Jakarta Tenggelam: Air Laut Naik atau Muka Tanah Turun? - Halaman 2
![Berkaca Kebijakan Air Tanah Negara Maju Mazhab global warming beradu kuat dengan aliran penurunan muka tanah dalam kasus Jakarta tenggelam. Sejauh ini, data dan bukti fisik condong ke salah satunya.](https://akcdn.detik.net.id/visual/2021/10/06/wacana-larangan-memakai-air-tanah-di-jakarta-6_169.jpeg?w=650&q=90)
Diskusi kemudian berlanjut kepada polemik kedua, penurunan muka tanah. Untuk membuktikannya, Heri dan tim memakai global positioning system (GPS) untuk mengukur ketinggian daratan terhadap permukaan laut di titik yang sama secara berulang.
Teknisnya berkebalikan dengan satelit altimetri; sinyal dari darat dipantulkan ke angkasa untuk kemudian kembali ke bumi. Maka didapat penambahan jarak tiap periode pengukurannya. Rata-rata penurunannya mencapai 10 cm per tahun.
"Saya sudah 20 tahun mengukur di Jakarta, di titik koordinat yang sama, ternyata tingginya berubah," kata Dosen Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ternyata penurunan [tanah]-nya ada yang sampai 10 cm per tahun, bahkan 20 cm per tahun. Dalam 10 tahun udah 1 meter. Kemudian kalau 100 tahun akan ada penurunan 10 meter. Inilah yang paling signifikan sebagai penyebab banjir rob. Karena kan tanah turun terus, lama-lama di bawah laut," terangnya.
Polemik kemudian berlanjut ke hal kedua, yakni penyebab penurunan muka tanah. Heri berpandangan penurunan hal itu terjadi karena beberapa faktor, seperti beban dari bangunan, aktivitas tektonik, pengambilan air tanah yang berlebihan, hingga pemadatan tanah atau kompaksi secara alamiah.
ADVERTISEMENT
Untuk meneliti faktor apa yang paling signifikan, Heri dan tim peneliti memakai data pengukuran dan pemodelan. Hasilnya, kompaksi alamiah berkontribusi 1-2 cm per tahun (10-20 persen terhadap penurunan muka tanah tahunan).
Senada, beban infrastruktur dan urukan, menurut data pemodelan, data empiris, dan pengambilan sampel batuan, berkontribusi 1-2 cm per tahun.
"Kita kurangkan 2 cm kompaksi alamiah, kita kurangkan 2 cm dari beban infrastruktur dan urukan, berarti 6 cm [disumbang oleh] eksploitasi air tanah," ungkap Heri, yang ikut meneliti masalah penurunan tanah sejak mahasiswa pada 1998.
Apakah tak ada kontribusi efek tektonik terhadap penurunan tanah Jakarta? Heri kemudian mengkaji kaitan tektonik di berbagai titik di Indonesia dengan penurunan tanah. Hasilnya, itu berkontribusi 1 hingga 3 mm atau maksimal 3 persen dari penurunan tanah rata-rata.
Lihat Juga : |
"Setelah meneliti ketahuan [bahkan] ada [muka tanah] yang naik di wilayah Pelabuhan Ratu, wilayah Ujung Kulon. Ternyata sebagian pulau Jawa naik," tukasnya.
Terlepas dari data-data itu, Heri meminta untuk mencontoh penanganan permukaan tanah di sejumlah negara maju lewat penyetopan penggunaan air tanah.
"Saya bawa peneliti asing ke Jakarta, ke Semarang, menurut kami ini apa? Karena kita masih ribut karena ini bukan masalah di air tanah. Kata mereka, 'come on don't be stupid, it's very abuse, exploitation ground on the water'," ucap dia, menirukan para peneliti asing itu.
(arh/sur)[Gambas:Video CNN]
Terkini Lainnya
Kelangkaan Air di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Diprediksi Naik
Jokowi: Perubahan Iklim Dunia Makin Mengerikan
ITB Rilis 5 Kota Peduli Perubahan Iklim, Tangerang Hingga Surabaya
Larangan Ambil Air Tanah DKI, Realistis atau Cuma Retorika Anies?
3 Pesan Wapres Saat Masalah Iklim Memburuk
Wapres Ungkap 3 Krisis Lingkungan yang 'Teror' Dunia, Simak Daftarnya
FOTO: Kawanan Boneka Hewan Keliling Dunia, Kabur dari Krisis Iklim
Pakar Teriak 'Emergency', Pemanasan Global Bikin Cuaca Makin Ekstrem