yoldash.net

Ilmuwan Bongkar Gelombang Panas Asia Sebenarnya Fenomena Mustahil

Ahli mengungkap fenomena gelombang panas (heatwave) Asia mestinya mustahil terjadi jika tak ada faktor buatan manusia yang memicunya. Apa itu?
Pedagang asongan berlindung dari teriknya gelombang panas di Manila, Filipina, 29 April. Pakar mengungkap pemicu fenomena ini. (AP/Aaron Favila)

Jakarta, Indonesia --

Fenomena gelombang panas (heatwave) Asia disebut mustahil terjadi tanpa dipicu faktor buatan manusia, yakni pemanasan global.

Sejak April, panas terik di atas 40 derajat Celsius (104 derajat F) melanda seluruh Asia. Fenomena ini memicu banyak warga meninggal, kekurangan air, gagal panen, hingga penutupan sekolah secara masif.

Studi World Weather Attribution (WWA) pun menggabungkan model-model iklim untuk memperkirakan pengaruh perubahan iklim akibat aktivitas manusia terhadap panas ekstrem di Asia Barat dan Filipina.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Pengamatan dan model menunjukkan peningkatan yang kuat dalam hal kemungkinan dan intensitas," menurut keterangan lembaga tersebut.

"Di Filipina, kemungkinan terjadinya perubahan sangat besar sehingga kejadian ini tidak mungkin terjadi tanpa adanya perubahan iklim yang disebabkan oleh ulah manusia. Di Asia Barat, perubahan iklim meningkatkan kemungkinan terjadinya bencana sebesar 5 kali lipat."

Studi tersebut menemukan bahwa suhu panas ekstrem 45 kali lebih mungkin terjadi di India dan lima kali lebih mungkin terjadi di Israel dan Palestina.

Para ilmuwan mengatakan suhu tinggi juga memperburuk krisis kemanusiaan yang sudah mengerikan di Gaza, dengan para pengungsi tinggal di tempat penampungan yang penuh sesak dengan sedikit akses terhadap air.

Parahnya dampak perubahan iklim ini terjadi di saat rata-rata dunia memanas 'hanya' 1,2 derajat C di atas tingkat pra-industri selama empat tahun terakhir.

Gelombang panas "mustahil" lainnya melanda Afrika barat dan Sahel pada akhir Maret, yang juga menyebabkan kematian, dengan rekor suhu 48,5 derajat C di Mali.

Kematian akibat panas ekstrem, melansir The Guardian, tidak tercatat dengan baik di banyak negara. Namun, studi sebelumnya menunjukkan jutaan orang meninggal lebih awal dalam dua dekade terakhir.

Di Eropa, yang punya pencatatan lebih baik, kematian akibat cuaca panas meningkat 25 persen dalam satu dekade terakhir.

Para ilmuwan pun memperingatkan kemungkinan yang lebih buruk akan terjadi jika suhu global naik hingga 2 derajat C.

Panas ekstrem pada April diperkirakan akan terulang setiap dua hingga tiga tahun sekali di Filipina dan setiap lima tahun di Israel, Palestina, dan negara-negara sekitarnya.

"Dari Gaza, Delhi, hingga Manila, banyak orang nelangsa dan meninggal ketika suhu di Asia melonjak pada April," kata Friederike Otto dari Imperial College London, bagian dari tim studi WWA.

"Panas tambahan yang disebabkan oleh emisi minyak, gas, dan batu bara menyebabkan kematian banyak orang."

Carolina Pereira Marghidan, konsultan risiko panas di Pusat Iklim Palang Merah Bulan Sabit Merah, menyoroti nasib pengungsi di Palestina yang kian menderita. "Panas benar-benar memperburuk krisis kemanusiaan yang sudah mengerikan di Gaza."

"Dengan populasi pengungsi yang tidak memiliki akses terhadap makanan, air, layanan kesehatan, dan kehidupan secara umum. di tempat penampungan yang penuh sesak dan memerangkap panas, atau tinggal di luar ruangan," ucapnya.

Penelitian WWA meneliti tiga wilayah yang mengalami panas ekstrem pada April; pemanasan global membuat suhu 1,7 derajat C lebih panas di Israel, Palestina, Suriah, Lebanon dan Yordania.

Selain itu, pemanasan global membuat 1 derajat C lebih panas di Filipina, dengan 4.000 sekolah ditutup dan kolam-kolam portabel didirikan untuk membantu orang-orang mendinginkan diri.

Wilayah Asia Selatan yang diteliti meliputi India, yang suhunya mencapai 46 derajat C, Bangladesh, Myanmar, Laos, Vietnam, Thailand, dan Kamboja.

"Perubahan iklim adalah faktor penentu dalam cuaca panas ekstrem," kata Otto.

El Nino enggak ngefek

Para peneliti juga menemukan siklus iklim El Nino saat ini, yang juga meningkatkan suhu global, hanya berdampak kecil terhadap peningkatan kemungkinan terjadinya gelombang panas.

"Di Filipina, peluang kejadian seperti ini (heatwave) terjadi pada tahun tertentu juga sekitar 10 persen, atau setiap 10 tahun sekali dalam kondisi El Nino Southern Oscillation (ENSO) saat ini," kata studi itu.

"Kejadian ini (gelombang panas) terjadi setiap 1 kali dalam 20 tahun, secara keseluruhan tanpa pengaruh El Nino."

"Di Filipina, kami menemukan bahwa El Nino saat ini menyebabkan gelombang panas sekitar 0,2 derajat C lebih panas. Sebaliknya, di Asia Barat, kami tidak menemukan pengaruh ENSO dalam peristiwa tersebut, hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya," lanjut studi itu.

El Nino sendiri terpantau muncul setidaknya pada Juli tahun lalu. Anomali iklim pemicu kekeringan ini diprediksi bakal berakhir sekitar Mei hingga Juli tahun ini.

Ratusan studi pun menunjukkan pemanasan global-lah yang telah memperburuk cuaca ekstrem di seluruh dunia.

"Jika dunia tidak mengambil langkah besar yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk mengurangi emisi dan menjaga pemanasan hingga 1,5 derajat C, panas ekstrem akan menyebabkan penderitaan yang lebih besar di Asia," tandas Mariam Zachariah dari Imperial College London, yang merupakan bagian dari tim studi.

[Gambas:Video CNN]

(tim/arh)

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat