yoldash.net

Politik Kooptasi DPR lewat Revisi UU MK

Lewat revisi UU MK, DPR dinilai ingin mengendalikan MK agar sesuai keinginan mereka, terutama dalam memproses produk UU yang sedang diujimaterikan.
DPR menuai kritik karena secara diam-diam menggelar rapat pembahasan revisi UU MK di masa reses. (ANTARA FOTO/ADITYA PRADANA PUTRA)

Jakarta, Indonesia --

Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) Komisi III DPR diam-diam menggelar rapat pengesahan tingkat satu dan menyepakati revisi UU MK perubahan keempat dibawa ke tingkat dua. Revisi UU MK kini selangkah lagi disahkan menjadi UU.

Sebenarnya, pengesahan revisi UU MK sempat ditunda lantaran menuai penolakan sejumlah pihak. Namun, kini dilanjutkan dengan memuat pasal-pasal yang dianggap problematik. Mulai dari evaluasi hakim oleh lembaga pengusul hingga memasukkan unsur perwakilan lembaga di MKMK.

Sejumlah pertanyaan pun mencuat. Apa urgensi dari revisi UU MK? Mengapa pembahasan dilakukan ketika masa reses? Atau, apa motif pembuat UU memasukkan unsur perwakilan lembaga di MK?

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Anggota Constitutional and Administrative Law Society (CALS) Herdiansyah Hamzah 'Castro' meyakini ada motif terselubung dari revisi UU MK. Terlebih, revisi UU MK ini dibahas secara diam-diam di masa reses.

Herdiansyah berkata memang tidak ada larangan secara eksplisit untuk membahas RUU di masa reses. Namun, bukan berarti hal tersebut diperbolehkan.

"Definisi masa reses itu kan agenda di luar masa sidang, jadi bagaimana mungkin agenda di luar masa sidang tapi justru dijadikan masa pembahasan RUU? Kan, ngaco jalan pikirannya!" kata Herdiansyah kepada Indonesia.com, Rabu (15/5).

Herdiansyah meyakini motif utama revisi UU MK adalah untuk mengkooptasi dan mengendalikan hakim-hakim konstitusi.

Oleh sebab itu, dia tidak tidak heran jika di dalam draf revisi itu diatur mengenai masa jabatan 10 tahun. Lalu, setelah 5 tahun wajib dikembalikan kepada lembaga pengusul untuk dievaluasi dan mendapatkan persetujuan apakah masa jabatan hakimnya bisa dilanjutkan atau tidak.

Soal evaluasi hakim konstitusi ini diatur pada Pasal 23A Ayat 2. 

"Hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat 1, setelah lima tahun menjabat wajib dikembalikan ke lembaga pengusul yang berwenang untuk mendapatkan persetujuan untuk melanjutkan jabatannya," demikian bunyi Ayat 2 Pasal 23A.

Menurut Herdiansyah keinginan DPR mengkooptasi MK bukan tanpa tujuan. Apalagi, MK punya peran strategis dalam menentukan nasib produk legislasi DPR yang masuk meja sidang.

"Upaya kooptasi terhadap MK, agar sejalan dengan selera subjektif lembaga-lembaga pengusulnya, terutama DPR dan Pemerintah," kata dia.

Herdiansyah mengatakan jika RUU ini disahkan, Indonesia mungkin akan menjadi satu-satunya yang memberhentikan hakim di tengah masa jabatan atas dasar persetujuan lembaga pengusul.

"Ini, kan, gila!" ujar Herdiansyah.

Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Bivitri Susanti juga menyoroti Pasal 23A tentang evaluasi hakim MK.

Pasal tersebut adalah pasal sisipan dalam revisi RUU MK. Artinya, pada perubahan sebelumnya atau ketiga, pasal tersebut tidak ada kemudian ditambahkan dalam perubahan keempat atau terbaru.

Menurut Bivitri, aturan evaluasi hakim MK dalam pasal itu melanggar prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman.

Bivitri mengingatkan ada Bangalore Principles of Judicial Conduct, yakni prinsip-prinsip yang disusun oleh para hakim dari beberapa negara dunia sebagai standar kode etik hakim.

Dalam turunan prinsip itu dijelaskan bahwa jabatan hakim adalah independen, tidak bisa dievaluasi atau bahkan diintervensi oleh pihak eksternal.

"Jabatan hakim itu harus fix, enggak boleh dievaluasi oleh lembaga lain. Walaupun itu yang mengusulkan, atau bukan mengusulkan, walaupun lembaga itu yang memilih hakim," ujarnya.

"Karena ketika hakim dipilih, konsepnya pemilihan, bukan perwakilan. Jadi itu udah salah tuh," imbuhnya.

Bivitri juga menyoroti ketentuan penambahan perwakilan baru untuk anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dalam RUU MK perubahan keempat.

Pada UU MK perubahan ketiga, MKMK berjumlah lima orang yang terdiri dari satu orang hakim MK, satu anggota praktisi hukum, dua anggota yang terdiri salah satu atau keduanya merupakan pakar hukum, dan satu orang tokoh masyarakat.

Dalam perubahan keempat, meski masih berjumlah lima orang, anggota MKMK nantinya akan terdiri dari satu hakim MK, satu anggota usulan MK, satu anggota usulan MA, satu anggota usulan DPR, dan satu anggota usulan Presiden.

"Ini pun membuat MKMK itu tidak akan efektif. Karena kalau mau efektif jalan keluarnya bukannya menambahkan pihak-pihak yang dianggap punya andil dalam hal atau dianggap stakeholder MK, harusnya lembaganya independen lembaga pengawas, itu udah ada studinya juga," ujarnya.

Bukan waktu yang tepat

Bivitri juga melihat momentum pengesahan RUU MK perubahan keempat ini tidak tepat. Pasalnya, saat ini Indonesia dalam posisi transisi menuju pemerintahan baru dari Presiden Joko Widodo ke Prabowo Subianto.

Menurut Bivitri pemerintahan dan DPR saat ini dalam kondisi bebek lumpuh atau lame duck. Sebab, legitimasinya tidak lagi utuh karena sedang masa transisi pemerintahan.

Oleh sebab itu, Bivitri berpendapat tidak seharusnya ada peraturan baru yang disahkan selama masa transisi ini.

"Secara etik, secara prinsip, seharusnya pada masa transisi seperti sekarang ini kan presiden sebenarnya udah enggak punya legitimasi karena lagi masa transisi ke pemerintahan yang baru. DPR juga enggak punya legitimasi karena masa transisi dalam literatur itu namanya lame duck period," ujar dia.

"Harusnya dalam situasi seperti ini enggak boleh ada perubahan undang-undang yang akan berpengaruh secara signifikan terhadap sistem ketatanegaraan," imbuhnya.

Namun, kata Bivitri, pemerintah dan DPR selama ini selalu abai terhadap prinsip dan etika. Ia menilai pemerintah akan melakukan segala cara untuk melakukan intervensi dan mewujudkan kepentingannya. Termasuk, dengan merevisi RUU MK.

"Nah, tapi ya itulah ya prinsip atau values hari-hari ini memang sudah tidak diperhatikan. Ditabrak semuanya untuk melakukan intervensi ugal-ugalan terhadap lembaga yudikatif oleh lembaga yang sifatnya politis," kata Bivitri.

(yla/wis)


[Gambas:Video CNN]

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat