yoldash.net

Mau ke Mana Kebijakan Minyak Goreng?

Tak sampai dua bulan, pemerintah sudah tiga kali mengganti kebijakan minyak goreng. Bahkan ada kebijakan yang berusia tidak lebih seminggu.
Ilustrasi minyak goreng. Sejak November, pemerintah telah berulang kali mengganti kebijakan untuk mengatasi persoalan harga minyak goreng yang tinggi.(CNN Indonesia/Andry Novelino)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi Indonesia.com
Jakarta, Indonesia --

Kebijakan di industri kelapa sawit berikut salah satu produk turunannya, yakni minyak goreng, amat dinamis. Para pelaku pasar, mulai pabrik minyak goreng, pedagang, distributor, peritel modern, pelaku pasar tradisional, pedagang eceran hingga konsumen, terutama pedagang kecil penjual makanan, masih terus dihantui harga tinggi.

Akan kah harga bisa ditekan seperti kebijakan pemerintah? Atau akan terbentuk keseimbangan harga baru minyak goreng? Hari-hari ini dan beberapa bulan ke depan sepertinya belum akan ada jawaban pasti.

Bukan mustahil bongkar-pasang kebijakan tetap bakal terjadi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pemerintah, yang direpresentasikan otoritas Kementerian Perdagangan, sepertinya belum memiliki jurus jitu yang bakal menjadi panasea turbulensi harga minyak goreng. Salah satu indikasinya adalah bongkar-pasang kebijakan dalam tempo amat pendek. Tak sampai dua bulan, sudah berganti tiga kali. Bahkan ada kebijakan yang berusia tidak lebih seminggu.

Bongkar-pasang kebijakan sepertinya masih akan terjadi, menilik harga-harga minyak goreng yang bergeming meski kebijakan diubah-ubah. Betapa publik merasa pemerintah bak trial and error, tidak berbasis bukti di lapangan, dan realitas yang ada.

ADVERTISEMENT

Kebijakan pertama dimulai November-Desember 2021. Ke publik, pemerintah berjanji menggerojok pasar modern 11 juta ton minyak goreng kemasan sederhana seharga Rp14.000/kg. Karena tak punya stok minyak goreng sendiri, modus "menginjak" pengusaha -seperti dilakukan di masa lalu-kembali diulang.

Realisasi langkah ini tak sampai 1%. Tidak jelas apa musababnya: apakah karena pengusaha tak ingin kehilangan menimbun cuan atau ada hal lain? Tanpa penjelasan penyebab kegagalan, jurus diubah.

Kali ini, pemerintah menyebut "subsidi". Tujuannya heroik: membela konsumen, industri dan pedagang kecil yang banyak mengonsumsi minyak goreng.

Ke publik, janji ditebar: pemerintah menyediakan 1,5 miliar liter minyak goreng selama enam bulan. Minyak goreng, kemasan sederhana maupun premium, dibanderol satu harga: Rp14.000 per liter. Tersedia di ritel modern mulai 19 Januari 2022, seminggu kemudian di pasar tradisional.

Dana "subsidi" Rp7,6 triliun diambil dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Kata subsidi diberi tanda kutip karena uang ini bukan milik pemerintah atau dari APBN, tetapi ditarik dari kalangan industri perkelapa-sawitan.

Belum berjalan penuh di pasar, kebijakan diubah lagi: wajib pasok kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/DMO) CPO dan CPO olahan (refined bleached and deodorized palm olein/RBDPO) dengan harga tertentu (domestic price obligation atau DPO) dan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng. Kuota DMO kedua produk ditetapkan 20% dari volume ekspor setiap eksportir dengan harganya Rp9.300/kg CPO dan Rp10.300/kg RBDPO.

HET tiga minyak goreng per 1 Februari 2022: Rp11.500/liter untuk curah, Rp13.500/liter kemasan sederhana, dan Rp14.000/liter kemasan premium.

Hampir dua minggu berlalu, harga minyak goreng di pasar tak juga turun. Merujuk data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis, 11 Februari 2022, harga minyak goreng curah Rp17.500/liter, minyak goreng kemasan bermerk II Rp18.400/liter, dan minyak goreng kemasan bermerk I Rp19.750/liter.

Harga-harga ini hanya turun tipis seiring bongkar-pasang kebijakan. Ini terjadi karena penetapan HET tak diiringi tambahan pasokan memadai, sehingga harga jual masih bertahan di level tinggi. Bisa jadi pedagang masih menjual dengan harga lama karena stok dengan harga lama belum habis.

CPO Bukan Batu Bara

Perlu diingat, CPO bukanlah batu bara. Turunan batu bara terbatas, sehingga lebih mudah kala menggunakan kebijakan DMO. Pengawasannya simpel.

Sebaliknya, produk turunan CPO itu banyak, bahkan banyak sekali. Ini menyulitkan penerapan beleid DMO. Salah satu ilustrasi bisa disimak dari lingkaran setan mengapa di pengecer tidak ada minyak goreng. Ini terjadi karena tak ada kiriman minyak goreng dari distributor.

Distributor tidak kirim karena tak ada kiriman dari prosesor. Prosesor tidak bikin minyak goreng karena tidak ada alokasi oleh DMI dari refinery. Refinery tak bikin olein karena tak ada alokasi CPO DMO. Lalu, pabrik kelapa sawit tak mengalokasikan CPO DMO karena tak ekspor. Seperti lingkaran setan. Tentu bukan salah pabrik. Apa pemerintah sadar hal ini?

Di atas kertas, kebijakan DMO, DPO plus HET tentu baik. Diyakini, beleid ini bisa jadi jurus meredam harga minyak goreng, penyumbang inflasi terbesar sejak Oktober 2021.

Namun ada sejumlah alasan mengapa beleid ini masih perlu diuji. Pertama, banyaknya produk turunan CPO membuat kebijakan ini sulit dieksekusi. Kedua, patokan harga CPO dan RBPDO terlalu rendah. Ini akan menurunkan insentif mereka yang menyetorkan kedua produk itu ke pabrik minyak goreng.

Pengusaha lebih memilih menyalurkan CPO ke pabrik biodiesel karena pemerintah menjamin perusahaan biodiesel tidak bakal merugi karena ada subsidi dari BPDPKS jika harga patokan domestik lebih rendah.

Tampaknya pemerintah memilih mengatur pasar dengan kebijakan yang melawan pasar.

Kebijakan yang baik ditentukan kepiawaian pemerintah mendiagnosis penyebab kenaikan harga. Pasar komoditas, termasuk minyak goreng, cukup sensitif. Ini karena CPO bukan hanya dominan untuk memenuhi kebutuhan perut, tapi juga dimanfaatkan untuk menggerakkan mesin dengan diolah jadi bahan bakar.

Pasar yang sudah demikian solid tidak bisa dikomando secara serampangan dengan kebijakan anti-pasar. Sepertinya, kebijakan baru ini belum menjawab masalah.

Mau ke mana kebijakan minyak goreng?

(vws/vws)


[Gambas:Video CNN]

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat