yoldash.net

Ahli Ungkap Efek Jika Kodok Dkk Punah

Pakar BRIN mengungkap potensi menurunnya populasi amfibi seperti kodok dan kawan-kawannya dan dampaknya jika mereka punah.
Ilustrasi. Pakar BRIN mengungkap potensi menurunnya populasi amfibi seperti kodok dan kawan-kawannya dan dampaknya jika mereka punah. (Foto: iStockphoto/phototrip)

Jakarta, Indonesia --

Pakar dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkap potensi menurunnya populasi amfibi seperti kodok dan kawan-kawannya di dunia. Apa dampaknya jika kodok dkk punah?

Amir Hamidy, Direktur Sekretariat Kewenangan Ilmiah Keanekaragaman Hayati (SKIKH) BRIN, mengatakan pembiaran terhadap penurunan populasi amifibi di dunia akan mengakibatkan kepunahan spesies amfibi tertentu yang berdampak bagi manusia.

Menurutnya amfibi dapat mengendalikan populasi serangga, sehingga kepunahan amfibi akan berdampak pada naiknya populasi serangga yang berpengaruh pada kesehatan manusia dan kegagalan panen pertanian.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Para ahli juga berpendapat perlindungan dan restorasi amfibi bisa menjadi solusi terhadap krisis iklim. Pasalnya, hewan berdarah dingin tersebut membantu menjaga keseimbangan ekosistem di lingkungan tetap sehat.

"Kondisi ini tentu perlu mendapat perhatian. Diperlukan mekanisme untuk penilaian sistematis terhadap risiko kepunahan spesies secara berkala untuk memberikan informasi terkini terkait penentuan prioritas perencanaan dan pemantauan tindakan konservasi," kata Amir, mengutip laman resmi BRIN, Senin (25/3).

ADVERTISEMENT

Faktor penyebab

Amir menjelaskan, dalam artikel yang ditulis bersama tim dan rilis pada jurnal Nature Desember 2023 lalu, ancaman yang terdokumentasi adalah hilangnya jenis dan degradasi habitat.

Ia menerangkan penyebab terbesar penurunan populasi global amfibi adalah kerusakan habitat akibat aktivitas pertanian (77 persen spesies terkena dampak), aktivitas pemanenan kayu dan tanaman (53 persen)m dan pembangunan infrastruktur (40 persen).

Sementara itu dampak perubahan iklim dan penyakit (masing-masing 29 persen) juga berkontribusi terhadap tren penurunan populasi amfibi secara global.

"Tercatat, sebelum tahun 2004 penurunan populasi amfibi sekitar 90 persen disebabkan oleh penyakit dan kehilangan habitat. Namun, saat ini perubahan iklim juga menyebabkan penurunan populasi amfibi," ungkap dia .

Menurut Amir jumlah amfibi punah yang terdokumentasikan terus bertambah, yakni 23 jenis pada tahun 1980, 10 jenis pada tahun 2004, dan 4 jenis punah pada tahun 2022. Sepanjang periode tersebut, total 37 jenis amfibi punah.

Contoh nyata kepunahan tersebut terjadi pada tahun 1990, ketika terjadinya penurunan jumlah yang cepat untuk katak jenis Atelopus chiriquiensis dan Taudactylus acutirostris akibat penyakit. Sementara itu, jenis Craugastor myllomyllon dan Pseudoeurycea exspectata terakhir terlihat pada tahun 1970 dan dikabarkan punah akibat ekspansi pertanian.

Tidak hanya itu, dalam publikasi ini juga menyebutkan terdapat 8.011 spesies amfibi telah memperbarui statusnya dalam Daftar Merah International Union fo Conservation of Nature (IUCN).

Indeks Daftar Merah IUCN yang diperbarui melaporkan status amfibi memburuk secara global, khususnya salamander.

"Andai saja Daftar Merah IUCN diperbarui pada skala yang sama pada tahun 1970-an seperti saat ini, [maka] kita dapat menelusuri pandemi penyakit amfibi yang melanda 20 tahun sebelum penyakit tersebut menghancurkan populasi mereka," jelas Amir.

Upaya menyelamatkan kodok dkk

Amir dkk, dalam jurnalnya, menyampaikan saat ini konsentrasi terbesar spesies yang terancam berada di Kepulauan Karibia, Mesoamerika, Andes Tropis, pegunungan dan hutan di Kamerun Barat dan Nigeria Timur, Madagaskar, Ghats Barat dan Sri Lanka.

Tidak hanya itu, spesies lainnya yang terdapat di Hutan Atlantik Brasil bagian selatan, Pegunungan Busur Timur Tanzania, Tiongkok tengah dan selatan, serta Pegunungan Annamite bagian selatan Vietnam juga mengalami hal serupa.

"Untuk mengatasi ancaman tersebut, diperlukan beberapa upaya konservasi tertentu untuk mengatasi dampak perubahan iklim terhadap spesies tertentu, khususnya untuk spesies yang diidentifikasi mempunyai risiko serius mengalami penurunan populasi," ujar para peneliti.

Para peneliti juga menyarankan perlunya prioritas konservasi amfibi untuk perlindungan habitat yang efektif, karena akan berkontribusi terhadap jumlah perbaikan terbesar sejak tahun 1980.

Upaya konservasi ini juga dapat dilakukan dengan mengintegrasikan tindakan ex situ terutama untuk 798 spesies terancam punah yang ada di lokasi risiko kepunahan tertinggi.

"Amfibi tidak seperti hewan lainnya, ia bernapas melalui sebagian kulitnya. Kondisi tersebut menjadikan mereka jauh lebih sensitif terhadap faktor lingkungan, seperti penyakit, polusi, bahan kimia beracun, radiasi ultraviolet, perubahan iklim dan perusakan habitat," jelas Amir.

Sementara itu, untuk menghindari pandemi amfibi global gelombang kedua akibat jamur Batrachochytrium dendrobatidis dan B. Salamandrivorans, perlu dikembangkan manajemen penyakit yang praktis.

"Kemauan politik dan komitmen dari pihak terkait serta peningkatan investasi juga sangat diperlukan untuk membalikkan tren populasi amfibi yang terus menurun," ujar Amir.

Target konservasi keanekaragaman hayati diperlukan untuk kelangsungan hidup mereka di masa depan. Defisiensi data (909 spesies) masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kepunahan risiko dan kebutuhan konservasinya.

Secara umum peningkatan pemantauan populasi di seluruh dunia juga sangat penting untuk tindakan konservasi dan penilaian ulang di masa depan untuk mengatasi krisis kepunahan amfibi yang sedang berlangsung dan implikasinya terhadap krisis keanekaragaman hayati.

(tim/dmi)


[Gambas:Video CNN]

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat