yoldash.net

Andrian Raturandang: Jago Tenis Indonesia yang 'Dikalahkan' Krismon

Andrian Raturandang pernah menempati posisi nomor satu di Indonesia sampai harus kemudian menghadapi lawan bernama 'krismon'.
Andrian Raturandang mengharumkan nama Indonesia di arena tenis pada era 1990-an. (Dok. Pribadi Andrian Raturandang)

Jakarta, Indonesia --

Tenis selalu menjadi hal yang menyenangkan buat saya, apalagi bisa mengharumkan nama bangsa. Tak hanya membawa nama Andrian Raturandang, tapi juga Indonesia.

Berbicara soal prestasi ketika masih aktif bermain dulu di era 1990-an, tentu capaian bergengsi adalah posisi saya sebagai pemilik ranking 1 di Indonesia pada 1996 sampai 1999-2000.

Itu di level senior ya, sebelumnya di level junior saya pernah menjadi juara dunia double bersama Sebastian Da Costa ketika masih 14 tahun. Pernah juga membawa Indonesia masuk peringkat tujuh besar kejuaraan beregu World Youth Cup 1992, kalau sekarang namanya Fed Cup atau Davis Cup Junior.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saya mulai masuk jajaran petenis nasional di level senior sekitar tahun 1993. Waktu itu saya terpilih masuk ke tim SEA Games dan ikut sumbang medali ketika saya masih 16 tahun.

ADVERTISEMENT

Selanjutnya prestasi yang bisa dibilang oke adalah ketika saya menyumbang poin kemenangan untuk emas beregu putra SEA Games 1997. Waktu itu saya turun sebagai tunggal kedua dan sebenarnya tidak terlalu diharapkan meraih poin, tetapi kenyataannya saya justru harus memenangi laga.

Nomor beregu putra di SEA Games itu kan formatnya best of three yang terdiri dari dua pertandingan tunggal dan satu pertandingan ganda. Suwandi yang turun pada tunggal pertama ditargetkan meraih kemenangan, tetapi dia kalah dari tunggal pertama Thailand. Saya yang tampil di tunggal kedua harus bertemu Paradorn Srichaphan.

Tekanannya dobel itu. Yang pertama saya harus menang melawan Paradorn, karena kalau saya kalah berarti Indonesia kalah. Sedangkan tekanan kedua datang dari penonton yang benar-benar full tumpah ruah di venue lapangan tenis GBK.

Saya bisa menang dan kemudian Bonit Wiryawan/Sulistyo Wibowo yang turun di nomor ganda juga mengalahkan ganda Thailand dan kita jadi juara.

Sebenarnya saya bisa saja meraih emas perseorangan cabor tenis SEA Games 1997, tetapi dalam masa pemulihan ada cara pemijatan yang salah sehingga membuat paha saya terluka, sampai keluar nanah.

Ini bukan alasan ya, tetapi itu memang terjadi dan saya merasa terganggu ketika bermain melawan Paradorn. Jadi di beregu saya mengalahkan Paradorn, tetapi dia mengalahkan saya di perseorangan.

[Gambas:Instagram]

Prestasi lain yang juga menurut saya membanggakan adalah ketika saya bisa juara pertama kali di sebuah turnamen satelite, kalau sekarang istilahnya future.

Ini berkesan karena saya sudah kalah 0-6 di set pertama dan tertinggal 0-3 di set kedua. Penonton yang datang di Senayan sudah mulai mencibir dan itu terdengar sampai ke telinga saya.

"Ah payah, enggak usah main aja lah."

"Udah setop aja, mainnya begini kalah jauh. Nyerah aja."

Tapi yang ada di pikiran saya waktu itu adalah, "Ah masa sih saya kalah?"

Saya kemudian mulai mencoba pelan-pelan dan bisa mengejar hingga membalikkan kedudukan jadi 6-4 di set kedua dan 6-3 di set ketiga.

Satu lagi yang tidak terlupakan buat saya ketika menang di turnamen challenger di Ho Chi Minh, Vietnam. Membanggakan karena itu adalah turnamen di luar negeri dan saya merasa waktu itu benar-benar lagi 'on' sampai bisa juara single dan double.

Sebenarnya ada satu lagi, ketika bisa masuk final Kejuaraan Asia, tapi saya gagal juara hanya jadi runner-up. Biarpun begitu tetap membanggakan karena levelnya Asia.

Prestasi-prestasi yang saya ceritakan di atas terjadi dalam satu tahun yang sama, pada 1997 sebelum krisis moneter alias krismon.

Menurut saya, baik dalam hidup atau dalam tenis, harus ada keberuntungan. Saya tidak mendapatkan keberuntungan itu karena pas saya lagi berkarier ada krismon. Kalau misalnya tidak ada krismon saya bisa pastikan akan ikut tur kejuaraan di luar negeri. Waktu itu saya punya banyak sponsor, tetapi karena krismon semua pihak menarik dukungannya.

Tanpa dukungan sponsor saya mencoba tetap berangkat ikut tur di luar negeri. Tapi itu sangat berat, karena di tenis kalau tur harus punya pendamping setidaknya pelatih teknik dan pelatih fisik atau fisioterapis. Pemain profesional butuh itu dan krismon membuat semua jadi berat dan terasa sekali.

[Gambas:Instagram]

Selain itu juga ada faktor cedera lutut yang saya dapat setelah era krismon yang juga turut mempengaruhi performa.

Setelah krismon saya masih tetap bermain, tapi tidak tur ke luar negeri seperti tahun-tahun sebelumnya, jadi bisa dibilang tidak berada di level yang sama dibanding tahun 1990-an. Masih ikut pertandingan di dalam negeri dan sempat mendapat panggilan kembali memperkuat tim Davis Indonesia.

Saya masih bermain sampai 2013 benar-benar gantung raket untuk tanding dan full jadi coach.

Karier saya di arena tenis tak melulu soal juara dan kemenangan. Ada sebuah momen yang membuat saya benar-benar terpukul. Ini terjadi waktu PON 2004 Palembang.

Ketika itu saya sudah bekerja di sebuah bank, tetapi masih bermain tenis juga. Sebenarnya karier saya di bank cukup bagus, saya sampai level asisten manajer. Tetapi ada sebuah kejadian yang mengganggu pikiran saya.

Sementara di sisi lain, saya juga sudah mulai jarang latihan dan masih terikat 'kontrak' dengan Jawa Barat untuk main di PON. Jadi bisa dibilang saya enggak fokus di pekerjaan dan lapangan.

Pada saat bertanding di PON saya gagal total, kalah dari lawan yang 'enggak-enggak' maksudnya atlet yang di luar perhitungan dan bukan nama besar. Kalau enggak salah perempat final atau semifinal. Kekalahan saya jadi headline, dan tentu membanggakan buat dia. It's my fault dan saya waktu itu istilahnya 'dilepeh' sama Jawa Barat.

Ada cerita-cerita kekalahan lain, tetapi itu yang paling kelam. Bisa dibilang ya saya malu lah dengan kejadian itu.

Hal lain yang juga bisa dibilang karier saya pendek adalah soal 'politik' di tenis. Karena ada rasa tidak suka kepada Papa dan om saya, August Ferry Raturandang, yang merupakan pengurus Pelti, saya kadang jadi korban.

Dulu pernah ada headline saya diskors karena indisipliner, ya itu jadi buntut keputusan karena ada orang yang tidak suka terhadap Papa sebagai pelatih nasional.

Ada kalanya ketika saya masih bermain dan berpeluang masuk tim nasional, tiba-tiba ranking saya yang tadinya di peringkat atas jadi turun dan membuat saya tidak terpilih masuk timnas.

Selain itu saya juga kan orangnya berani speak up, ada yang tidak suka saya. Saya enggak suka tuh istilah ABS (Asal Bapak Senang). Karena faktor itu saya disingkirkan.

Baca lanjutan artikel ini di halaman selanjutnya>>>

Darah Tenis Mengalir Deras sampai Nyaris Bela Singapura

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat