yoldash.net

Review Film: Gede Rasa

Review film Gede Rasa: Gede Rasa menjadi bukti bahwa Warkop DKI sudah mengerjakan film komedi dengan pendekatan yang serius sejak awal kemunculannya.
Review film Gede Rasa: Gede Rasa menjadi bukti bahwa Warkop DKI sudah mengerjakan film komedi dengan pendekatan yang serius sejak awal kemunculannya. (dok. Bola Dunia Film/Falcon Pictures via YouTube)

Jakarta, Indonesia --

Gede Rasa menjadi bukti bahwa Warkop DKI sudah mengerjakan film komedi dengan pendekatan yang serius sejak awal kemunculannya di industri film era 1980-an.

Film ketiga trio grup lawak tersebut tidak hanya berisi lelucon komikal. Gede Rasa juga menyelipkan sindiran terhadap berbagai isu sosial yang berkembang pada masa itu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hal itu terlihat mulai dari premis cerita yang diangkat. Gede Rasa semula mengisahkan Dono, Kasino, dan Indro sebagai tiga sahabat yang menapaki babak kehidupan baru setelah dewasa.

Premis tersebut lalu berkembang dan membahas berbagai topik yang ramai pada masanya. Film ini menyentil isu sosial seperti perjodohan, gaya hidup orang kaya, bahkan penyakit menular seksual yang mulai marak pada era 1980-an.

ADVERTISEMENT

Sindiran juga tersirat dari penokohan setiap karakter, terutama yang diperankan trio Warkop DKI. Sebut saja Sanwani (Kasino), bos muda yang meneruskan bisnis milik ayahnya.

Sanwani berhasil menjadi karakter yang paling membekas dalam benak saya berkat penulisan yang apik. Ia menjadi perwujudan seorang laki-laki yang kaya dari lahir dan hanya meneruskan bisnis orang tua.

Gede Rasa (1980) merupakan film ketiga yang dirilis oleh grup lawak legendaris Warkop DKI. Film komedi itu termasuk dalam film-film awal Warkop DKI.Review film Gede Rasa: Gede Rasa menjadi bukti bahwa Warkop DKI sudah mengerjakan film komedi dengan pendekatan yang serius sejak awal kemunculannya. (dok. Bola Dunia Film/Falcon Pictures via YouTube)

Latar belakang itu kemudian dieksekusi menjadi sketsa komedi satir tentang sifat pongah anak orang kaya. Saya cukup kagum dengan kemampuan sutradara Nawi Ismail bersama trio Warkop DKI dalam mengerjakan bit-bit komedi sepanjang cerita.

Dengan cara jenaka, mereka berhasil menyentil perangai bos-bos di luar sana yang melakukan penindasan kepada para pekerja. Satir itu digambarkan lewat dialog maupun sketsa yang melibatkan Sanwani dengan brilian.

Kisah Gede Rasa jadi semakin berwarna dengan kehadiran sahabat lama Sanwani, Slamet (Dono) dan Paijo (Indro). Mereka berhasil memainkan peran sebagai sidekick yang layak mendapat sorotan.

Slamet menjadi sahabat lama yang akhirnya ikut tinggal bersama Sanwani lantaran tak memiliki pekerjaan. Sementara itu, Paijo adalah sosok dokter dengan hidup lurus dan menjadi idaman banyak orang tua.

Pertemanan tiga sahabat itu semakin ramai dengan kehadiran Poltak (Dorman Borisman) yang juga berteman sejak kuliah. Ia menawarkan warna baru dengan latar belakang sebagai orang Batak yang kuat.

Film Warkop DKI, termasuk Gede Rasa, juga tak lengkap tanpa kehadiran karakter perempuan pendukung alias Warkop Angels. Ita Mustafa dan Itje Trisnawati yang berperan sebagai adik dan kekasih Sanwani itu punya peran penting dalam cerita.

Mereka tidak muncul sekadar untuk pemanis, tapi tetap memiliki kontribusi yang berdampak bagi perjalanan tiga sahabat tersebut. Hubungan antara karakter itu berkembang begitu dinamis, beriringan dengan lelucon konyol yang sebagian besar masih bisa dinikmati pada masa kini.

[Gambas:Video CNN]



Saya mengakui bahwa ada beberapa lelucon yang berpotensi memicu perdebatan jika baru beredar sekarang. Perubahan standar nilai moral hingga budaya cancel culture rasanya sangat mungkin menjerat Gede Rasa ke dalam kontroversi di era modern.

Namun, saya juga tak bisa mengabaikan beberapa bit komedi yang begitu tajam sehingga masih relevan sampai sekarang. Sindiran itu sanggup mengocok perut sekaligus membuat saya bergidik karena tetap terasa nyata meski sudah berumur puluhan tahun.

Hal itu juga membuktikan Warkop DKI bukan grup lawak biasa. Gede Rasa seolah menjadi simbol Warkop DKI begitu progresif dalam menggunakan komedi sebagai alat menyuarakan keresahan sosial.



Meski demikian, saya sedikit menyayangkan cara sang sutradara dalam merangkai cerita Sanwani dan sahabat-sahabatnya. Film ini kebingungan dalam menjahit setiap cerita agar tetap runut dan memiliki satu benang merah.

Gede Rasa juga berakhir dengan terburu-buru karena hanya menyimpulkan satu bagian cerita yang tak cukup signifikan. Imbasnya, sejumlah premis yang disebar sejak awal cerita berakhir tanpa kesimpulan jelas.

Namun, Gede Rasa tetap menjadi salah satu film yang cocok ditonton sebagai hiburan. Film itu juga dapat diakses dengan mudah karena tersedia di YouTube secara gratis.

[Gambas:Youtube]



(end)


[Gambas:Video CNN]

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat