yoldash.net

Ahli Ungkap Potensi Perbedaan Lebaran 2023, Simak Analisisnya

Pakar menjelaskan alasan soal potensi perbedaan Lebaran 2023, terutama, antara Muhammadiyah dan NU.
Pengamatan hilal di Unisba, Bandung, Rabu (22/3). Pakar mengungkap potensi perbedaan Lebaran 2023. (ANTARA FOTO/RAISAN AL FARISI)

Jakarta, Indonesia --

Pakar astronomi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkap potensi perbedaan lebaran 2023 atau idulfitri 1444 H. Hal itu terjadi akibat perbedaan kriteria penentuan awal bulan hijriah.

Sebelumnya, Muhammadiyah sudah jauh-jauh hari menetapkan awal puasa, yakni 22 Maret, dan lebaran idulfitri pada 21 April atau 29 Ramadan 1444 H.

Sementara, Pemerintah dan PBNU serta sejumlah ormas lainnya masih menanti penampakan Bulan baru (hilal) lewat peneropongan langit.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Profesor Riset Astronomi-Astrofisika pada Pusat Riset Antariksa BRIN Thomas Djamaluddin, dikutip dari situs BRIN, pada Maret, mengungkap ada "potensi kesamaan awal Ramadhan" sekaligus "adanya potensi perbedaan terkait Idul Fitri 1444".

ADVERTISEMENT

Di tahun-tahun sebelumnya, awal Ramadhan dan Lebaran memang kerap berbeda antara Pemerintah dengan ormas keagamaan besar, termasuk Muhammadiyah.

Hal ini terkait dengan perbedaan kriteria dalam metode hisab (perhitungan) dan rukyat (pengamatan) bulan baru kamariah (berbasis peredaran Bulan).

Ormas yang didirikan KH Ahmad Dahlan menggunakan kriteria Wujudul Hilal. Sementara, Nahdlatul Ulama (NU) dan beberapa ormas Islam lainnya, termasuk Pemerintah, memakai kriteria Imkan Rukyat (visibilitas hilal).

Awal Ramadhan 2023 bisa sama karena hitungan kalender Muhammadiyah dan hasil pengamatan hilal pemerintah sejalan.

Thomas mengungkap saat waktu maghrib 22 Maret 2023 di Indonesia posisi Bulan sudah memenuhi kriteria awal bulan baru yang disepakati Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS).

Yakni, tinggi minimal hilal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat (disingkat 3-6,4) dan sudah memenuhi kriteria Wujudul Hilal (WH).

"Jadi [awal puasa] seragam," ucap mantan Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) itu.

Sementara, Thomas menyebut ada potensi perbedaan lebaran 2023 karena pada saat maghrib 20 April 2023 ada potensi posisi Bulan di Indonesia belum memenuhi kriteria baru MABIMS (3-6,4) itu.

Meskipun, katanya, itu sudah memenuhi kriteria wujudul hilal.

"Jadi ada potensi perbedaan: Versi [MABIMS] 1 Syawal 1444 pada 22 April 2023, tetapi versi WH 1 Syawal 1444 pada 21 April 2023," urainya.

Alhasil, kata Thomas, sat ditemui di kantornya 16 Maret, menyebut Pemerintah dan NU beserta ormas Islam lain akan menyelenggarakan Idulfitri pada 22 April.

Sementara, Muhammadiyah akan melakukan Idulfitri pada 21 April.

"Menurut kriteria baru MABIMS 20 April belum memenuhi kriteria. 20 April ada gerhana matahari, sedangkan menurut kriteria Wujudul Hilal yang dipedomani Muhammadiyah, itu sudah masuk," jelasnya.

Putaran Bulan

Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Syamsul Anwar mengatakan penentuan awal bulan komariah, termasuk Ramadan, Syawal, dan Zulhijah, yang dilakukan pihaknya tidak berdasarkan pada penampakan Bulan.

Namun, itu berdasarkan pada posisi geometris benda-benda langit, yakni Matahari, Bumi, dan Bulan. "Jadi posisinya, bukan nampak dan tidaknya," ujar Syamsul, di Yogyakarta, Senin (6/2).

Menurutnya, syarat bulan baru adalah sudah terjadi ijtimak. Artinya, Bulan telah mengelilingi Bumi dengan satu putaran sinodis (satu putaran penuh Bulan mengorbit Bumi). Dan itu terjadi sebelum Matahari tenggelam.

Syarat lainnya, kata Syamsul, adalah Bulan masih di atas ufuk ketika Matahari terbenam keesokan harinya.

Ia mengatakan kriteria MABIMS berpotensi menjadikan 20 April sebagai idulfitri karena faktor ketinggian Bulan.

"Sedangkan menurut kriteria Wujudul Hilal [yang dipegang Muhammadiyah] yang tidak berpatokan kepada penampakan, yaitu tidak terlihat dan terlihatnya, maka keesokan harinya sudah memasuki bulan baru," jelas Syamsul.

(tim/kum/arh)

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat