yoldash.net

Netanyahu Geram Rencana Militer Stop Serangan ke Gaza Tiap Siang

Netanyahu mengecam rencana "jeda aktivitas militer" harian di Jalur Gaza bagian selatan demi memfasilitasi kiriman bantuan kemanusiaan.
Ilustrasi. PM Israel Benjamin Netanyahu mengecam rencana penerapan "jeda aktivitas militer" harian di Jalur Gaza bagian selatan demi memfasilitasi kiriman bantuan kemanusiaan. (Foto: AFP/Ronen Zvulun)

Jakarta, Indonesia --

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengecam rencana penerapan "jeda aktivitas militer" harian di Jalur Gaza bagian selatan demi memfasilitasi kiriman bantuan kemanusiaan.

Pemberhentian aktivitas militer ini rencananya dimulai pukul 08.00 sampai 19.00 tiap hari di sepanjang jalan yang mengarah dari penyeberangan Kerem Shalom ke Jalan Salah al-Din hingga ke utara.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ketika perdana menteri mendengar laporan tentang jeda kemanusiaan selama 11 jam di pagi hari, ia berpaling kepada sekretaris militernya dan menjelaskan bahwa hal ini tidak dapat diterima olehnya," kata seorang pejabat Israel, mengutip Reuters, Minggu (16/6).

Militer mengklarifikasi operasi normal akan terus berlanjut di Rafah, fokus utama operasinya di Gaza selatan. Sehari sebelumnya, delapan tentara Israel terbunuh di lokasi tersebut.

ADVERTISEMENT

Reaksi dari Netanyahu menggarisbawahi ketegangan politik terkait isu bantuan yang masuk ke Gaza. Padahal, organisasi-organisasi internasional telah memperingatkan krisis kemanusiaan yang semakin meningkat di wilayah tersebut.

Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir, yang memimpin salah satu partai nasionalis religius dalam koalisi Netanyahu juga mengecam gagasan jeda taktis.

Ia mengatakan siapa pun yang memutuskan hal tersebut adalah "orang bodoh" yang harus kehilangan pekerjaan mereka.

Perselisihan tersebut merupakan yang terbaru dari serangkaian perseteruan antara anggota koalisi dan militer terkait agresi Israel ke Palestina.

Hal ini terjadi seminggu setelah mantan jenderal Benny Gantz keluar dari pemerintahan, dan menuduh Netanyahu tidak memiliki strategi yang efektif di Gaza.

Perpecahan itu terlihat jelas pekan lalu dalam pemungutan suara di parlemen mengenai undang-undang wajib militer bagi kaum Yahudi ultra-Ortodoks, saat Menteri Pertahanan Yoav Gallant yang menentang perintah partai. Ia juga mengatakan bahwa undang-undang itu tidak mencukupi kebutuhan militer.

Partai-partai relijius dalam koalisi menentang keras wajib militer bagi kaum ultra-Orthodoks, sehingga menimbulkan kemarahan yang meluas dari banyak warga Israel.

Letnan Jenderal Herzi Halevi, kepala militer, mengatakan bahwa ada "kebutuhan yang pasti" untuk merekrut lebih banyak tentara dari komunitas ultra-Ortodoks yang berkembang pesat.

Meski desakan gencatan senjata semakin deras dari kalangan internasional, kesepakatan untuk menghentikan pertempuran tampaknya belum akan terealisasi.

Agresi Israel ini sudah berlangsung selama lebih dari delapan bulan sejak serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober lalu.

Serangan tersebut menewaskan sekitar 1.200 warga Israel dan warga asing. Sementara, agresi Israel telah menewaskan lebih dari 37.000 warga Palestina sampai dengan hari ini.

Meskipun jajak pendapat menunjukkan bahwa sebagian besar warga Israel mendukung tujuan pemerintah untuk menghancurkan Hamas, ada protes yang meluas yang menyerang pemerintah karena tidak berbuat lebih banyak untuk membawa pulang sekitar 120 sandera yang masih berada di Gaza setelah disandera sejak 7 Oktober.

[Gambas:Video CNN]



(tim/dmi)


[Gambas:Video CNN]

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat