan undang-undang, peraturan atau hukum,

Suatu undang-undang, peraturan atau hukum yang akan ditetapkan tidak boleh berlaku surut jika berakibat merugikan pihak-pihak yang dikenai atau yang dibebani undang-undang, peraturan atau hukum itu, sebaliknya boleh berlaku surut bila menguntungkan pihak-pihak yang dikenai atau dibebani olehnya.

Akhir ayat ini menegaskan bahwa orang-orang yang telah melakukan riba, dan orang-orang yang telah berhenti melakukan riba, kemudian mengerjakannya kembali setelah turunnya larangan ini, mereka termasuk penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.

Menurut sebagian mufasir, dosa besar yang ditimpakan kepada pemakan riba ini disebabkan karena di dalam hati pemakannya itu telah tertanam rasa cinta harta, lebih mengutamakan kepentingan diri sendiri, mengerjakan sesuatu karena kepentingan diri sendiri bukan karena Allah.

Orang yang demikian adalah orang yang tidak mungkin tumbuh dalam jiwanya iman yang sebenarnya, yaitu iman yang didasarkan pada perasaan, pengakuan dan ketundukan kepada Allah.

Seandainya pemakan riba yang demikian masih mengaku beriman kepada Allah, maka imannya itu adalah iman di bibir saja, iman yang sangat tipis dan tidak sampai ke dalam lubuk hati sanubarinya.

Hasan al-Basri berkata, "Iman itu bukanlah perhiasan mulut dan angan-angan kosong, tetapi iman itu adalah ikrar yang kuat di dalam hati dan dibuktikan oleh amal perbuatan.

Barang siapa yang mengatakan kebaikan dengan lidahnya, sedang perbuatannya tidak pantas, Allah menolak pengakuannya itu. Barang siapa mengatakan kebaikan sedangkan perbuatannya baik pula, amalnya itu akan mengangkat derajatnya,"

Rasulullah saw bersabda:

إِنَّ الله َلاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلٰكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَ أَعْمَالِكُمْ (رواه مسلم و أحمد)

Artinya: Allah tidak memandang kepada bentuk jasmani dan harta bendamu, akan tetapi Allah memandang kepada hati dan amalmu. (Riwayat Muslim dan Aḥmad)

Demikian bacaan surat Al Baqarah ayat 275 dalam Arab dan Latin, serta dilengkapi dengan terjemahan dan tafsirnya. Semoga bermanfaat.

(juh/juh)

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat