yoldash.net

Pengusaha Hotel Sebut Dampak Covid 2021 Lebih Berat dari 2020

Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia mengungkapkan dana cadangan yang digunakan pengusaha untuk bertahan di tengah pandemi kian menipis tahun ini.
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia mengungkapkan dana cadangan yang digunakan pengusaha untuk bertahan di tengah pandemi kian menipis tahun ini. Ilustrasi. (Istockphoto/lookslike).

Jakarta, Indonesia --

Sekretaris Jenderal Pengusaha Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengatakan beban pengusaha perhotelan di tahun ini lebih berat dari tahun lalu. Pasalnya, sudah satu tahun lebih para pengusaha perhotelan merugi akibat covid-19.

Dana cadangan yang digunakan pengusaha untuk bertahan di tengah anjloknya okupansi kian menipis. Sementara, kunjungan wisatawan lokal tak bisa diandalkan. Sebab, pada momentum libur panjang seperti Lebaran, tahun baru, dan libur sekolah, pemerintah justru melakukan pengetatan kegiatan masyarakat.

"Lebaran juga tergantung destinasi, tidak di ibukota. Bisa meningkat kalau larangan mudik hilang. Tapi kemarin kita lihat ada larangan. Jadi 2021 kalau dibandingkan 2020 justru lebih berat karena sudah 1,5 tahun pandemi," ujarnya dalam webinar bertajuk Optimisme Pariwisata di Tengah Pandemi, Rabu (23/6).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Maulana menjelaskan sejak pandemi covid-19 dinyatakan masuk ke Indonesia pada Maret 2020 dan pemerintah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), penurunan okupansi melanda sektor perhotelan. Pada April 2020, okupansi hotel sudah berada di bawah 10 persen dan bahkan mencapai nol persen.

Tingkat keterisian baru membaik setelah pemerintah melakukan adjusment atau penyesuaian kebijakan dengan melonggarkan PSBB. Namun, berdasarkan data PHRI, okupansi tak serta-merta kembali ke posisi semula.

ADVERTISEMENT

Ia mencontohkan, misalnya, kontribusi Meeting, Incentive, Convention and Exhibition (MICE) yang biasanya mencapai 30-40 persen belum mengalami perbaikan.

"Pada saat pelonggaran PSBB kita lihat apakah MICE atau leisure yang meningkat. Ternyata MICE enggak meningkat, hanya sekitar 10-15 persen di weekdays. Justru terjadi pertumbuhan sampai ada average 35 persen di leisure itu karena adanya long weekend dan cuti bersama," tuturnya.

Namun, pertumbuhan okupansi dari sisi leisure atau penginapan pun tak bisa mengkompensasi kerugian yang mendera hotel. Sebab, ketika okupansi meningkat, pengusaha menurunkan harga karena permintaan melemah.

"Harus diingat juga kita hotel ga hanya bicara okupansi di sini. Kalau sebelum pandemi oke lah. Sekarang meningkat okupansi tapi harga kamar kan turun," ucapnya.

Maulana mengungkapkan pengusaha sebenarnya cukup terbantu dengan sejumlah program pemerintah seperti menjadikan hotel sebagai tempat isolasi pasien covid-19. Sayangnya, kebijakan tersebut hanya dilakukan di sejumlah kota dan tidak merata ke berbagai wilayah, terutama destinasi wisata.

"Memang agak rumit di tiap daerah. Pemerintah pusat sudah jadikan bagian prioritas nasional namun implementasinya tergantung pemerintah daerah. Nah, ini masalahnya banyak perbedaan persepsi. Pemerintah daerah yang fokusnya tidak di sana sehingga banyak pengusaha jadi kesulitan," tandasnya.

[Gambas:Video CNN]



(hrf/sfr)

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat