yoldash.net

Cara Menentukan Lebaran Versi Muhammadiyah, Mengapa Berbeda?

Muhammadiyah menyelenggarakan Idulfitri pada Jumat (21/4), atau satu hari lebih dahulu daripada versi Pemerintah. Mengapa demikian?
Ilustrasi Salat Id. Muhammadiyah akan berlebaran pada Jumat (21/4). (CNN Indonesia/ Adhi Wicaksono)

Jakarta, Indonesia --

Muhammadiyah punya metode sendiri dalam menentukan saat Ramadan dan Idulfitri. Simak penjelasannya berikut ini.

Sebelumnya, Muhammadiyah akan menyelenggarakan Idulfitri atau Lebaran 2023 pada Jumat (21/4). Hal itu berbeda dengan ketetapan Pemerintah yang menetapkan Idulfitri jatuh pada Sabtu (22/4).

Perbedaan penyelenggaraan Idulfitri itu membuat para pengikut Muhammadiyah akan menyelenggarakan Salat Id pada Jumat (21/4). Namun di Pekalongan dan Sukabumi, penyelenggaraan Salat Id oleh Muhammadiyah di lapangan sempat mendapatkan penolakan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lihat Juga :

Di Pekalongan, Jawa Tengah, izin untuk menggunakan Lapangan Mataram ditolak. Selain itu, di Sukabumi, Jawa Barat, izin untuk menggunakan Lapangan Merdeka juga ditolak pemerintah setempat.

ADVERTISEMENT

Wali Kota Pekalongan Afzan Arslan Djunaid mengatakan pihaknya masih menunggu pengumuman dari pemerintah pusat mengenai tanggal perayaan Idulfitri 1444 Hijriah.

Sementara itu, Wali Kota Sukabumi Achmad Fahmi menolak memberi izin Lapangan Merdeka digunakan salat Idulfitri pada 21 April 2023 lewat surat bernomor HK.09.01/598/1/10/HKM/2023 yang ditandatanganinya pada 4 April 2023.

Dalam surat itu, Achmad beralasan pelaksanaan Salat ld di Lapang Merdeka akan dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kota Sukabumi mengikuti hasil ketetapan Kementrian Agama tentang penentuan 1 Syawal 1444 H.

Belakangan, kedua daerah tersebut telah mengubah keputusannya. Muhammadiyah menyatakan telah mendapatkan izin dari Wali Kota Pekalongan Afzan Arslan Djunaid dan Wali Kota Sukabumi Achmad Fahmi untuk memakai Lapangan Mataram Pekalongan dan Lapang Merdeka Sukabumi untuk Salat Idulfitri pada Jumat (21/4) mendatang.

Gunakan Kriteria Wujudul Hilal

Dalam menentukan awal Ramadan dan Syawal, Muhammadiyah menggunakan metode hisab hakiki wujudul hilal.

Mengutip dari situs resminya, Muhammadiyah "mengacu pada gerak faktual Bulan di langit sehingga bermula dan berakhirnya bulan kamariah berdasarkan pada kedudukan atau perjalanan Bulan benda langit tersebut. Inilah yang dinamakan dengan hisab hakiki"

Muhammadiyah menggunakan metode tersebut karena perhitungan yang dilakukan terhadap peredaran Bulan dan Matahari menurut hisab ini harus "sebenar-benarnya dan setepat-tepatnya berdasarkan kondisi Bulan dan Matahari pada saat itu"

Kriteria hisab hakiki yang digunakan Muhammadiyah adalah wujudul hilal. Dalam kriteria tersebut, Matahari terbenam lebih dahulu daripada Bulan meskipun hanya berjarak satu menit atau kurang.

Muhammadiyah mendasarkan ide tersebut dari para "pakar falak Muhammadiyah Wardan Diponingrat yang tidak hanya dipahami berdasarkan pada QS. Yasin ayat 39-40, melainkan juga menggunakan perangkat lain seperti hadis dan konsep fikih lainnya serta dibantu ilmu astronomi"

Hisab hakiki wujudul hilal sendiri memiliki beberapa syarat. Hal itu tertuang dalam buku Pedoman Hisab Muhammadiyah yang menjelaskan, bulan kamariah baru dimulai apabila pada hari ke-29 berjalan saat Matahari terbenam terpenuhi tiga syarat secara kumulatif yakni: (1) telah terjadi ijtimak, (2) ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam, dan (3) pada saat matahari terbenam Bulan (piringan atasnya) masih di atas ufuk.

"Apabila salah satu dari kriteria tersebut tidak dipenuhi, maka bulan berjalan digenapkan tiga puluh hari dan bulan baru dimulai lusa,"

Bagi Muhammadiyah, ufuk menjadi garis penentu munculnya Bulan baru. Jika saat terbenam Matahari, Bulan telah mendahului Matahari dalam gerak mereka dari barat ke timur, artinya saat Matahari terbenam Bulan berada di atas ufuk "maka itu menandai dimulainya bulan kamariah baru"

Namun apabila Bulan belum dapat mendahului Matahari saat gurub (Bulan berada di bawah ufuk saat Matahari tenggelam) "maka bulan kamariah baru belum mulai; malam itu dan keesokan harinya masih merupakan hari dari bulan kamariah berjalan"

Muhammadiyah juga memaparkan alasan menolak hisab hakiki dengan kriteria imkanur rukyat. Meskipun, kriteria itu juga mensyaratkan adanya Bulan di atas ufuk saat Matahari tenggelam pada hari konjungsi.

"Jawaban yang mungkin dapat ditelaah karena para ahli hingga saat ini belum sepakat dalam menentukan berapa derajat ketinggian Bulan di atas ufuk untuk dapat dilihat,"

"Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang kemudian diadopsi Kementerian Agama (Kemenag) misalnya menyebut jika tinggi bulan ketika terbenam matahari di seluruh Indonesia di atas dua derajat, maka besok akan menjadi awal bulan baru. Hal ini berbeda dengan lembaga fatwa lain yang meski sama-sama menggunakan kriteria imkanur rukyat namun parameter tinggi bulan berbeda satu sama lain,"

Alhasil, bagi Muhammadiyah, "hisab hakiki dengan kriteria wujudul hilal lebih memberikan kepastian dibandingkan dengan hisab hakiki kriteria imkanur rukyat."

(lth/lth)


[Gambas:Video CNN]

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat