Jakarta, Indonesia --
Killers of the Flower Moon bagaikan bangunan bersejarah yang masih kokoh meski berusia ratusan tahun. Film ini begitu megah dari luar, tetapi juga menawarkan intimasi saat menyusuri setapak dan tiap sudut di dalam bangunannya.
Kemegahan 'bangunan' Killers of the Flower Moon tentu tidak bisa dilepaskan dari andil sang arsitek, Martin Scorsese. Film itu bak kembali menasbihkan reputasi Scorsese sebagai salah satu sutradara terbaik sepanjang sejarah Hollywood.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kepiawaian Scorsese terlihat dari cara dirinya mengemas plot Killers of the Flower Moon yang berdurasi 3,5 jam. Saya tidak bisa menyangkal film ini amat panjang, nyaris dua kali lipat dari durasi yang lazim.
Bobot cerita film ini juga cukup padat, imbas mengangkat sejarah kelam Amerika yang awam di telinga. Namun, Scorsese tak ingin membiarkan penonton larut dalam kebosanan.
Tragedi pembunuhan berantai terhadap suku Osage pada 1920-an itu lalu disulap menjadi tontonan membuka mata. Tempo film ini memang cukup pelan, tetapi menjanjikan cerita yang kian memanas setiap detiknya.
 Review Killers of the Flower Moon:Killers of the Flower Moon juga ciamik dalam urusan visual. Desain produksi film ini cukup detail dalam menggambarkan dunia orang-orang Osage pada 1920-an. (dok. Apple Original Films/Paramount Pictures via IMDb) |
Saya juga merasakan kearifan Martin Scorsese untuk proyek ini. Scorsese, orang kulit putih, harus mengisahkan cerita kelam suku Osage yang kerap luput dalam catatan sejarah Amerika.
Ia menyadari tanggung jawab besar yang harus diemban demi menyuarakan cerita itu, sehingga mengerahkan banyak upaya. Sebut saja merombak naskah besar-besaran hingga banyak berdialog dengan keturunan asli Osage.
Usaha itu, menurut saya, membuahkan hasil yang cukup adil. Plot film berporos kepada Osage, sehingga suku itu benar-benar menjadi jantung cerita dari awal hingga akhir.
Latar Killers of the Flower Moon juga nyaris tidak pernah berpindah dari tanah tempat suku Osage tinggal, yakni di kawasan Oklahoma.
Scorsese tak luput mengalokasikan banyak waktu untuk menggambarkan kehidupan Osage, seperti saat mereka melangsungkan upacara adat untuk berbagai momen penting.
Martin Scorsese mungkin tidak bisa menuturkan cerita secara sempurna karena bukan orang asli Osage. Namun, ia sudah memberikan perspektif terbaik terhadap sejarah kelam yang dialami suku Osage pada masa itu.
[Gambas:Video CNN]
Killers of the Flower Moon juga ciamik dalam urusan visual. Desain produksi film ini cukup detail dalam menggambarkan dunia orang-orang Osage pada 1920-an.
Eksekusi visual ini juga membuktikan Scorsese masih terus belajar dan berkembang walau sudah berkiprah di Hollywood selama '60-an tahun.
Ia melepaskan kekhasan yang kerap muncul dalam karya-karya sebelumnya, seperti latar di kota New York, keberadaan gangster, hingga pemeran utama yang menjadi narator cerita.
Lanjut ke sekolah...
Scorsese lantas meniti jalan yang baru ketika mengeksekusi Killers of the Flower Moon. Porsi kekacauan dan kekerasannya tidak lagi dominan, pengambilan gambarnya juga tak teramat intens atau buru-buru.
Ia seolah menjadi lebih sederhana dan berhati-hati dalam menghias visual film ini. Scorsese juga mengalokasikan banyak adegan hanya untuk memamerkan lanskap kehidupan suku Osage yang tak semuanya bertaut dengan narasi utama cerita.
Di sisi lain, nuansa western dalam Killers of the Flower Moon juga begitu kental. Namun, ia memang menihilkan aksi koboi maupun perburuan sheriff melawan penjahat yang intens dalam film ini.
Kepiawaian Martin Scorsese berkesinambungan dengan ensambel aktor yang membintangi film ini. Secara keseluruhan, aktor yang terpilih dalam Killers of the Flower Moon menunaikan peran mereka dengan apik.
Dua 'muse' Martin Scorsese, Leonardo DiCaprio dan Robert De Niro, juga menyuguhkan performa yang tak perlu diragukan. Penonton mendapat jaminan pertunjukan yang memukau setiap kali DiCaprio dan De Niro berakting bersama dalam satu adegan.
 Review Killers of the Flower Moon: Secara keseluruhan, aktor yang terpilih dalam Killers of the Flower Moon menunaikan peran mereka dengan apik. (dok. Apple Original Films/Paramount Pictures via IMDb) |
Namun, bagi saya justru Lily Gladstone yang menjadi bintang utama film ini. Ia berhasil membawakan karakter Mollie Burkhart dengan begitu meyakinkan.
Dengan raut mukanya yang kaya ekspresi, Lily piawai menampilkan emosi-emosi Mollie, dari rasa cinta, amarah, ketakutan, hingga tidak berdaya menyaksikan satu per satu saudaranya meninggal secara misterius.
Kemampuan menampilkan bermacam rupa emosi itu tampaknya sangat terbantu dari latar belakang Lily Gladstone sebagai keturunan asli Indian. Ia begitu dekat dengan kisah itu, sehingga mampu menjadi jantung cerita yang memesona.
Jesse Plemons dan Brendan Fraser yang muncul di setengah akhir cerita juga dapat membawa dampak besar bagi film ini. Kedua aktor yang semakin diperhitungkan di Hollywood tidak pernah mengecewakan setiap muncul di layar.
Saya juga amat terpukau dengan Brendan Fraser yang begitu mendominasi setiap kali beraksi. Namun, sayangnya film ini tidak menyediakan banyak porsi bagi pemenang Oscar 2023 itu.
Performa gemilang aktor Killers of the Flower Moon patut mendapat apresiasi tinggi, seperti nominasi Oscar 2024. Saya mengira Leonardo DiCaprio, Robert De Niro, dan Lily Gladstone akan mendapat nominasi tahun depan.
[Gambas:Youtube]
Martin Scorsese juga berpotensi kembali masuk nominasi sutradara terbaik, begitu pula film terbaik untuk Killers of the Flower Moon.
Namun, terlepas dari urusan penghargaan itu, keberanian dan dedikasi Scorsese untuk film ini memang patut untuk dirayakan. Killers of the Flower Moon adalah capaian monumental sang sutradara setelah merilis berbagai masterpiece sepanjang kariernya.
Film ini juga mungkin bukan untuk semua orang. Namun, Scorsese menjanjikan setiap detik dan setiap adegan penuh makna dalam Killers of the Flower Moon yang sayang untuk dilewatkan.