yoldash.net

Pakar Ungkap Alasan Harimau Sumatera Serang Manusia Seperti di Lampung

Harimau sumatera sebetulnya lebih suka menghindari manusia alih-alih menyerang. Lalu, kenapa ada kasus serangan harimau ke manusia?
Ilustrasi. Harimau sumatera menyerang warga di Lampung Barat dalam beberapa waktu terakhir. (Foto: FB ANGGORO/FB ANGGORO)

Jakarta, Indonesia --

Pakar mengungkap alasan harimau sumatera menyerang warga di Lampung Barat dalam beberapa waktu terakhir. Sedikitnya ada tiga kasus serangan harimau, dua di antaranya menewaskan warga setempat, dalam kurun waktu satu bulan terakhir.

Harimau sumatera yang berada di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) kembali menerkam warga bernama Samanan (41) warga Pekon (Desa) Sukamarga, Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung Barat.

Sebelumnya, pada Februari lalu, dua warga di Lampung Barat tewas akibat serangan harimau sumatera. Kedua jasad ditemukan pada 8 Februari dan 22 Februari.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ahli konservasi keanekaragaman hayati Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Hendra Gunawan mengungkap alasan di balik maraknya serangan harimau sumatera di Lampung baru-baru ini. Ia mengatakan peningkatan konflik antara satwa dan manusia disebabkan kompetisi atau perebutan ruang dan/atau makanan.

ADVERTISEMENT

Hendra menjelaskan satwa besar, seperti harimau, biasanya memerlukan habitat luas dan singgungan dengan manusia yang sama-sama membutuhkan ruang yang sama, yaitu hutan, membuat munculnya kompetisi ini. Padahal, hutan adalah habitat asli hewan tersebut.

"Jika makanan satwa juga berkurang, misalnya karena diburu, berarti juga ada kompetisi satwa-manusia untuk memperebutkan makanan. Ketika makanan di habitat alaminya kurang, maka satwa akan mencari makan di area-area manusia, seperti kebun dan bahkan permukiman," ujar Hendra saat dihubungi Indonesia.com, Rabu (13/3).

Hendra menduga faktor yang menjadi dalang peningkatan konflik ini adalah harimau sumatera yang "ruang habitatnya semakin sempit" dan "makanannya di alam semakin sedikit."

Selain itu, Hendra menduga peningkatan populasi harimau yang tidak sebanding dengan luas habitatnya menjadi faktor lain. Menurutnya hal ini akan mendorong satwa yang baru lahir tidak kebagian ruang dan akhirnya keluar ke perkebunan bahkan permukan di sekitar hutan.

Sebagai catatan, satwa karnivora jantan seperti kucing besar memiliki sifat teritorial, dan menandai wilayah teritorinya dengan urin, feces atau cakaran di pohon atau tanah. Wilayah teritori ini dipertahankan dari individu jantan lain.

Kemudian, makanan dan betina di wilayah teritorinya adalah miliknya atau berada di bawah kekuasannya. Sehingga jika ada jantan lain masuk maka akan terjadi perkelahian memperebutkan teritori tersebut, dan yang kalah akan keluar mencari daerah lain untuk mencari makan atau betina.

Menghindari manusia

Melansir Restorasi Ekosistem Riau, harimau sumatera sebetulnya lebih suka menghindari manusia alih-alih menyerang. Harimau sumatra disebut sebagai makhluk soliter/penyendiri, dan diketahui sangat protektif terhadap wilayah mereka.

Serangan harimau terhadap manusia bisa terjadi karena satwa ini merasa diserang, seperti misalnya bila harimau betina melindungi anak-anaknya, atau terjadi perubahan perilaku karena harimau tengah sakit, tidak sehat, atau menua.

Hendra menambahkan, secara alami satwa akan menghindari manusia dan keramaian. Artinya, secara alami mereka akan mengambil jarak ratusan meter hingga beberapa kilometer dari kebun atau pemukiman. Jarak ini disebut sebagai efek tepi.

"Logikanya, tidak ada macan yang duduk duduk di pinggir jalan tol, meski jalan tol itu ada di dalam hutan. Macan akan mengambil jarak beberapa ratus meter untuk menghindari manusia dan keramaian," paparnya.

Dengan demikian, ketika ada konflik satwa dan manusia, maka kondisi yang ada sudah sangat serius.

"Satwanya sudah berubah perilakunya, tidak lagi menghindari atau takut pada manusia. Kondisi hutannya mungkin sudah menyusut banyak, atau sudah terfragmentasi berat," kata Hendra.

Memperluas habitat

Hendra menyebut solusi untuk masalah semacam ini tidak boleh parsial, dan harus komprehensif serta terintegrasi.

Beberapa solusi yang mungkin dilakukan adalah memperluas habitat dengan menetapkan kawasan konservasi baru atau merestorasi habitat yang rusak. Restorasi habitat karnivora juga termasuk kegiatan meningkatkan populasi mangsanya.

Selain itu, perlu pengendalian populasi. Menurut dia populasi satwa dikurangi sampai batas daya dukungnya, selebihnya dipindahkan dengan ditranslokasi ke hutan lain atau di reintroduksi ke hutan yg sebelumnya merupakan daerah sebaran alami spesies tersebut.

Secara alami, kata Hendra, bangsa kucing termasuk yang mudah berkembang biak, sehingga populasinya pasti meningkat terus. Oleh karena itu, upaya pengendalian populasi mestinya sudah direncanakan dan dilakukan sebelum daya dukung terlampaui atau sebelum menjadi konflik.

Kemudian, solusi berikutnya yang bisa dilakukan adalah habitat yang sudah terfragmentasi dibuatkan koridor penghubung agar ada konektivitas antar fragmen habitat, sehingga bisa digunakan oleh satwa.

"Jika jumlah populasi satwa telah seimbang dengan daya dukung habitatnya, maka tidak akan terjadi konflik," jelas Hendra.

"Jadi pengendalian populasi ini penting untuk kondisi saat ini. Mengingat tampaknya sudah sulit untuk memperluas habitat," pungkasnya.

[Gambas:Video CNN]



(lom/dmi)


[Gambas:Video CNN]

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat