yoldash.net

Larangan Ambil Air Tanah DKI, Realistis atau Cuma Retorika Anies?

LSM dan pengamat menilai larangan penggunaan air tanah di zona tertentu oleh Gubernur DKI Anies Baswedan cuma retorika
Salah satu instalasi pengolahan air bersih di DKI. Rencana Pemprov melarang penggunaan air tanah dipertanyakan lantaran alternatif belum cukup. (Foto: CNN Indonesia/Safir Makki)

Jakarta, Indonesia --

Penerbitan aturan larangan pengambilan air tanah di zona tertentu oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dianggap retorika belaka dan tak realistis. Selain karena aturan sejenis sebelumnya tak jelas penegakannya, kesiapan dalam menyediakan sumber air pengganti masih meragukan.

Diberitakan, Anies menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 93 Tahun 2021 tentang Zona Bebas Air Tanah. Dalam aturan tersebut, ia melarang penggunaan air tanah bagi para pemilik atau pengelola bangunan di 12 area jalan dan 9 kawasan mulai 1 Agustus 2023.

Sekretaris Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta Dudi Gardesi menyebut pelarangan penggunaan air tanah itu diterapkan di daerah-daerah yang sudah terlayani dengan pipa PAM.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Itu memang daerahnya (yang dilarang) sudah terlayani perpipaan. Jadi kalau ada pipa air PAM, ya kita lihat suplai ke sana mencukupi atau tidak," kata Dudi kepada wartawan, Jumat (7/1).

ADVERTISEMENT

Sebelum aturan ini terbit, ada pula Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pajak Air Tanah; Pergub No. 86 Tahun 2012 tentang Nilai Perolehan Air Tanah sebagai Dasar Pengenaan Pajak Air Tanah;

Hingga Pergub 20 Tahun 2013 tentang Sumur Resapan, yang salah satunya mengatur sanksi administratif berupa pencabutan izin pengelolaan gedung yang mengambil air tanah namun tak membangun sumur resapan.

Berdasarkan catatan Indonesia.com, setidaknya sejak 2018 Anies beberapa kali melakukan inspeksi mendadak soal air tanah dan sumur resapan di gedung dan pabrik. Hasilnya, tak ada sanksi sejauh ini yang benar-benar dijalankan.  

Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk hak atas Air (KRuHA) Muhammad Reza Sahib menilai kebijakan Anies terbaru itu sekadar retorika.

"Sudah pasti retorika lah itu pengelolaan air Jakarta, baik air permukaan, air minum, maupun air tanahnya. Bahkan perdebatan tidak mutu terkait normalisasi dan naturalisasi tidak beres, kok mau ngomong air tanah," cetusnya, saat dihubungi Indonesia.com, Jumat (7/1).

Sebabnya, pertama, Pergub tersebut tidak mencantumkan soal sanksi pidana, melainkan hanya sanksi administratif dan pajak.

Pasal 6 Pergub itu menjelaskan bahwa sanksi administratif dilakukan secara berjenjang berupa teguran tertulis dan penghentian sementara kegiatan.

Jika dalam waktu tujuh hari pemilik atau pengelola bangunan gedung tidak menghiraukan teguran tertulis, Dinas Sumber Daya Air dapat melakukan penghentian sementara kegiatan dalam bentuk penyegelan sumur air tanah.

"Pergub itu kan tidak ada sanksi pidana, padahal Jakarta kerugiannya kalau itungan kami kegagalan Pemprov DKI memungut pajak air tanah rata-rata per tahun itu hampir Rp1 triliun. Itu sudah cukup membiayai air yang bisa diminum oleh penduduk Jakarta yang angkanya sekitar 10-13 juta," ungkap Reza.

Kedua, lanjutnya, ketiadaan penegakan aturan lama soal air tanah. Menurut dia, Pemprov DKI selama ini telah melakukan pembiaran kendati sudah banyak laporan bahwa banyak pengelola gedung perkantoran yang tidak melaporkan aktivitas pengambilan air tanah.

"Jadi kita bisa melihat seperti tontonan sinetron di TV, orang-orang kecil maling air bertahan hidup. Sementara gedung-gedung gede bahkan ada kedutaan jelas sudah diidentifikasi ambil air tanah dan itu dibiarkan," jelas Reza.

Ketiga, soal keseriusan upaya Pemprov DKI untuk mengakuisisi pengelolaan air tanah dari pihak swasta (Atra dan Palyja). Jika keyakinan Pemprov dilandasi penghentian kontrak swasta pada 2023, ia menilai itu optimisme murahan belaka.

Apabila pemerintah serius, dia menilai seharusnya upaya alih kewenangan itu dilakukan dari lama.

Keempat, pembenahan infrastruktur air bersih DKI yang masih belum memadai. Reza mencontohkannya dengan layanan pipa air yang mestinya sudah harus rampung dilakukan beserta sanitasi air minum.

Selain itu, penyediaan sumber air baku DKI Jakarta yang belum jelas. Selama ini, kata dia, 82 persen air baku didapatkan dari sumber air sungai Citarum yang dibeli dari Perusahaan Umum (Perum) Jasa Tirta.

Itu kemudian dibeli pihak swasta dan biayanya kemudian dibebankan pada tarif air.

"Kita sudah rekomendasikan bolak-balik, digabung saja semua urusan air limbah, permukaan, tanah air itu disatukan. Terus daerah terbuka hijaunya dibuka, supaya curah hujan di Jakarta bisa ditampung, karena ini sekarang semua jalan di-cor," ujar Reza.

Kebijakan Politis Sebelum Lengser

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat