Jakarta, Indonesia --
Waktu tahun 1974 itu ada turnamen di Saigon, Vietnam, National Day Tournament untuk memperingati hari kemerdekaan Vietnam. Kalau sekarang nama kotanya Ho Chi Minh.
Persipura Jayapura mengikuti turnamen itu mewakili Indonesia. Jadi kami datang tidak sebagai Timnas Indonesia, tetap dengan Persipura.
Jersey yang kami pakai juga garis-garis merah hitam, bukan merah putih. Seingat saya kami ditunjuk Pak Soeharto. Manajer timnya Pak Acub Zainal langsung, yang ketika itu menjabat sebagai Gubernur Irian Jaya, sekarang Papua.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sedangkan lawan-lawannya waktu itu tim nasional semua, ada Malaysia, Kamboja, Thailand, tuan rumah Vietnam tentunya. Ada banyak lagi, hanya Persipura sebagai klub.
Di final kami melawan tuan rumah Vietnam. Dalam pertandingan tersebut, dua menit sebelum pertandingan selesai, ada perintah dari Pak Harto, harus kalah. Kami bertahan dengan baik waktu itu. Tetapi begitu dua menit terakhir, perintah itu datang. Pak Acub turun dari tribune VIP (Very Important Person).
'Kamu harus kalah' kata Pak Acub. Alasannya misi damai, karena saat itu Vietnam sedang perang. Indonesia ingin membagi kegembiraan kepada Vietnam yang pada waktu itu sedang genting.
Waktu itu kita mendukung Vietnam. Jadi intinya bagaimana hubungan kita dengan Vietnam tetap baik. Kalau itu perintah Pak Harto, siapa yang mau lawan?
Klub mana yang tidak suka kalau juara di luar negeri? Tapi perintah mengatakan harus kalah. Dari imbang, jadi kalah.
Saya menangis, semua menangis, termasuk Pak Acub Zainal. Sampai Pak Acub turun berdiri di pinggir lapangan sama pemain. Jadi faktor-faktor seperti itu juga suka tidak suka kita harus patuh.
Nah saya juga punya satu momen, di mana saya itu pernah hampir tanda tangan kontrak dengan klub Hallelujah Korea. Seharusnya saya bisa main di luar negeri.
Ceritanya itu mereka akan bermain di Australia. Tapi sebelum ke sana mereka transit di Indonesia. Yang mengatur saya trial dengan Hallelujah ini Ketua Umum PSSI Pak Bardosono dan termasuk bapak angkat saya, Muhono, yang juga salah satu pengurus PSSI.
Beliau kan bawahannya Pak Bardosono yang juga orang Istana. Bapak angkat saya juga orang Istana, tapi pangkatnya masih di bawah.
Jadi saya sudah ada di Australia. Malamnya itu Hallelujah akan melawan timnas Australia. Saya sudah dapat baju, karena mau dites. Saya sudah siap main, seperti biasa sebagai bek kiri.
Sejak awal saya memang siap ikut tes. Teman-teman di klub itu semua memberikan dukungan "Ayo, ayo, ayo". Bahasa Inggris saya juga cuma bisa sedikit-sedikit, mereka juga kebanyakan kan bahasa Korea.
Tapi menurut saya kekompakan di tim itu luar biasa. Kalau saya lolos tes itu, ya sudah saya akan main di Korea. Karena, begitu selesai main malam itu sebenarnya saya bisa langsung tanda tangan kontrak kalau lolos. Semua sudah dipersiapkan.
Rupaya trial saya tercium sama Pak Harto. Pak Harto begitu-begitu memperhatikan olahraga dengan luar biasa. Ketika itu memang sedang TC Timnas Indonesia di Senayan untuk persiapan Merdeka Games. Saya juga sudah pindah ke Jakarta.
Pak Harto telepon ke yang mengantar saya. Telepon ke Pak Bardosono. Pak Bardosono lalu telepon ke Pak Muhono. "Johanies Auri malam ini harus ada di Jakarta," begitu kira-kira kata-katanya.
Baru persiapan mau main. Belum sempat pemanasan dan turun ke lapangan datang orang Kedubes. "Mobil sudah stand by untuk ke bandara."
Di situlah saya diuji. Di Hallelujah saya mungkin bisa dapat uang banyak, tapi bagaimana dengan hati saya yang Merah Putih ini. Kalau saya tetap milih main di Hallelujah, bagaimana dengan rakyat penggemar Indonesia kalau sampai tahu. Sama saja saya mengkhianati Timnas Indonesia.
Kalau dinyatakan lolos setelah pertandingan itu, bisa sign kontrak. Mungkin uang awal atau uang muka akan dikasih, tapi saya pilih pulang. Saya pasti akan memilih negara. Saya harus patuh, saya harus pulang. Itu jadi kenang-kenangan saja.
Baca kelanjutan berita ini di halaman berikutnya>>>
Saya mungkin termasuk pemain yang memiliki keberuntungan dalam berkarier di sepak bola. Saya lahir di Manokwari, Papua Barat. Sempat jadi pemain junior dan senior di Perseman Manokwari saat usia SMP.
Karena harus sekolah ke tingkat STM, saya pindah ke Jayapura. Di Papua saat itu, untuk pendidikan tingkat SMA ke atas adanya di Jayapura.
Keluarga saya memiliki darah olahraga. Papa saya, Leonard Auri, pemain bola juga di daerah. Dulu di Papua ada nama klub sepak bola, DOS (Door Oefening Sterk), yang diberikan orang Belanda untuk komunitas orang-orang Papua. Bajunya motif garis hitam-merah, seperti Persipura Jayapura.
Lalu kakak saya, Decky, merupakan atlet lari di Papua. Kalau untuk di daerah, di Manokwari, dan Papua, dia tidak ada lawan. Hanya saja karena memilih bertugas di Papua dalam menjaga hutan, dia tidak melanjutkan jadi atlet atletik.
Dari kecil saya dapat asupan makanan yang mencukupi, semuanya cukup buat saya. Lalu saya sekolah mulai dari SD main bola, terus ada kejuaraan-kejuaraan. Dulu itu di Papua aktif kejuaraan-kejuaraan, SD lawan SD, SMP lawan SMP, SMA lawan SMA.
Setelah di Persipura untuk sekolah STM, saya juga tercatat sebagai sprinter Papua, saya pelari estafet. Tapi begitu ada Pak Acub Zainal, Gubernur Papua, saya diminta berhenti sebagai atlet atletik.
Lalu saya masuk ke Persipura. Saya di seleksi, dari 150 anak, sampai tinggal 20 anak termasuk saya. Di Persipura ini saya dikenal sebagai pemain bek kiri. Sewaktu di Perseman, saya itu pemain kanan luar (sayap kanan), saya striker juga.
Bisa menjadi bek kiri di Persipura karena kejadiannya karena kakak yang bek kiri bermasalah dengan kesehatan, sakit. Lalu dicari siapa yang mau main di bek kiri.
Saya ini penendang kanan. Tapi saya membaca, bahwa ini peluang buat saya. Saya bisa ambil, akhirnya saya pindah. Sampai saya pensiun tetap di bek kiri. Di Persija Jakarta juga bek kiri, di Indonesia Muda bek kiri. Tidak dipindahkan ke mana-mana.
Selama di Persipura saya pernah juara Piala Soeharto tahun 1977. Kemudian pindah ke Persija. Awalnya ke Jakarta karena ingin kerja. Jadi mau kerja, pindah ke Jakarta, ada perekrutan dari Pertamina.
Kenapa mau kerja? Karena sudah waktunya harus kerja. Kalau enggak kerja, bagaimana? Main bola kan hanya sebentar? Ngapain kita kuliah? Kita belajar untuk apa?
Mau keluar dari Jayapura saja susah saya. Pak Acub Zainal minta saya dijaga, gak boleh keluar. Tapi saya tidak hilang akal. Saya pakai baju kerja, jadi barang-barang saya yang urus pihak Pertamina.
Pak Acub itu sangat dekat dengan anak-anak. Dan dia memberikan waktu, walaupun hanya dua menit, dia akan datang ke lapangan untuk lihat.
Tapi kita kan ingin meningkatkan kualitas hidup. Itu keinginan sendiri, harus keluar dari Papua. Kebetulan Pertamina memiliki klub Indonesia Muda yang juga main di kompetisi internal Persija.
Saya ingat, tes pertama untuk masuk Persija itu pertandingan lawan Persipura di Stadion Menteng. Baru pindah dua minggu ke Jakarta, langsung bertemu Persipura. Itu dalam rangka kompetisi, pertandingan resmi PSSI.
Dan satu-satunya gol di pertandingan itu saya yang bikin. Ya saya kan sampai dihajar sama Hengky [Heipon]. Tapi di situlah Bang Ali [Sadikin] (Gubernur DKI Jakarta) bilang, "Kamu resmi jadi pemain Persija."
Itu sesuatu yang luar biasa. KTP (Kartu Tanda Penduduk) saya ditandatangani langsung sama Bang Ali di situ. KTP langsung keluar di Stadion Menteng itu. "Sore ini saya tanda tangan KTP kamu. Saya mau lihat kamu."
Ada tidak gubernur yang tanda tangan KTP? Tidak ada kan? Tapi sekarang KTP-nya hilang, tidak tahu ada di mana.
Dan saya dapat kompensasi juga pada waktu itu, mungkin yang paling tinggi di antara pemain lain. Saya punya gaji dari Pertamina masih belum apa-apa, tapi saya sudah dapat Rp360 ribu dari Bang Ali saat itu, setiap bulan.
Pemain seperti Anjas [Asmara] ada Iswadi [Idris], mereka tidak dapat. Tapi saya punya keberuntungan dapat kompensasi. Saya tidak tahu alasannya apa. Itulah Bang Ali.
[Gambas:Video CNN]