yoldash.net

Apakah Santa Claus itu Nyata?

Sinterklas atau Santa Claus selama ini menjadi dongeng Natal yang kekal buat anak. Bagaimana fakta dan kisah sebenarnya?
Ilustrasi. Sinterklas menjadi salah satu figur abadi yang turut mewarnai Natal. (AFP/Justin Tallis)

Jakarta, Indonesia --

Sosok Sinterklas atau Santa Claus yang lekat dengan Natal ternyata terinspirasi dari kisah nyata dan kepentingan iklan perusahaan besar. Bagaimana cerita sebenarnya dan kenapa masih ada yang percaya? 

Sinterklas merupakan tokoh yang terinspirasi dari Santo (Saint) Nicholas yang merupakan Uskup Myra di sebuah kota Romawi yang kini menjadi Turki. Melansir LiveScience, ia lahir sekitar tahun 270 Masehi dan menjadi uskup sejak berusia muda.

Dia giat membantu orang-orang miskin selama hidupnya. Salah satu kisah yang terkenal adalah saat ia membantu membayar mahar gadis-gadis miskin.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Santo Nicholas juga punya reputasi sebagai pemberi hadiah secara rahasia di sekitar kota tempatnya tinggal. Caranya, menaruh uang koin di sepatu anak-anak yang memang sengaja menempatkannya demi mendapat hadiah.

ADVERTISEMENT

Terkadang, Nicholas melakukannya untuk menukar uang dengan sebuah wortel atau jerami untuk kudanya. Saat melakukan kegiatan-kegiatan itulah, Nicholas menurut legenda memakai jubah uskup berwarna merah dan dibantu seorang anak yatim piatu.

Karena budi baiknya itu, nama Nicholas diabadikan sebagai pembela anak-anak, para pelayar, dan orang Yunani.

Sejumlah arkeolog pun mengungkap lokasi makamnya di kota Demre di Turki. Kota itu dulunya bernama Myra, tempat Santo Nicholas tinggal.

Mengutip ART News, untuk menemukannya, para ahli dari Perlindungan Situs Budaya Provinsi Antalya mencungkil lantai Gereja Santo Nicholas. Dengan bantuan alat elektronik, para ahli lalu menemukan ruang kosong antara lantai dan pondasi gereja tersebut.

Ruang itu semula ditujukan untuk tempat peristirahatan Santo Nicholas. Namun para Crusaders memindahkan tulang-tulang Santo Nicholas ke Bari, Italia, 1087.

Pembentukan citra

Nicholas tetap menjadi figur populer untuk dipuji selama Abad Pertengahan dengan cara mengadakan festival di hari kematiannya yakni pada 6 Desember.

Selain festival, orang-orang juga kerap memberikan hadiah kecil untuk anak-anak dan menaruhnya di sepatu yang dilakukan untuk menghargai Santo Nicholas.

Memasuki Abad ke-16, kebangkitan agama Protestan membuat para santo Katolik terdesak di banyak wilayah. Hal itu berdampak kepada menurunnya popularitas Santo Nicholas.

Hanya di Belanda lah, selebrasi mengingat Santo Nicholas tetap lestari dalam bentuk Sinterklaas. Ia didongengkan merupakan figur yang berjalan dari rumah ke rumah pada malam 5 Desember, dengan memberikan hadiah di sepatu anak-anak sebagai ganti cemilan untuk kudanya.

Dalam tradisi Belanda, Sinterklaas mengenakan jubah uskup berwarna merah, memiliki asisten peri, dan menunggang kudanya melewati atap rumah sebelum turun dari cerobong asap untuk mengantarkan hadiah.

Tradisi tersebut kemudian terbawa ke Amerika Serikat ketika orang-orang Belanda datang ke sana pada Abad ke-17 dan 18. Nama Sinterklaas pun mengalami anglikanisasi menjadi Santa Claus pada 1773.

Dalam sebuah puisi berjudul "A Visit from Saint Nicholas", atau lebih sering disebut "Twas the Night Before Christmas" karya Clement Moore (1822), Sinterklas dibayangkan mengendarai kereta luncur ajaib yang ditarik oleh rusa kutub.

Ia yang membawa sekarung penuh mainan itu digambarkan memiliki perut bundar, "seperti semangkuk penuh agar-agar."

Sebagian besar penggambaran Sinterklas mengikuti citra ini hingga akhir 1800-an.

Namun, legenda Santa Claus yang citranya lekat sampai saat ini lebih dilestarikan berkat sosok di iklan Coca-Cola yang diciptakan Haddon Sundblom pada 1930-an. Ketika itu, ia menerapkan kostum merah Sinterklas yang brewok putih, bersepatu bot kulit; standar ikonik Santa yang dikenali hingga kini.

Pada 2021, dikutip dari The Independent yang mengutip berita media Italia, Uskup Antonio Stagliano dari Keuskupan Roma di Sisilia, Italia, mengatakan selama festival keagamaan bahwa Sinterklas tidak ada. Ia juga menyebut kostum merah Santa dibuat oleh perusahaan Coca-Cola untuk kepentingan iklan.

Lihat Juga :

Mengapa anak-anak percaya?

Meski begitu, figur Sinterklas kemudian dipercaya oleh banyak anak-anak di masa kini. Jacqueline D. Woolley, Profesor dari Department of Psychology di University of Texas mengungkapkan alasannya.

Dalam tulisannya di The Conversation, Jacqueline mengatakan orang tua ikut berperan dalam membuat anak-anak mereka percaya Sinterklas. Sebabnya, mayoritas orang tua kerap mengajak anak mereka menemui tiruan Sinterklas di kehidupan nyata.

"Dalam sebuah studi baru-baru ini kami menemukan bahwa 84 persen orang tua dilaporkan membawa anak mereka mengunjungi lebih dari dua peniru Sinterklas selama musim Natal," tulis Jacqueline.

Orang dewasa juga membantu anak-anak dengan menjejali mereka dengan bukti semisal menaruh lonceng di atap, membuat figur sinterklas di mal, dan wortel yang tergigit separuh pada pagi di hari Natal.

Jacqueline mengatakan pada dasarnya mitos Sinterklas ini bisa membuat anak-anak melatih kemampuan berpikir ilmiah mereka.

Pertama, anak-anak mengevaluasi sumber informasi. Misalnya, anak cenderung lebih percaya orang dewasa ketimbang anak-anak. Kedua, mereka terkadang membutuhkan bukti. Ketiga, anak-anak mulai mengerti hal-hal absurd di sekitar kisah Sinterklas.

"Contohnya adalah bagaimana bisa pria gemuk bisa muat di cerobong asap yang kecil atau bagaimana binatang bisa terbang," tulis Jacqueline.

Lantas apakah hal ini berbahaya untuk anak-anak? Jacqueline mengatakan belum ada bukti dampak negatif dari orangtua yang menjejali anak mereka dengan kisah Sinterklas.

Sebaliknya, memberikan cerita soal Sinterklas bisa jadi mengasah kemampuan berpikir anak. Meskipun, beberapa ahli mengklaim anak akan menjadi tak percaya secara permanen kepada orang tua mereka karena terus dijejali mitos ini.

Lihat Juga :

[Gambas:Video CNN]

(lth/arh)

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat