yoldash.net

Pakar Jawab Peluang ChatGPT Bantu Pencarian Alien di Mars

Platform AI seperti ChatGPT disebut mungkin dimanfaatkan untuk riset di Mars. Masih perlukah awak wahana manusia?
Dua robot penjelajah Mars milik NASA, Perseverence (rover) dan Ingenuity (helikopter). Mungkinkah AI digunakan untuk membantu penjelajahan Mars? (dok. NASA)

Jakarta, Indonesia --

Platform kecerdasan buatan (AI) ChatGPT disebut berpeluang diterapkan pada riset di Mars, termasuk dalam hal pencarian alien. Pertanyaannya, apakah platform AI itu akan memudahkan atau sebaliknya?

Sejak kemunculannya pada November tahun lalu, ChatGPT terus menyedot perhatian lewat kemampuannya menjawab beragam pertanyaan rumit hingga perintah membuat puisi.

Melansir Space, para ahli pun buka suara soal kemungkinan hal menggunakannya dalam penjelajahan di Planet Merah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Bisa saja itu diterapkan, namun ada kemungkinan terjadi informasi yang salah. ChatGPT tidak 100 persen akurat dan rentan membawa ke 'halusinasi," kata Said Ozcan, Reader di Innovation and Technology Management di University of Portsmouth.

Dia skeptis soal manfaat ChatGPT jika tidak ada cukup informasi untuk dianalisis. "Saya yakin, manusia masih bisa melakukan pekerjaan dengan lebih baik ketimbang ChatGPT, meski agak lebih lama," katanya.

ADVERTISEMENT

Senada, Steve Ruff, Research Associate Professor di School of Earth and Space Exploration, Arizona State University, mengatakan ada interpretasi beragam terhadap data yang diperoleh dari Mars.

Karena itulah ia menilai penggunaan AI di Mars tak mungkin tanpa melibatkan manusia.

"Saya skeptis bahwa AI apa pun yang dilatih untuk observasi yang ada, bisa digunakan dengan mumpuni untuk menginterpretasikan observasi baru tanpa campur tangan manusia, terutama dengan instrumen set data baru yang belum tersedia sebelumnya," kata Ruff.

Namun demikian, dalam waktu dekat Ruff menganggap AI bisa saja berguna untuk operasi wahana penjelajah alias rover semisal dalam hal menentukan target untuk diobservasi dan navigasi tanpa campur tangan manusia.

Sementara itu, Direktur Carl Sagan Cneter for Research di SETI Institute Nathalie Cabrol, mengatakan penggunaan AI bukan hal baru.

"Kita sebetulnya melakukan itu setiap hari dalam satu hal atau yang lain. Dan versi yang telah diperbaiki mungkin membuat sesuatu menjadi lebih baik," kata dia.

Akan tetapi, Cabrol mengatakan penggunaan AI punya dua sisi mata pedang. Ia mencontohkan dalam hal pengkajian sebuah makalah ilmiah.

Sebagai peneliti, dirinya menyukai menuangkan ide-ide dalam sebuah makalah yang kelak akan dikaji ulang. Masalahnya, ia merasa ada logika yang salah jika AI digunakan untuk mengkaji ulang makalah itu.

"Saya katakan, jika Anda berasumsi algoritma akan melakukan pengkajian, hal itu karena Anda berasumsi mereka akan tak begitu bias dan melakukan pekerjaan dengan lebih baik."

"Dengan mengikuti logika itu, saya berasumsi, manusia tidak cukup kualifikasi untuk mengkaji makalah tersebut," lanjut dia.

Lebih lanjut, Asisten profesor Ilmu Geologi di University of Florida Amy Williams mengaku pernah menggunakan AI untuk menyiapkan naskah diskusi publik. Williams memasukkan pertanyaan "Molekul organik apa yang bisa ditemukan rover di Mars?"

Williams mengatakan "Responnya mencerahkan karena menyediakan untuk saya pernyataan yang bisa saya gambarkan sebagai sesuatu yang kukuh dan sesuai untuk sebuah kesimpulan yang bisa saya bicarakan di diskusi publik tentang molekul organik di Mars,"

Akan tetapi, Williams merasa masih ada batasan terhadap kemampuan AI itu lantaran hanya bisa mengakses data paling jauh hingga September 2021. "Jadi, responnya tidak menunjukkan semua hasil yang terpublikasi soal organik di Mars yang saya tahu sejak 2021," kata dia.

Riset alien

Sebuah riset yang dipimpin Kimberley Warren Rhodes dari SETI Institute menunjukkan AI bisa mengakselerasi penemuan kehidupan di luar Bumi atau ekstraterestrial di Mars.

Kimberley bersama tim pakar yang berisikan 50 ahli internasional melakukan studi itu di gurun Atacama, Cile, Amerika Selatan.

Lihat Juga :

Mereka mengadakan survei ekologis di area seluas 3 km persegi. Para pakar memetakan distribusi mikroorganisme fotosintetik dan menggunakan teknik seperti pengurutan gen serta spektroskopi inframerah.

Tujuannya, mengungkap penanda kehidupan yang berbeda yang disebut 'biosignatures'.

Data ini kemudian digabungkan dengan gambar udara yang diambil oleh drone untuk melatih model pembelajaran mesin memprediksi jenis mikro-makro habitat mana yang akan diasosiasikan dengan biosignatures yang dapat mengindikasikan kehidupan.

Ketika diuji menggunakan data yang tidak dilatih, model yang dihasilkan mampu menemukan dan mendeteksi biosignature hingga 87,5 persen.

"Proses kami menggabungkan survei ekologi mikroba statistik, penginderaan jarak jauh dari kendaraan udara tak berawak, dan pembelajaran mesin untuk memetakan, memodelkan, dan memprediksi distribusi biosignatures dalam pengaturan yang relevan dengan Mars,"

"Pendekatan ini mungkin juga memiliki aplikasi untuk target astrobiologi lainnya, seperti permukaan Titan, gumpalan Enceladus, atau lapisan es Europa," kata Freddie Kalaitzis dari Department of Computer Science, University of Oxford, seperti dilansir situs resmi Oxford.

(lth/arh)

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat